•••

“Tawan, gak mau makan dulu?” Suara wanita paruh baya berparas ayu terdengar begitu pintu kamar utama rumah bercat putih tulang itu terbuka.

Sang empunya nama menoleh sembari memamerkan senyumnya pada Ibu sang kekasih, “Teta lagi ngidam ayam sambal ijo, Bu.” Tentu saja itu suara Thitipoom.

“Jadi kalian mau langsung pergi?”

Keduanya mengangguk kompak.

“Hujan-hujan begini?”

“Kan di dalam mobil Bu, gak akan kehujanan, lagian juga udah berhenti hujannya.” Si manis menyahut sembari meraih totebag-nya yang berada di ujung sofa ruang tamu.

“Ayo Taa.”

“Adek.” Panggilan sang Ibu membuat si manis menoleh, menaik-turunkan kedua alisnya berulang-ulang.

“Kenapa Ibuku yang cerewet?”

“Bawa Kookiee dong, pengen jalan-jalan juga dia.”

Tentu saja pemuda berkulit seputih salju itu menolaknya mentah-mentah, “Aku gak mau bawa kucing jelek itu Ibu, adek mau pacaran.”

•••

Mini copper yang tengah di kendarai pria berkulit tan itu berhenti di gang kecil nan sepi, yang tua lantas saja mengajak kekasihnya keluar, “Gak bisa masuk mobil Thi, gangnya cuma muat satu motor.”

“Emang di sini ada yang jual ayam sambal ijo? sunyi banget lho Ta.” Thi berucap sembari mengikuti kemana pria itu membawanya.

“Ada Mbul, langganan aku sama Jumpol pas kuliah.”

“Kalau dingin bilang ke aku ya.” Yang tua berkata sembari membenarkan poni sang kekasih yang terkena rintik-rintik gerimis.

Tangan kanan Tay terulur untuk menggenggam tangan sang kekasih, sedangkan tangan kirinya menunjuk ke sebuah rumah yang berada di depan mereka, “Itu dulu kost-an aku.”

“Rumah sih lebih tepatnya, aku sama jumpol nyewa rumah berdua.”

“Cielah kamu ternyata pernah punya rumah berdua sama Bang Jum.” Thi berujar lengkap dengan kekehannya.

“Serem banget ya setelah aku ngerti maksud kamu apa. Yakali aku pulang ke Jumpol, ngebayanginnya aja ogah.”

Tawa si manis langsung meledak mendengar penuturan dari lelakinya. Keduanya asik bercerita dan saling melempar candaan berujung tawa selama perjalanan yang tak lama, kira-kira hanya memakan waktu lima menit.

“Nini kayak biasa ya, dua porsi.” Yang tua berujar begitu kakinya menginjaki warung dengan spanduk bertuliskan ayam Nini Lastri.

“Bang Tawan, udah lama banget gak kesini, Nini hampir gak ngenalin sampean.” Wanita berusia setengah abad itu bersuara sembari mengelus kedua lengan Tay beberapa kali.

Pria berkulit tan itu hanya tersenyum sebagai respon.

“Ayo duduk-duduk.” Nini berucap sembari mempersilahkan kedua anak manusia itu memilih tempat dimana yang mereka mau.

“Nini apa kabarnya?” Tay bertanya.

“Alhamdulillah baik Bang, kok Nini gak liat si Koko? Biasanya kalian lengket sekali seperti lem.”

“Dia ngambek Ni, katanya gak pernah di kasih diskon sama Nini.” Gurau Tay.

Wanita dengan rambut hampir memutih semua itu mulai menaruh segala perhatiannya pada pemuda manis yang berada di samping Tay tawan, “Ini siapanya bang Tawan?”

“Adek, Ni.”

•••

-Joya-