[Amerta]

•••

Helaan napas panjang terdengar setelah putusnya sambungan telepon, pria berumur dua puluh tiga tahun itu lantas membereskan barang-barangnya sebelum melangkah meninggalkan tempat kerjanya. Raut wajah cemasnya begitu kelihatan, tak jua menyapa balik rekan kerja yang tersenyum padanya. Karena sekarang, isi kepalanya hanya di penuhi dengan seseorang yang namanya selalu ada dalam doa.

Mobil bercat putih tulang itu melaju dengan kecepatan tinggi, berkali-kali menekan klakson dengan terburu-buru, seakan ingin memberitahu semua orang jika hanya ialah yang punya urusan penting sekarang, padahal sejatinya tidak begitu.

Umpatan pelan terucap dari bibirnya tak kala lampu yang tadinya hijau berubah menjadi merah, helaan napas itu kembali terdengar, mengusap wajah kusutnya dengan kedua telapak tangan, lalu kembali menginjak gas-melaju membelah jalanan yang masih belum ada tanda-tanda akan lengang.

Sekitar tiga puluh menit menempuh perjalanan, di perburuk karena malam ini merupakan sabtu malam, sepasang pantofel mengkilap itu melangkah memasuki rumah bertingkat dua, seorang wanita berumur tengah abad langsung menyapanya.

“Bapak di atas Den, gak mau makan.”

Anggukan dua kali ia berikan, langsung berjalan dengan terburu-buru menaiki anak tangga rumahnya, membuka pintu bercat abu-abu gelap itu dengan pelan, hal yang pertama kali membuat netranya berhenti mencari adalah seseorang yang tengah terbaring dengan mata tertutup dan tak lupa selimut tebal yang membalut tubuh gagahnya.

Langkah pria beriris kelabu itu memelan, tak ingin membangunkan kekasihnya. Menanggalkan jas hitamnya dan menyisakan kemeja putih yang melekat di tubuh rampingnya. Dengan sangat perlahan, ia meletakkan punggung tangannya di dahi pria yang lebih tua darinya itu, “Panas banget.” cicitnya.

Sepasang kelopak itu terbuka secara perahan, memamerkan iris hitam pekat begitu sayu, tangan pria berumur dua puluh lima tahun itu perlahan mencari pasangannya-menggenggam tanggan kekasihnya, menautkan jemari mereka berdua, seulas senyum tipis ia berikan setelahnya.

“Sayang.” suara serak itu terdengar.

“Aku panggil dok-”

“Aku cuma butuh kamu, Newwiee.” yang lebih tua langsung memotong ucapan kekasihnya dengan begitu cepat, padahal suara yang keluar dari mulutnya begitu pelan, cenderung terdengar seperti lirihan.

Pria bernama Newwiee itu kembali menghela napas panjang, masih berdiam diri, duduk di pinggir ranjang sang kekasih dengan tatapan begitu khawatir. “Tay, kalau kamu gak mau semuanya, kapan mau sembuh?”

Yang lebih tua malah tersenyum saja, karena sejujurnya kepalanya sangat pusing, “Besok sembuh” ia menjawab, seadanya.

“Makan ya? aku buatin bubur.”

“Neww-”

“Kamu bantah aku pulang.”

•••

Semangkuk bubur sudah ia habiskan, perutnya pun sudah cukup kenyang, keadaanya bisa di bilang lebih baik dari beberapa menit yang lalu, New juga sudah memberikannya obat penurun panas.

Tay tawan, pria berumur dua puluh lima tahun, memiliki alis tebal, hidung mancung, rahang kokoh, bibir tipis, pahatan sempurna. Kalau karyawannnya bilang dia tampan. Senyum tipis kembali terukir menghiasi wajahnya saat kedua netranya menangkap New yang tengah sibuk dengan baskom berisikan air es yang berada di tangan, berjalan mendekati Tay dan kembali duduk di pinggir ranjang kekasihnya.

Setelah selesai menyuapkan bayi besarnya, tugas yang harus New kerjakan adalah mengompres tubuh kekasihnya, Tay hanya diam, menikmati perlakuan New yang selalu perhatian padanya, selalu ada di setiap ia butuh tanpa perlu berkata terlebih dahulu, selalu bisa jadi orang yang Tay andalkan di segala kondisi.

Sebulir kristal jatuh membasahi pipi si manis masih terus menge-lap tangan dan bagian tubuh Tay yang lain dengan sapu tangan. “Aku gak apa-apa, New.”

“Kamu selalu bilang gitu, selalu bilang gak apa-apa padahal kamu sedang kenapa-napa.” si manis berucap.

“Kalau nangis terus, nanti kamu jelek.”

“Biarin aja, biarin aku jadi jelek di depan kamu.”

Kekehan begitu pelan dari Tay namun masih dapat di dengar, tangan kanannya terulur menyerka air mata sang kekasih, kadang Tay berpikir mengapa New mau ia repotkan, mengapa New selalu punya waktu untuknya, dan mengapa New bisa dengan mudahnya meng-iyakan segala yang Tay minta?

“Malam ini kamu nginap, ya?” Tay meminta.

“Menurut kamu aku bisa pulang dengan keadaan tenang sementara kamu begini?”

Tay tersenyum mendengarnya, walau nada sang kekasih terdengar judes namun di balik itu Tay tau kalau orang yang berada bersamanya sekarang adalah orang yang benar-benar mencintainya tanpa tapi.

“New”

“Aku nyuruh kamu tidur, Tay.”

“Mandi gih, di meja makan sudah ada makan malam untuk kamu.”

•••

Sesendok nasi lengkap dengan lauk pauknya sudah berada di dalam mulut pemuda berkulit seputih susu itu, duduk sendirian di dapur tanpa ada teman merupakan hal yang paling ia hindarkan sebenarnya, namun apa boleh buat, sang kekasih tengah tak sehat.

Setelah mengabiskan makanannya New memutuskan untuk melangkah ke kamar Tay, sembari menge-lap tangannya yang basah di karenakan selesai mencuci piring kotornya. Memutar knop pintu kamar sang pujaan hati lalu menutupnya kembali.

Netra keduanya bertemu, ternyata Tay-nya masih terjaga, yang lebih tua mengulas senyum manis, mengisyaratkan agar pria manis berbalut piyama satin berwarna putih itu berbaring di sampingnya.

New menurut, berjalan mendekati sang kekasih lalu mendaratkan tubuhnya di ranjang empuk, tepat di sebelah Tay, lalu berujar pelan “Kenapa belum tidur juga?”

“Gak ada Newwiee.” dia menjawab.

Si manis hanya menggelengkan kepala dua kali, lalu bergerak untuk memeluk sang kekasih, suhu tubuh Tay masih tinggi, kepalanya juga pasti pusing, namun tak urung memejamkan matanya agar beristirahat.

“Tadi Mama nelepon, kamu mau di masakin apa besok?” New bertanya, nadanya begitu lembut masuk ketelinga pria berkulit tan yang tengah berbaring lemas.

“Kapan ya aku di masakan Mama ku?”

“Tawan.”

“Mau berapa kali aku ngitung pun Mama gak bakal pernah kembali buat bawa anaknya pulang dari pantai.” pria berulit tan itu kembali berujar, membiarkan jemari New yang terus memainkan helai rambutnya, sesekali mengelus pelan dengan perasaan teramat sayang.

“Kamu jangan buang aku juga ya New.”

“Hei, Tawan. Hilangin semua pikiran buruk kamu, karena aku gak bakalan pergi kemana-mana. Bakalan sama kamu terus kalau semesta bilang iya.”

“Kalau semesta bilang enggak?” yang lebih tua kembali memberi tanya.

“Kita usaha sama-sama ya.”

Sekilas pertemuan kedua memang bisa di bilang biasa aja untuk di ceritakan kembali, Tay itu butuh pendamping untuk menghadiri pesta pernikahan mantannya, dan ia di pertemukan semesta pada New dengan perantara Off. Layaknya dua orang tak saling kenal yang baru pertama kali tatap muka, hanya mengulas senyum namun Tay sudah jatuh sejak awal pada pria manis dengan iris kelabu yang bukan main indah di pandang.

Sejak itu, sepertinya semesta memang menginginkan mereka berdua untuk bersama-sama, menciptakan banyak kenangan begitu membekas di ingatan masing-masing, memberi bahagia dan cinta yang tak kunjung menemukan akhir.

Tay itu pendiam bukan main, namun beda kalau di sedang sakit. Bakalan jadi rewel sekali, namun hanya pada New, kalau bahasa gaulnya dia mau sama Newwiee-nya terus 24/7.

“Pusing.” Tay mengadu.

“Tidur makanya, ganteng.”

“Kalau tidur nanti gak bisa mandangi kamu.” ia menjawab.

New terlihat memutar bola mata malas, namun jemarinya malah terus mengelus wajah sang kekasih “Besok-besok gak ada ya lembur-lembur begini, kesehatan itu nomor satu Tay.”

“Kan mau nikah, harus lebih giat kerjanya.”

Si manis menghela napas, mengubah posisinya menjadi bersandar di kepala ranjang, membuat Tay malah berpindah tempat-menjadikan paha kekasihnya sebagai bantal paling empuk sedunia.

“Kamu jangan begini dong, aku khawatir banget ya dengar Mbok bilang bapak gak mau makan, malah ngurung diri di kamar. Pas aku tanya kenapa bilangnya gak apa-apa.”

“Jangan sok kuat Tay, kamu juga manusia.”

“Iya cantik, jangan di omelin dulu dong aku-nya.”

Kedua kelopak pria berkulit tan itu mulai tertutup, namun kembali terbuka karena helusan tangan New di kepalanya terhenti, “Elus lagi.”

“Manja.”

“Sayang-sayangin aku.”

“Manja.”

“Mau di peluk, tapi nanti kamu ketularan batuk.”

“Tidur jangan ngoceh mulu.” si manis mengingatkan.

“New jangan buang aku, cukup Mama aja.”

“Newwiee aku sayang banget sama kamu, kita bakalan nikah dan hidup bahagia, kan?”

“Newwiee aku mau jadi orang tua yang bikin anaknya bangga punya kita.”

“Aku janji kalau punya anak, aku gak bakal ninggalin dia, gak bakal buang dia, dan gak bakal buat dia ngerasain apa yang aku rasain.”

“Newwiee.” pria berkulit tan itu terus meracau, Tay memang begini kalau sedang sakit, selalu membahas masa kecilnya yang begitu tak menyenangkan untuk di rasakan.

Tay bercerita pada New saat mereka sedang berada di pantai dua tahun yang lalu, kala itu pertama kalinya Tay meng-iyakan ajakan New untuk mengabiskan waktu bersama di pantai, pria itu bilang dia benci pantai karena sang ibu mengatakan jika beliau ingin membeli minuman dingin untuknya, namun di hitungan keseratus untuk yang kesekian kalinya, wanita cantik itu tak kunjung datang, tak juga menjemputnya, hingga ia harus bermalam di pantai seorang diri. Tay juga bilang kalau dia hanya punya Mama, namun sekarang tak lagi punya siapa-siapa.

pemuda berusia dua puluh tiga tahun itu menunduk, mencium pipi Tay sedikit lama, “Iya Tay, kita usahain semua keinginan kamu agar terwujud.”

“Aku anak nakal, makanya Mama ninggalin, kan?”

“Aku suka berantem disekolah sampe Mama marah, Mama capek ngurusin aku, kan?”

“Tapi kan sekarang udah gak nakal.”

“Aku gak nakal kan New?”

New dia saja, membiarkan Tay berucap sesukanya, karena sesungguhnya semua pertanyaan yang Tay tanya itu tak dapat ia jawab dengan baik, semua orang punya jawaban berbeda untuk setiap pertanyaan yang terlontar.

“Kamu bahagia gak sama aku?”

Elusan tangan New belum juga berhenti, mendengar pertanyaan terakhir dari Tay membuatnya tersenyum manis, mata lelaki itu sudah tertutup rapat namun mulutnya tak kunjung berhenti berucap.

“Sekecil apapun perlakuan kamu, bahagia di aku pasti ada. Tawan, kamu itu satu-satunya hal yang aku minta pada semesta agar tidak pergi kemana-mana.”

“Kamu hebat, gak semua orang bisa berada di posisi kamu.”

New tau, ia pun juga sadar, semua manusia punya topengnya masing-masing, kebanyakan tawa adalah salah satu hal untuk menutupi luka yang ada, banyak sekali manusia berbohong tentang senyuman yang ia tampilkan. Sama halnya dengan semesta, manusia juga gemar bercanda dan tak terduga.

Seulas senyum manis ia tampilkan, menatap wajah sang kekasih yang sudah terlelap. Tay terlihat begitu tampan jika ia tertidur, pun wajahnya begitu damai. Jika boleh meminta, New ingin bersama Tay selamanya. Karena ia, begitu mencintai Tawan-nya.

“Ini aku tidurnya duduk?” ia bertanya pada dirinya sendiri, melihat Tay yang baru saja tertidur membuatnya tak tega untuk membangunkan sang kekasih hanya untuk membenarkan posisi.

Tubuh si manis kembali membungkuk dengan perlahan, kembali mendaratkan bibirnya di pipi kiri Tay, menciumnya dengan begitu lama, mencurahkan segala cinta yang ada, hanya untuk Tawan.

“Lekas sembuh, sayang.”

•••

-Joya-