•••

Sebuah mobil berwarna hitam yang tengah dikendarai Tay tawan melaju membelah jalan dengan kecepatan sedang, keduanya sama-sama diam bergelut pada pikiran masing-masing, kelima jemari yang muda tak henti meremat ponsel yang berada di genggamannya hingga beberapa saat setelahnya iris kelabu itu mulai menoleh pada lelaki di sebelahnya, netranya tak lagi dapat beralih kemana-mana ketika pandangan itu sudah terkunci pada Tawan-nya.

“Kamu lapar kah?”

Suara yang tua terdengar memecahkan keheningan sedari tadi membelenggu keduanya, pemilik iris kelabu itu tak jua menjawab hingga Tawan menepikan mobilnya, “Thi.” Ia memanggil.

“Kenapa kamu jujur sama Lolly?”

“Kenapa aku harus bohong?”

Pria berkulit seputih salju itu menghela napas panjang, “Kalau Lolly marahin kamu gimana? Padahal gak semuanya salah kamu, Ta.”

“Tapi emang aku salah, bikin kamu sedih.”

“Kamu boleh marahin aku, kamu boleh keluarin semua hal yang mengganggu pikiran kamu, kamu juga boleh maki-maki aku sekarang Mbul. Kalau kamu takut aku marah, aku kasih tau dari sekarang, aku gak akan marah ke kamu, aku gak akan bentak kamu, aku bakal peluk kamu setelah itu.”

“Aku salah karena memaksakan diri saat itu dan aku gak jujur sama kamu kalau sebenarnya aku lagi capek, yang ada di pikiran aku tuh cuma untuk nyenangin kamu sama Lolly.”

“Dan ya, berujung aku bikin kamu sedih karena perlakuan aku yang gak baik, aku minta maaf sama Thi.”

“Sayang, kamu gak perlu takut sama aku.”

“Thi tuh kesel sama kamu, aku marah juga sama kamu, kamu yang kemarin-kemarin tuh bikin aku ngerasa kalau kamu udah bosan sama aku, kamu udah gak ngerasain apa-apa lagi sama aku.”

Yang muda bersuara, menggungkapkan semua apa yang dirinya rasakan, tak lagi mau menahan air matanya, “Dan aku benci pikiran aku yang mikir kalau kamu emang udah gak mau sama aku, aku takut kamu ninggalin aku.”

“Karena mau sekuat apapun aku, nyatanya aku gak bisa gak ada kamu.”

“Tetaa boleh kok kalau Tetaa mau sendiri dulu, atau emang gak mau ngeliat aku, tapi jangan pergi jangan pergi dari aku.”

Kedua tangan yang tua perlahan menangkup sisi-sisi wajah lelakinya, mengusap air mata yang terus mengalir tanpa henti, “Yang bosan sama kamu tuh siapa Mbul?”

“Kamu.” Si manis membalas.

“Kamu harus tau ini, kita gak pernah tau kedepannya itu gimana, kita gak pernah tau masa depan tuh kayak apa, semesta selalu punya rencana gak terduga, tapi kamu gak perlu khawatir kalau aku bakal ninggalin kamu.”

“Sama kayak yang aku bilang sebelum-sebelumnya, semua orang boleh hilang tapi enggak dengan kamu.”

“Thi, bukan hanya kamu yang gak bisa tanpa aku, sejak awal aku udah bergantung sama kamu. Aku pernah bilangkan kalau aku gak tau gimana jadinya aku tanpa kamu, sampe kalo bisa ditukar nih ya, aku rela nukar apa aja yang aku punya asal aku sama kamu terus.”

“Jadi, kamu jangan takut kalau aku gak sayang sama kamu.”

Kedua ibu jari pria tan itu tak berhenti mengelus pipi suaminya, membiarkan lelaki berparas cantik itu menangis tanpa menyuruhnya untuk berhenti.

“Atau, Thi yang lagi butuh sendiri dulu?” Tawan kembali bersuara.

Lekas-lekas yang muda mengelengkan kepalanya, “Aku gak butuh sendiri karena aku punya kamu, maafin Thi yang bikin masalah kita makin besar.”

“Maafin pikiran-pikiran buruk aku terhadap kamu, aku ini emang aneh tapi kenapa kamu masih sabar sih Tetaa.”

“Kenapa jadi kamu yang minta maaf Mbul,”

“Karena aku emang nyebelin.”

“Aku lebih suka kamu nyebelin dari pada diem aja kayak yang kamarin-kemarin, kalau kamu udah marah terus diem bikin aku stress sendiri soalnya kamu balik lagi jadi kamu pas awal aku deketin kamu.”

“Aku minta maaf ya Thi.”

“Iya.”

“Jadi kita udah maaf-maafan nih?” Tawan kembali bertanya dan langsung mendapat anggukan dari si manis.

“Kita udah temenan.”

“Mana ada temenan! Kita udah punya Lolly.” Sargah yang tua.

“Lolly bilangnya aku sama kamu harus temenan lagi, gak boleh berantem.”

“Baikan, Mbul.”

“Temenan aja kenapasih?”

“Kalau temenan kamu jangan minta peluk!”

Raut wajah sebal yang tua membuat Thi semakin gencar ingin menggoda lelakinya, “Ada banyak yang bilang temenan tapi pelukan.” Thi tak mau kalah.

“Yaudah jangan minta cium.”

“Ada banyak juga yang temenan tapi cium-ciuman.”

“Jangan minta yang iya-iya sama aku.”

“Tetap aja banyak temenan tapi ngelakuin yang iya-iya.”

“Ya.” Setelah menyelesaikan katanya, Tawan kembali melajukan mobil hitam miliknya dengan kecepatan sedang tak lagi mau menatap pria di sebelahnya, hingga sebuah tawa dari yang muda terdengar.

“Bercanda Tetaa.”

“Tetaa?”

Oke, sekarang giliran Thi yang kelimpungan akibat ulahnya sendiri.

•••

“Tetaa kamu gak lucu banget ngambek sekarang.” Suara yang muda kembali terdengar begitu kedua anak adam itu masuk kedalam rumah mereka.

“Tetaa kita baru baikan,”

“Temenan.” Koreksi yang tua.

“Tetaa jangan ngambek gitu gak lucu banget ih.” Thi terus berucap sembari mengikuti kemana langkah suaminya.

“Ngapain ngikut aku mau mandi.”

Kedua tangan lelaki manis itu menarik ujung baju yang dikenakan Tay tawan, “Jangan ngambek.”

Tak ada balasan.

“Tetaa jangan ngambek aku cuma iseng aja tadi.”

“Tetaa ih jangan diem aja.”

“Mau ikut mandi bareng gak?”

•••

-Joya-