•••
Sebuah lengkungan manis masih setia menghiasi wajah pemuda berkulit bersih seputih salju yang tengah mengunyah kentang goreng yang berada di depannya, iris kelabunya tak pula mau beralih dari seorang lelaki berkulit tan yang berada di seberangnya barang sekejap saja.
“Tawan makannya dikit banget, ntar habis sama aku semua nih.” Ia bersuara.
“Aku beli buat kamu Thi, jadi kalau kamu habisin aku yang seneng. Makasih ya udah meng-iyakan ajakan aku.”
Sebuah anggukan terlihat dari si manis, semilir angin di sore hari menerpa wajahnya pula berhasil menyingkirkan poni rapi yang begitu sempurna menutupi dahinya, “Tawan duduk di samping aku, sini, kita liat danau berdua.” Thi menepuk alas yang berada di sebelahnya.
Tak ada protesan apapun yang keluar dari mulut pria berkulit tan itu, ia benar-benar menurut-bangkit dari tempatnya dan langsung mendaratkan bokongnya di samping si manis.
“Aku tuh terakhir piknik pas SD deh, udah lama banget.”
“Oh ya?”
Thi mengangguk sembari menoleh ke kanan, menatap yang lebih tua dengan seulas senyum tipis, “Iya, pas aku masih punya keluarga lengkap.”
“Kalau Thi gak nyaman, gausah diceritain juga gak apa-apa.” Tay berujar dengan tutur begitu lembut.
“Teta gak mau dengerin cerita aku, ya?”
Ditanya seperti itu membuat yang lebih tua langsung gelagapan sendiri, sontak saja ia menggelengkan kepalanya cepat-cepat, “Bukan gitu Thi, aku gak mau maksa kamu untuk cerita hal yang gak ingin kamu bagi ke aku.”
“Tapi aku mau bagi ceritaku sama Tetaa, boleh?”
“Boleh banget, tapi...” yang lebih tua menggantungkan ucapannya, menatap si manis dengan kedua mata memicing, “Kamu manggil aku apa tadi? Teta?”
Thi terkekeh kecil, “Lucu gak?” Ia bertanya, “Teta.”
“Di mana bagian yang lucunya?” Tay bernar-benar bertanya membuat lelaki manis yang berada di sampingnya langsung memajukan bibir lima senti lengkap dengan sinisan tajam.
“Lucu banget.”
“Kamu manggil aku Thi, itu aja udah beda dari yang lain.”
“Jadi kamu manggil aku Teta karena mau beda juga?”
“Iya! karena kata kita diantara aku dan kamu bentar lagi bakalan ada.” Thi menjawab dengan santai.
“Kamu jadi lanjutin ceritanya, gak?”
Sepasang mata yang menyipit sedikit menyembunyikan iris kelabu paling cantik yang pernah ia lihat, kekehan dari yang muda terdengar. “Jadi lupa gara-gara nama Teta.”
“Pas aku masih kecil sampe SD kelas lima deh kalau gak salah, setiap Ayah punya waktu luang, beliau bakalan ngajakin aku sama Ibu untuk piknik atau sekedar jalan-jalan aja.”
“Hidup aku tuh dulu sempurna banget deh pokoknya, apa yang aku mau akan dengan begitu mudahnya bisa aku dapetin, kayak aku baru bilang mau ini beberapa jam kemudian aku udah punya apa yang aku minta tadi.”
“Sampai kesempurnaan yang aku rasain itu tiba-tiba hilang entah kemana, pergi tanpa aba-aba sebelumnya, kebahagiaan yang aku rasain itu benar-benar lenyap gak bersisa. Bahkan orang yang dulu selalu aku jadikan tempat mengadu perlahan mulai hilang.”
“Gak benar-benar hilang, maksud aku Ayah ku yang dulu dan yang sekarang itu kayak dua orang dengan kepribadian yang super berbeda. Sejak malam di mana pertama kali aku liat Ibu nangis kenceng banget aku ngerasa kalau aku sejak itu cuma tinggal berdua sama Ibu.”
“Aku ngerasa kalau aku emang udah gak punya sosok Ayah.”
Kedua kelopak mata si manis berkedip beberapa kali, pandangannya benar-benar lurus ke depan, memandangi pemandangan danau buatan yang begitu indah terawat.
“Aku dari dulu udah keseringan nangis jadi sekarang stock air mataku tinggal dikit banget. Tapi, dari semua hal buruk yang pernah beliau lakuin ke aku dan Ibu, yang paling membekas di ingatan aku adalah saat Ayah marahin sampai neriakin Ibu di depan banyak orang.”
“Padahal niatnya mau makan malam di luar karena malam itu hari ulang tahun aku, menurutku gak ada hal paling bangsat selain makan sambil nahan tangis, sesak banget rasanya sampe mau ngunyah makanan yang di dalam mulut aja tuh kayak gak sanggup.”
“Sampai lambat laun aku mulai paham tentang masalah di keluarga ku, aku mulai tau apa yang terjadi.”
“Kalau Teta mau tau, temen aku tuh cuma Gun. Bener-bener cuma Gun karena aku memang terlalu menutup diri sama orang baru, terlalu berlebihan gak kalau aku bilang Gun satu-satunya hal yang aku syukuri saat aku masuk ke SMP negeri.”
“Aku bisa berteman sama siapa aja, tapi aku gak bisa atau lebih tepatnya gak mempersilahkan mereka untuk bisa benar-benar kenal aku.”
“Sebelum pindah di rumah yang sekarang, aku bahkan gak pernah ngajak satu orang pun teman sekolahnya aku untuk main kerumah, termasuk Gun. Karena aku gak mau mereka tau bagaimana sifat Ayahku.”
“Aku durhaka gak sih Ta karena semenjak kejadian di malam ulang tahun itu aku gak pernah lagi manggil beliau Ayah di depannya. Karna aku tuh kesel, aku marah, aku kecewa, kenapa harus marah di luar padahal setiap hari udah marahin Ibu di rumah.”
“Malu banget rasanya udah kayak gak ada muka. Pun dengan sampai sekarang aku gak pernah mau lagi menginjakkan kaki aku di restaurant itu.”
Usapan dibagian bahu si manis membuatnya menoleh ke samping, “Teta kasihan sama aku?”
“Enggak, aku gak mengasihani kamu. Kamu bisa berhenti sampai di sini kalau kamu mau.”
“Kenapa? Cerita aku banyak dramanya ya?”
“Kamu boleh lanjut, kamu boleh bagiin ke aku apa yang ingin kamu bagi.” Yang lebih tua bersuara, lagi.
“Gak jelas banget kamu, tadi nyuruh berhenti sekarang nyuruh lanjut.” Omel Thitipoom sembari terkekeh pelan.
“Aku lanjut ya?”
Setelah anggukan dari Tay terlihat, pemuda berkulit seputih salju itu kembali bersuara, “Aku tuh dulu heran banget kenapa Ibu masih mau bertahan sama Ayah, sampai aku tau alasannya kenapa.”
“Ibu mikirin anaknya, Ibu mikirin aku. Seharusnya sebelum Ibu mikirin aku, Ibu terlebih dahulu harus memikirkan dirinya sendiri. Ibu bilang Kalau Ibu sama Ayah udah gak sama-sama, nanti kamu kehilangan arti dari kata keluarga padahal dengan mereka memaksakan diri untuk bersama pun aku udah gak tau arti keluarga itu kayak gimana.”
“Maaf banget ya Thi, jadi Ibu sama Ayah kamu tuh pisah kan?”
Thi langsung mengangguk dua kali, membenarkan ucapan lelaki yang berada di sebelah kirinya. “Bener-bener pisah itu aku kelas dua SMA.”
“Sekarang aku udah berdamai sama masalalu, makanya aku bisa nyeritain semuanya ke kamu, aku udah gak lagi nyalahin Ayah, tapi buat ketemu sama beliau rasanya canggung banget.”
“Tujuanku dulu tuh cuma untuk nyenengin Ibu, tapi sekarang kayaknya bakalan nambah satu.”
“Nyenengin Ibu dan kamu.”
•••
•••
Sebuah lengkungan manis masih setia menghiasi wajah pemuda berkulit bersih seputih salju yang tengah mengunyah kentang goreng yang berada di depannya, iris kelabunya tak pula mau beralih dari seorang lelaki berkulit tan yang berada di seberangnya barang sekejap saja.
“Tawan makannya dikit banget, ntar habis sama aku semua nih.” Ia bersuara.
“Aku beli buat kamu Thi, jadi kalau kamu habisin aku yang seneng. Makasih ya udah meng-iyakan ajakan aku.”
Sebuah anggukan terlihat dari si manis, semilir angin di sore hari menerpa wajahnya pula berhasil menyingkirkan poni rapi yang begitu sempurna menutupi dahinya, “Tawan duduk di samping aku, sini, kita liat danau berdua.” Thi menepuk alas yang berada di sebelahnya.
Tak ada protesan apapun yang keluar dari mulut pria berkulit tan itu, ia benar-benar menurut-bangkit dari tempatnya dan langsung mendaratkan bokongnya di samping si manis.
“Aku tuh terakhir piknik pas SD deh, udah lama banget.”
“Oh ya?”
Thi mengangguk sembari menoleh ke kanan, menatap yang lebih tua dengan seulas senyum tipis, “Iya, pas aku masih punya keluarga lengkap.”
“Kalau Thi gak nyaman, gausah diceritain juga gak apa-apa.” Tay berujar dengan tutur begitu lembut.
“Teta gak mau dengerin cerita aku, ya?”
Ditanya seperti itu membuat yang lebih tua langsung gelagapan sendiri, sontak saja ia menggelengkan kepalanya cepat-cepat, “Bukan gitu Thi, aku gak mau maksa kamu untuk cerita hal yang gak ingin kamu bagi ke aku.”
“Tapi aku mau bagi ceritaku sama Tetaa, boleh?”
“Boleh banget, tapi...” yang lebih tua menggantungkan ucapannya, menatap si manis dengan kedua mata memicing, “Kamu manggil aku apa tadi? Teta?”
Thi terkekeh kecil, “Lucu gak?” Ia bertanya, “Teta.”
“Di mana bagian yang lucunya?” Tay bernar-benar bertanya membuat lelaki manis yang berada di sampingnya langsung memajukan bibir lima senti lengkap dengan sinisan tajam.
“Lucu banget.”
“Kamu manggil aku Thi, itu aja udah beda dari yang lain.”
“Jadi kamu manggil aku Teta karena mau beda juga?”
“Iya! karena kata kita diantara aku dan kamu bentar lagi bakalan ada.” Thi menjawab dengan santai.
“Kamu jadi lanjutin ceritanya, gak?”
Sepasang mata yang menyipit sedikit menyembunyikan iris kelabu paling cantik yang pernah ia lihat, kekehan dari yang muda terdengar. “Jadi lupa gara-gara nama Teta.”
“Pas aku masih kecil sampe SD kelas lima deh kalau gak salah, setiap Ayah punya waktu luang, beliau bakalan ngajakin aku sama Ibu untuk piknik atau sekedar jalan-jalan aja.”
“Hidup aku tuh dulu sempurna banget deh pokoknya, apa yang aku mau akan dengan begitu mudahnya bisa aku dapetin, kayak aku baru bilang mau ini beberapa jam kemudian aku udah punya apa yang aku minta tadi.”
“Sampai kesempurnaan yang aku rasain itu tiba-tiba hilang entah kemana, pergi tanpa aba-aba sebelumnya, kebahagiaan yang aku rasain itu benar-benar lenyap gak bersisa. Bahkan orang yang dulu selalu aku jadikan tempat mengadu perlahan mulai hilang.”
“Gak benar-benar hilang, maksud aku Ayah ku yang dulu dan yang sekarang itu kayak dua orang dengan kepribadian yang super berbeda. Sejak malam di mana pertama kali aku liat Ibu nangis kenceng banget aku ngerasa kalau aku sejak itu cuma tinggal berdua sama Ibu.”
“Aku ngerasa kalau aku emang udah gak punya sosok Ayah.”
Kedua kelopak mata si manis berkedip beberapa kali, pandangannya benar-benar lurus ke depan, memandangi pemandangan danau buatan yang begitu indah terawat.
“Aku dari dulu udah keseringan nangis jadi sekarang stock air mataku tinggal dikit banget. Tapi, dari semua hal buruk yang pernah beliau lakuin ke aku dan Ibu, yang paling membekas di ingatan aku adalah saat Ayah marahin sampai neriakin Ibu di depan banyak orang.”
“Padahal niatnya mau makan malam di luar karena malam itu hari ulang tahun aku, menurutku gak ada hal paling bangsat selain makan sambil nahan tangis, sesak banget rasanya sampe mau ngunyah makanan yang di dalam mulut aja tuh kayak gak sanggup.”
“Sampai lambat laun aku mulai paham tentang masalah di keluarga ku, aku mulai tau apa yang terjadi.”
“Kalau Teta mau tau, temen aku tuh cuma Gun. Bener-bener cuma Gun karena aku memang terlalu menutup diri sama orang baru, terlalu berlebihan gak kalau aku bilang Gun satu-satunya hal yang aku syukuri saat aku masuk ke SMP negeri.”
“Aku bisa berteman sama siapa aja, tapi aku gak bisa atau lebih tepatnya gak mempersilahkan mereka untuk bisa benar-benar kenal aku.”
“Sebelum pindah di rumah yang sekarang, aku bahkan gak pernah ngajak satu orang pun teman sekolahnya aku untuk main kerumah, termasuk Gun. Karena aku gak mau mereka tau bagaimana sifat Ayahku.”
“Aku durhaka gak sih Ta karena semenjak kejadian di malam ulang tahun itu aku gak pernah lagi manggil beliau Ayah di depannya. Karna aku tuh kesel, aku marah, aku kecewa, kenapa harus marah di luar padahal setiap hari udah marahin Ibu di rumah.”
“Malu banget rasanya udah kayak gak ada muka. Pun dengan sampai sekarang aku gak pernah mau lagi menginjakkan kaki aku di restaurant itu.”
Usapan dibagian bahu si manis membuatnya menoleh ke samping, “Teta kasihan sama aku?”
“Enggak, aku gak mengasihani kamu. Kamu bisa berhenti sampai di sini kalau kamu mau.”
“Kenapa? Cerita aku banyak dramanya ya?”
“Kamu boleh lanjut, kamu boleh bagiin ke aku apa yang ingin kamu bagi.” Yang lebih tua bersuara, lagi.
“Gak jelas banget kamu, tadi nyuruh berhenti sekarang nyuruh lanjut.” Omel Thitipoom sembari terkekeh pelan.
“Aku lanjut ya?”
Setelah anggukan dari Tay terlihat, pemuda berkulit seputih salju itu kembali bersuara, “Aku tuh dulu heran banget kenapa Ibu masih mau bertahan sama Ayah, sampai aku tau alasannya kenapa.”
“Ibu mikirin anaknya, Ibu mikirin aku. Seharusnya sebelum Ibu mikirin aku, Ibu terlebih dahulu harus memikirkan dirinya sendiri. Ibu bilang Kalau Ibu sama Ayah udah gak sama-sama, nanti kamu kehilangan arti dari kata keluarga padahal dengan mereka memaksakan diri untuk bersama pun aku udah gak tau arti keluarga itu kayak gimana.”
“Maaf banget ya Thi, jadi Ibu sama Ayah kamu tuh pisah kan?”
Thi langsung mengangguk dua kali, membenarkan ucapan lelaki yang berada di sebelah kirinya. “Bener-bener pisah itu aku kelas dua SMA.”
“Sekarang aku udah berdamai sama masalalu, makanya aku bisa nyeritain semuanya ke kamu, aku udah gak lagi nyalahin Ayah, tapi buat ketemu sama beliau rasanya canggung banget.”
“Tujuanku dulu tuh cuma untuk nyenengin Ibu, tapi sekarang kayaknya bakalan nambah satu.”
“Nyenengin Ibu dan kamu.”
•••