•••

Seulas senyum tipis terukir tanpa sadar begitu sepasang iris hitam pekat itu menemukan seseorang yang sedari tadi dicarinya, tanpa ragu pria berkulit tan itu melangkah mendekati sang kekasih, ia terkekeh setelahnya.

Yang muda memajukan bibirnya beberapa senti dengan kedua pipi menggebung sempurna, lucu sekali.

“Katanya gak selera makan, tapi ini kamu ngunyah gak berhenti.” Tay ambil suara.

Pria manis itu mengunyah makanan yang ada di dalam mulutnya cepat-cepat, “Maksud Thi gak selera makan sama Teta.” Ia menjawab, nadanya jutek.

Yang lebih tua lantas terkekeh pelan mendengarnya, ia pun kembali berucap, “Aku di sini kamu juga gak selera makan kah? Aku balik aja deh.” Ia bangkit dari tempatnya.

Namun belum ada selangkah ujung jas pria berkulit tan itu ditarik yang muda, Tay menoleh ke arah kekasihnya, sumpah demi apapun ia ingin sekali memasukkan pemuda manis ini ke dalam sakunya agar tak ada lagi yang bisa melihat ekspresi lucu ini, cukup Tay saja.

“Kok Thi ditinggal?”

“Tapi kamu gak selera makan kalau ada aku.”

“Duduk lagi yang. Aku cuma kesel aja tadi.”

Kekehan renyah kembali terdengar masuk ke dalam indera pendengarannya tanpa permisi, Tay kembali duduk di depan Thi, tak berhenti memandangi wajah lelakinya, satu-satunya manusia yang telah menguasai seluruh isi hatinya.

“Tetaa mau?” Ia menawarkan.

Tay menggeleng sebagai jawaban.

“Jadi kamu mau apa? Biar aku pesenin deh.” Si manis kembali bersuara.

“Kalau mulutnya penuh, jangan bicara, Thi.”

Cepat-cepat ia menelan makanannya, “Teta mau makan apa?”

“Aku udah kenyang.”

“Emang pas aku tinggal tadi kamu makannya habis?”

Pria berkulit tan itu menjawab bersamaan dengan ia menanggalkan jas hitamnya menyisakan kemeja putih tulang yang melekat di tubuh atletisnya, “Habislah, sayang banget buang-buang makanan.”

“Thi minta maaf karna ninggalin Teta sendiri.”

“Kamu bilangnya mau ke toilet tapi malah nyari tempat makan lain.”

“Maaf Teta, Thi jangan dimarahi.”

“Aku gak marah Mbul, makan dulu gih aku mau ngomong lagi setelah ini.”

Yang muda tampak berdecak kesal, “Ish jangan bikin aku deg-degan lagi tolong Om.”

Entah berapa kali ia terkekeh melihat tingkah menggemaskan kekasihnya.

“Jadi, Teta kapan pergi ke Medan-nya?”

•••

“Jadi, apalagi yang mau kamu omongin sama aku?” Thi bertanya setelah keduanya sama-sama sudah bersih-bersih, duduk di atas sofa apartemen yang muda, “Bentar-bentar, Teta pasti mau bikin Thi jantungan, tunggu dulu Thi mau ambil napas banyak-banyak.”

Tay tersenyum tipis melihatnya.

“Udah Ta, tapi masih deg-degan banget.”

“Aku bukan mau ngelamar kamu Mbul.” Tay berucap, langsung mendapatkan sebuah pukulan kesal dari yang muda.

“Gausah matahin harapan aku juga dong!”

Tawa yang tua langsung pecah setelahnya.

“Kamu ingat gak bahasan kita tentang rumah?”

Si manis mengangguk.

“Sejujurnya aku udah beli tanah beberapa minggu yang lalu.”

“Teta y-”

“Jangan dipotong dulu Thi.”

Lagi-lagi pemuda berkulit seputih salju itu mengangguk patuh.

“Gimana ya aku jelasinnya, tapi aku mau minta maaf dulu sama kamu karna udah nyolong kertas-kertas yang ada di laci kamu.” Tay berujar dengan kekehannya.

“Sejujurnya aku udah tau gambaran kamu tentang rumah yang kamu mau, dan aku sekarang lagi berusaha buat mewujudkannya.”

“Teta kok gitu? Tapi katanya rumah mau bagi dua? Kok malah jadi kamu aja yang keluar habis-habisan?”

“Aku kerja buat siapa lagi kalau bukan buat kamu?”

Yang muda menggeleng pelan, “Aku gak mau kayak gitu, kita harus habis sama-sama dong. Taa, uang tabungan aku ada kok.” Thi bersuara.

“Aku tau, tapi ini bukan tentang siapa yang keluarin uang paling banyak Thi. Aku beneran cuma pengen ngasih kebahagiaan sama kamu, secara percuma.”

“Jadi aku minta maaf sama Thi, karena udah ngambil keputusan secara sepihak tentang kita. Tapi, aku mohon banget sama kamu, perkara rumah dan isinya, biarin aku yang ngambil alih, ya?”

“Ta itu gak sedikit lho.”

“Aku tau sayang, ya? Boleh ya?”

Thi belum jua menjawab.

“Rumah itu bakalan kamu yang ngurus, kamu yang pilih mau gimana, tapi aku cuma mau kamu tinggal tunjuk aja. Mau ya Thi?”

Kedua iris kelabu itu menatap pasangannya dalam-dalam, tak juga memberi jawaban atas apa yang diucapkan kekasihnya. Ia tak lagi menahan-nahan air mata yang jatuh membasahi pipinya.

“Sini.” Tay menarik yang muda kedalam pelukannya, mengelus rambut kekasihnya, mengecup pucuk kepala pemuda berkulit seputih salju itu berulang-ulang.

“Teta tuh gak boleh kayak gitu.”

“Boleh.”

“Gak boleh.”

“Boleh yang.”

“Kamu tuh kenapa begini coba? Kalau misalnya kamu akhirnya bukan sama aku gimana?” Thi melerai pelukan mereka.

“Ya gak gimana-gimana.”

“Teta serius dong.”

“Ya gak gimana-gimana Thipoom, kalau endingnya kita gak bersama yaudah memang begitu takdirnya, aku udah mikirin ini jauh-jauh hari sampai tiba hari di mana aku memutuskan untuk begini.”

“Memutuskan untuk oke aku mau punya rumah dalam bentuk bangunan, ya misal rumahku sesungguhnya itu bukan kamu dan bangunan yang nantinya aku sebut rumah itu bukan rumah untuk aku berpulang tetap aja kan itu bangunan ada campur tangan kamu di dalamnya. Itu udah lebih dari cukup untuk aku.”

“Kalau kamu tanya kenapa aku yakin banget sama kamu, aku gak tau. Aku juga gak bisa menjanjikan masa depan kita bakal fix bersama, Thi.”

“Tapi balik ke awal, kita sama-sama mau berusaha kan.”

“Mbul, niat ku itu cuma mau bikin kamu happy. Karena udah cukup untuk kamu sedih-sedih selama ini.”

“Tugas kamu sekarang cukup fokus sama kuliah kamu, dan bahagia sama aku.”

•••

Beberapa menit setelahnya, usai ucapan panjang yang lebih tua, keduanya memutuskan untuk pindah ke kamar, Tay ingin tiduran, katanya.

“Masalah tanah, rumah dan isinya udah selesai ya Mbul.”

Yang muda mengangguk sembari menyamankan posisinya.

“Ntar pas nikahan gak ada cerita ya kamu semua lagi.” Thi bersuara dengan kedua mata sengaja dibuat sinis.

“Iya, kalau itu kita berdua.”

“Jadi Teta tiga belas hari di Medan? Gak kangen kah sama aku?”

Pria berkulit tan itu terkekeh untuk yang kesekian kalinya, mengusak rambut yang muda dengan pelan. “Kenapa bertanya kalau kamu aja udah tau jawabannya.”

“Mbul.”

“Saya?”

“Janji sama aku kalau kamu kenapa-napa jangan diem lagi.”

“Iya.”

“Liat aku dulu, jangan ngumpet di ketiak aku Thitipoom.”

Mendengar suara sang kekasih membuat si manis menatap lelakinya, “Janji jangan diem?”

“Iya Teta sayang.”

“Thi, gak mau ciuman?” Tay bertanya, belum ada lima detik setelahnya Thi langsung mengubah posisinya menjadi berada di atas yang tua.

“Mau dong.” Ia menjawab dengan begitu semangat.

“Yaudah ayo cium-”

Ucapan pria berkulit tan itu belum selesai betul, namun pemuda yang berada di atasnya sudah memangkas habis jarak yang tercipta diantara mereka, menyatukan bibir itu dengan pasangannya, memangut dengan begitu mesra.

Beberapa menit setelahnya yang tua mengubah posisi menjadi di atas sang kekasih bersamaan dengan usainya ciuman yang mereka lakukan, kedua pasang netra itu saling tatap dengan napas yang saling bersahut-sahutan.

“Aku sayang banget sama kamu, Thi.”

“Mau dilanjut?” Thi bertanya yang tentu saja Tay mengangguk cepat sebagai jawaban.

“Ada syaratnya?”

“Sekarang banget kamu pake syarat-syaratan begini?”

“Yaudah kalo gak mau kita tidur aj-”

“Apa Thi? Cepet kasih tau apa syaratnya.”

“Kan Teta udah ambil alih perkara rumah kita, jadi biarain Thi yang bawa kamu ke Santorini.”

Kedua mata Tay membelalak sempurna, “Gak bisa gitu dong!” Tentu saja ia protes.

“Yaudah kalau gak mau, kita tidur aja.”

•••

-Joya-