•••

“Taa, kita pulang kerumah Ibu aja ya.”

“Kenapa gitu?”

Lelaki dengan poni rapi menutupi dahi itu menoleh ke samping, tepat di mana suaminya berada, “Karena menurut Thi rumah Ibu tuh lebih luas kalau ntar ada orang yang dateng buat ngeliat aku.”

“Mau ya Taa.”

“Iya.” Yang tua menurut.

“Papa, apa kamu gak keberatan dari tadi mangku aku terus?”

Gadis kecil berambut sebahu itu mulai bersuara, “Enggak dong.”

“Tapi Lolly udah gede, dari kita turun dari pewasat dan kita masuk ke mobil, Papa gendongin aku terus.”

“Kan kamu anaknya Papa.”

“Tapi badannya Lolly berat.”

“Enggak, sayang.” Jawab Thi semakin mengeratkan pelukannya pada sang anak, mengecup pucuk kepala gadis kecilnya berulang kali, membisikkan kalimat sayang tiada henti.

Beberapa menit setelahnya mobil hitam itu berhenti tepat di depan rumah Ibu Thi, “Kamu bawa Lolly aja ke dalam, biar barangnya aku yang ngurus.”

•••

“Mandi dulu Mbul baru tidur.” Tay tawan berucap sembari menarik suaminya untuk tidak langsung merebahkan diri di atas ranjang.

Seulas senyum tipis terukir menghiasi wajah berparas cantik seorang lelaki bernama Thitipoom, “Kesel ya sama aku? Maaf kalo Thi suka bikin kamu kesel, besok enggak lagi kok.”

Kedua tangan pria tan itu menangkup sisi-sisi wajah kekasih hatinya, “Ngomong apasih kamu tuh? Ngelindur mulu dari kemarin.”

Thi hanya tersenyum menanggapinya.

“Mandi bareng mau gak?” Yang tua mengajak, tanpa pikir dua kali Thi langsung mengangguk setuju, ikut masuk kedalam kamar mandi bersama sang suami.

Tak butuh waktu lama untuk keduanya membersihkan diri, kedua anak adam itu sudah berada di atas ranjang sambil berpelukan-dengan Thi yang begitu nyaman menyandarkan kepalanya di dada yang tua.

“Aku capek tapi aku gak mau tidur.” Si manis berujar.

Kelima jemari Tawan tak henti mengelus rambut halus lelakinya, “Terus mau-nya apa?” Ia menjawab.

“Mau ngobrol.”

“Ayo, kamu mau ngobrol tentang apa?”

“Tentang kita? Tentang aku yang bahagia karena dipertemukan sama kamu, tentang aku yang ingin bilang aku cinta sama kamu setiap harinya, tentang Semesta yang benar-benar baik sama aku.”

Tawan diam, membiarkan yang muda bersuara.

“Rasanya aku mau bilang kalau aku jatuh cinta sama kamu setiap detiknya karena aku memang beneran cinta sama kamu.”

“Sayang, makasih banyak ya.”

“Kamu terus bahagia, walau nanti aku udah gak ada.”

“Ngomong apasih Mbul.” Yang tua berucap.

Lelaki berparas cantik itu perlahan mulai menengadah, mempertemukan netra miliknya dengan milik sang suami, ia memberi sebuah senyum tipis setelahnya.

“Aku sayang sama kamu, aku bener-bener sayang sama kamu. Aku gak pernah gak sayang sama kamu.” Thi kembali bersuara.

“Kamu gak mau cium aku?” Ia berucap lagi.

Tanpa sepatah kata yang keluar dari mulutnya, Tay tawan menunduk, mulai menyatukan bilah bibirnya dengan pasangannya, mulai mengulum bibir merah muda si manis begitu lembut, mencurahkan segala cintanya pada sang Bulan.

“Makasih, ganteng.”

“Aku ngantuk Taa, tapi aku gak mau tidur.”

“Kenapa Mbul?”

“Takut.”

“Apa yang bikin kamu takut? Aku ada di sini,”

Yang muda hanya mengangguk, semakin menenggelamkan wajahnya di dada bidang yang tua, menghirup aroma tubuh Tawan yang begitu menenangkan, mengelus lengan lelaki tan itu dengan sangat pelan, “Aku sayang sama kamu.” Lirihnya.

“Aku takut kalau besok aku gak bangun.”

“Ya makanya kamu tidur sekarang, biar besok banggunnya cepet dan aku bakal ngajak kamu ke tempat tongseng yang enak banget. Mau kan?”

Thi diam, kembali mengelus lengan yang tua.

“Aku seneng karena kamu mau aku ajakin buat jalan-jalan ke Bajo, makasih ya Taa.”

“Kamu mau kemana lagi emangnya?” Tawan memberi sebuah tanya yang hanya mendapat gelengan kepala dari lelaki cantiknya.

“Kalau aku tidur, kamu bolehin atau enggak?”

“Gak ada yang ngelarang kamu buat tidur, Mbul.”

“Beneran gak apa-apa?” Ia kembali bertanya.

“Gak apa-apa sayang, jangan takut, ada aku di sisi kamu.”

Lagi-lagi lelaki berkulit putih bersih itu memberi sebuah senyum tipis, menatap suaminya untuk beberapa saat, “Kamu baik-baik ya, bahagia terus.”

“Kita bakal bahagia sama-sama Thi.”

“Aku tidur deluan ya.”

“Iya sayang, besok kita makan tongseng kan?”

Dan lagi, sebuah elusan kembali Tawan dapatkan.

“Tawan, jangan berhenti cium aku sampe besok ya?” Pinta Thi yang langsung mendapat anggukan dari orang terkasihnya.

“Thi seneng banget karena setiap aku buka mata aku ngeliat kamu, dan sampe sekarang aku mau tidur yang aku liat juga tetep kamu, aku tidur ya.”

Kedua kelopak mata yang muda perlahan menutup, menyembunyikan iris kelabu berkilau begitu indah dipandang lama-lama, hingga sebuah tarikan napas panjang Thi sayup-sayup menjamah indera pendengaran Tawan.

Tawan hanya diam memandangi wajah cantik suaminya, orang yang paling ia sayang, orang yang akan terus ia perjuangkan, seulas senyum manis tanpa sadar terukir menghiasi wajahnya, “Thi cantik-nya aku.”

Perlahan tangan kanan sang empu mulai mencari pasangannya, mulai menggenggam tangan si manis, hingga debaran jantungnya menggila begitu tubuh kekasih hatinya terasa begitu dingin, “Thi?” Ia memanggil dengan begitu lembut.

“Thipum.”

Belum ada jawaban.

“Kamu kedinginan ya,” Lekas-lekas Tawan meraih sebuah selimut tebal yang berada di sampingnya, mulai menyelimuti tubuh si manis yang berada di dekapannya, tak lupa pula mematikan pendingin ruangan.

Kelima jemarinya kembali mengelus rambut yang muda dengan tangan kanan yang masih terus menggenggam tangan Thitipoom-nya.

“Kok masih dingin Thi?”

“Thi, aku laper deh, bangun yuk temenin aku ke dapur.”

“Mbul kamu beneran lagi tidur aja kan sayang? Kamu gak ninggalin aku sendirian kan.”

Lekas-lekas ia menggeleng, membuang jauh-jauh pikiran buruk yang mulai menghantuinya, “Gak mungkin, kamu gak mungkin ninggalin aku.”

“Sayang.” Ia mulai menepuk-nepuk pelan pipi sang Bulan, berharap jika Thi-nya membuka mata dan menjawab semua apa yang Tawan tanyakan.

“Bangun dulu yuk Thi.”

“Sayang kalau kamu pergi aku sama siapa?” Air matanya tumpah, mengalir dengan deras membasahi kedua pipinya, kedua tangannya beralih untuk mendekap tubuh dingin yang muda, masih jua bermonolog tanpa henti, masih berharap Thi membuka kedua matanya.

“Kamu cuma tidur kan? Kamu mau aku cium ya biar bangun, iya Thi?”

“Aku bakal cium kamu terus, tapi bangun ya.”

“Kamu gak ninggalin aku sama Lolly kan Thi.”

“Sayang kamu beneran pergi ya.”

“Kamu beneran gak bangun lagi ya.”

Pria tan itu menyerah membiarkan tubuh yang muda terus berada di pelukannya tanpa berniat untuk melepaskan Thi sama sekali.

Tawan benar-benar menangis, mengabaikan ketukan-ketukan pintu yang masih dapat ia dengar, masih terus menyelimuti tubuh Thi dengan selimut tebal agar cantiknya itu tak merasa kedinginan.

Hingga pintu bercat putih tulang itu terbuka, menampilkan wanita paruh baya dengan kedua tangan memegang nampan berisikan makanan, Tawan menatap Ibu mertuanya, “Bu, Thi udah gak ada.”

•••

“Tetaa,”

“Tawan!” Sebuah tamparan mendarat di pipi kanan pria berkulit tan itu dengan mulusnya, kedua mata yang tadinya terpejam rapat lagsung terbuka lebar, “Kamu kenapa?” Pertanyaan bernada khawatir itu terdengar, hingga kepanikannya semakin menjadi-jadi begitu ia melihat suaminya menangis.

“Teta?”

Thi cukup merasa terkejut begitu yang tua langsung menariknya kedalam sebuah pelukan begitu erat sampai-sampai ia susah bernapas, pemilik netra hitam pekat itu menangis tersedu-sedu.

Thi mulai mengelus punggung suaminya, mulai menenangkan yang tua dengan bisikan-bisikan jika Matahari itu tak perlu lagi sendiri.

“Aku mimpi kamu kamu pergi dan gak akan pernah balik lagi, ninggalin aku sama Lolly.”

“Cuma bunga tidur kamu Ta, aku ada di sini.”

•••

-Joya-