•••
Dua puluh menit sudah terbuang percuma dengan bungkamnya mereka berdua, duduk berhadap-hadapan di ruang tamu rumah orang tua Tay tawan hanya dengan saling pandang. Kesepuluh jari pemuda berkulit seputih susu itu saling meremat gelisah menunggu yang tua bersuara terlebih dahulu.
“Mau balikin cincin?”
Pemilik iris kelabu itu lantas menggeleng cepat, maksud dirinya menyusul Tay tawan ke kampung halaman lelaki itu bukanlah untuk itu.
“Terus ngapain jauh-jauh kesini? Cincinnya dibuang juga gak apa-apa.”
Thi benar-benar terdiam mendegar ucapan Tay tawan barusan, menahan air mata yang sudah berada di ujung pelupuk, iris kelabunya perlahan turun kebawah, menaruh seluruh perhatiannya pada cincin yang melingkar apik di jari manisnya.
“Kalau kamu masih diam terus mending pulang aja aku mau tidur.” Yang tua kembali bersuara bersamaan dengan beranjaknya ia dari sofa.
“Tetaa gak mau ngomong dulu sama aku?”
“Mau ngomong apalagi?”
“Tetaa boleh gak jangan marah-marah? Thi mau kita ngomong baik-baik.” Yang muda bangkit dan melangkah mendekati sang kekasih.
Pemilik netra hitam pekat itu menghela napas panjang menatap sang kekasih yang berada di depannya, cepat-cepat mengurungkan niatnya untuk memeluk dan mencium tanpa tenti pipi gembul sang kekasih.
“Maafin ketikan Thi kemarin.”
“Udah?” Pria tan itu bertanya pada pemuda di depannya hingga sebuah anggukkan patah-patah diberikan yang muda sebagai jawaban.
“Yaudah, pulang gih udah malem.”
Lagi dan lagi nada bicara yang lembut dari kekasihnya tak jua Thi terima, wajah pria itu benar-benar datar menatapnya, “Itu tandanya Tetaa masih marah sama aku.” Ia berucap.
Tay tawan senyap.
“Kamu nyuruh aku pulang padahal kamu tau ini udah malem banget?”
“Gak ada yang nyuruh kamu buat nyusul aku ke sini, New.”
Hatinya mencelos mendapat jawaban tak ia inginkan dari pujaan hatinya berulang kali, dan panggilan itu, panggilannya sudah berubah.
Air mata yang sedari tadi ditahan pun jatuh tanpa permisi sama sekali membasahi kedua pipi, jika sudah begini Thi tak tahu lagi harus erucap seperti apa agar yang tua mau melembutkan sedikit nada bicaranya.
“Aku minta maaf sama Tetaa, maaf aku bikin salah yang nyakitin hati kamu, maaf-” Thi menghentikan ucapannya begitu tangan kanan yang muda menggenggam lengannya, menuntunnya berjalan ke pintu utama rumah ini.
“Pulang.”
“Tetaa beneran ngusir Thi? Emang salahnya aku besar banget sampe kamu begitu? Thi minta maaf sama kamu.”
“Jangan minta maaf deh kalau kamu sendiri sebenernya belum ngerti kamu salah apa enggak.” Setelah menyelesaikan ucapannya Tawan benar-benar menutup pintu bercat putih tulang itu rapat-rapat, membiarkan pemuda berkulit seputih susu itu berdiri dengan air mata yang turun tanpa henti.
•••
-Joya-