•••

Langkah kaki berbalut sepatu putih itu berhenti ketika netranya menangkap seseorang yang memang ingin dikunjunginya, sebuah helaan panjang terhembus secara perlahan, “Ibu.” Ia menyapa.

Wanita paruh baya berambut sebahu itu menoleh ke belakang, “Adek, kok tumben ke sini sore-sore.”

Pemuda berkulit putih bersih itu maju beberapa langkah dari tempatnya langsung memeluk sang Ibu yang tengah mematikan kompor.

Wanita paruh baya berwajah ayu itu tak lagi heran dengan anaknya, yang ia lakukan hanyalah membalas pelukan putra sematawayangnya dan mengelus rambut halus sang empu dengan sayang.

“Gak apa-apa, nak.”

Pemuda berkulit putih bersih lengkap dengan parasnya yang manis itu melepas pelukannya, lantas iris kelabunya menoleh ke arah meja makan, “Kok Ibu banyak banget masaknya?” Ia bertanya.

“Mau Ibu bagikan ke tetangga.”

“Thi bisa bantu apa, Bu?”

“Potong buah aja.”

Pemilik iris kelabu itu mengangguk patuh, tangannya dengan terampil mengupas dan memotong buah yang nantinya akan dijadikan salad. Kegiatan memotongnya terhenti sebentar tak kala ia kembali menoleh memandangi Ibunya yang tengah sibuk dengan sup di panci.

“Bu.” Ia memanggil.

“Hmm?” Dehaman wanita itu terdengar, bermaksud menjawab panggilan anaknya tanpa menoleh.

“Aku ini nyusahin Ibu ya?”

“Nyusahin gimana, Dek?”

Netranya masih setia menatap punggung wanita tersayangnya, “Aku sampe sekarang masih jadi tanggungan Ibu, masih belum bisa bilang Ibu kalo butuh apa-apa bilang ke Adek ya.”

“Thi, namanya juga kamu tuh anaknya Ibu. Ya sudah pasti jadi tanggungannya Ibu, perkara kamu belum bisa bilang begitu ya nanti juga ada saatnya.” Sang Ibu menjawab namun masih jua belum mau membalikkan tubuhnya, menatap anak sematawayangnya.

“Maafin Thi ya, Bu.”

“Maafin Thi yang belum sukses, belum bisa jadi orang yang Ibu banggakan, belum bisa kasih Ibu apa-apa.”

Seulas senyuman tipis ditampilkan, wanita itu melepas apron yang melekat di tubuhnya, memandangi sang anak yang tengah memotong buah-buahan, ia melangkah mendekat, mengelus rambut Thitipoom berulang kali.

“Kamu itu satu-satunya hal yang paling berarti yang Ibu punya, Ibu gak butuh apa-apa dari kamu selain diri kamu. Nak, saat kamu ada di perut Ibu, Ibu sama sekali gak menaruh ekspektasi apa-apa terhadap kamu.”

“Tapi Thi masih minta uang saku sama Ibu di saat anak-anak yang lain udah bisa ngasih buat Ibunya.”

“Nanti, akan ada saatnya kamu seperti anak-anak yang lain. Thi harus tau kalo Tuhan udah mau ngerubah derajat seseorang itu gampang, kayak ngebalikin telapak tangan. Dan pikiran-pikiran buruk yang ada di kepala kamu itu belum tentu kejadian.”

“Thi minta maaf ya sama Ibu.”

“Ibu mau bilang makasih sama kamu, makasih udah jadi anak Ibu.”

“Adek mau peluk.” Suara dari pemuda berkulit putih itu terdengar, membuat wanita paruh baya yang berdiri di sampingnya terkekeh dan langsung merentangkan tangannya lebar-lebar.

“Maafin Adek, Ibu.”

Iya, perasaan kamu saat ini wajar kok. Gak ada yang salah, tapi jangan bikin itu jadi penghambat mimpi kamu.”

“Adek harus tau kalo Ibu akan jadi orang nomor satu yang berdiri di belakang buat support kamu terus.”

“Aku gak mau nangis lagi, Ibu jangan ngomong.” Thi membalas.

Wanita paruh baya itu melepas pelukannya dari sang anak, “Adek bilang gak mau nangis lagi kan?”

Thi mengangguk.

“Kalau gitu lanjutin potong buahnya, lihat tuh si Kookiee ngeliatin kamu nangis dari tadi.”

Pemilik iris kelabu itu menoleh ke samping, menatap kucing milik Ibunya yang tengah berdiam diri di depan lemari pendengin sambil memandanginya. Thi membesarkan kedua matanya, “Kucing jelek.”

“Jangan dimarahi adeknya Thi, nanti dia nangis lho.”

“Ibu! Adek aku bukan kucing.”

Sang Ibu tak menggubris protesan anaknya.

“Kookiee minggu depan ulang tahun, Ibu rencana mau bikin syukuran. Nanti kamu temenin Ibu belanja ya.”

Thi menggaruk kepalanya frustasi, kalau soal Kookie, dirinya sudah pasti kalah telak.

“Ibu lebih sedih Kookiee minggat dari rumah atau aku yang minggat dari rumah?”

“Potong yang bener buahnya Dek.”

“Ibu jawab dulu!”

“Hush, gak boleh iri-irian sama adek kamu.”

“Ibu aku gak punya ade-”

“Tawan, kok gak bilang Ibu mau mampir?”

Thi menoleh ke kiri, menatap lelaki berparas tampan dengan senyum yang sedang ia tampilkan, “Tadi habis dari apartemennya Thi, tapi kosong Bu.”

“Tuh pacar kamu lagi cemburu sama adeknya sendiri.” Sang Ibu menjawab.

Thi kembali merengek, “Thi gak punya adek!”

Wanita berambut sebahu itu kembali mengalihkan perhatiannya pada panci-panci yang berada di atas kompor, sementara Tay mulai berjalan mendekati kekasihnya, mengusak rambut lelakinya dengan pelan, mengelus pipi halus pacarnya.

Tubuhnya menunduk dengan iris hitam pekat yang mulai menelisik wajah manis sang empu, “Habis nangis ya?”

Tepat sasaran!

“Enggak.” Tentu saja Thi mengelak.

“Enggak salah lagi.” Ibunya menambahi dengan kekehan renyah.

•••

“Masih gak mau ngasih tau aku nih nangis kenapa?” Yang tua kembali bertanya dan lagi-lagi mendapat gelengan kepala sebagai jawaban.

“Tetaa kenapa nyariin aku sampe kerumah Ibu?”

“Aku bahkan udah nemuin Gun buat nanya kamu di mana.”

“Tetaa, makasih ya.”

“Pasti lagi mikirin yang bikin sakit kepala.”

Thi mendengus, Tay benar lagi.

Yang lebih tua menepikan mini coopernya, menoleh ke kiri dan menatap kekasihnya dalam-dalam. “Siapa?”

“Siapa apanya Ta?”

“Siapa orang rese yang kamu temuin hari ini?”

Kedua telapak tangan yang muda mengusap wajahnya dengan kasar, “Kok kamu tau selalu sih Taa.”

“Masih kepikiran? Masih butuh temen cerita? Mau dibagi sama pacarnya kah?”

Si manis menggelengkan kepalanya, “Udah enggak, tadi aku udah cerita ke Ibu.”

“Thi, kalau butuh teman cerita, teman berbagi duka, atau apapun itu, kamu bisa lari ke aku.”

“Tadi Teta lagi kerja, Thi gak mau ganggu.” Balas si manis.

Kedua telapak tangan yang lebih tua menangkup sisi-sisi wajah kekasihnya, “Aku akan selalu mendukung apapun yang mau kamu lakuin, buang pikiran buruknya sedikit-sedikit, oke?”

“Makasih Teta, makasih udah jadi pacar aku yang paling baik sedunia.”

Tay terkekeh mendengarnya.

“Mau makan es-krim gak?” Yang tua menawarkan.

“Tumben banget? Ini es-krim lho Teta?”

“Sesekali gak apa-apa Thi. Mau?”

Senyum si manis mengembang sempurna bersamaan anggukan kepala yang ia berikan, “Gak akan nolak.”

“Thi mau makan es-krim yang di mana?”

“Baskin robbins.”

“Oke, tapi....” Tay sengaja menggantungkan ucapannya hingga kedua alis yang muda naik turun, “Tapi apa Teta?”

“Mau cium, boleh?

•••

-Joya-