—Awal mula.

•••

Langkah kaki berbalut sneakers usang milik sang empu membawanya ke sebuah kedai makan di ujung gang.

Senyum lelaki tan itu lantas terukir menghiasi wajahnya begitu kedua netra cokelat caramel miliknya menjatuhkan pandang pada steling berisikan berbagai macam lauk pauk.

“Bu soto ayamnya satu gak pake nasi, perkedel seporsi, te—“

“Teh tawar dingin es batunya sepuluh.”

Tawa lelaki bernama lengkap Apo nattawin wattanagitiphat itu terdengar begitu renyah masuk kedalam indera pendengaran, ia mengangguk membenarkan apa yang diucapkan wanita paruh baya di depannya sebelum mencari tempat duduk.

Pilihannya jatuh pada meja paling pojok, alasan ia memilih tempat itu cukup simple sebenarnya, ada seekor kucing manis yang tengah berdiam diri.

Nattwin lantas mengeluarkan ponsel pintar miliknya, tak bisa kalau tidak memotret makhluk paling menggemaskan yang berada di dunia, menurutnya.

“Mpus.” Tangan kirinya mulai mengelus kepala kucing di depannya.

Secepat itu Nattwin sudah asik pada dunianya, berbicara tak henti pada kucing yang bahkan belum tentu mengerti.

Tak mengetahui fakta jika ada seseorang yang tengah memandanginya sedari tadi dengan seulas senyum tipis memikat hati.

•••

Makanan yang dipesannya sudah habis ia santap, berakhir meminum es teh tawar miliknya hingga tandas tak bersisa meninggalkan beberapa buah es batu di dalam gelas kaca itu.

Tangan kanannya tanpa sadar bergerak memutar di perutnya, “Kenyang.” Nattwin bergumam kecil.

Lelaki jangkung dibalut kaos putih itu beranjak dari tempatnya untuk membayar, sayup-sayup telinganya mendengar percakapan antara bu Ida dan seorang pria dengan setelan formalnya.

”Aduh den di warung Ibu mana ada bayar pake QR atau apalah tadi Ibu gak paham.”

”Tapi saya gak punya uang cash, Bu.” Pria itu menjawab lengkap dengan ringisannya terdengar.

”Yaudah aden lain kali aja baya—“

”Punya Nattawin berapa Bu?”

Bu Ida dan pria yang cukup (tampan) itu menoleh ke samping, menatap dirinya, dan Nattawin cukup pintar untuk mengembangkan senyum manisnya.

”Kamu gak ada tambah kan? Empat puluh lima ribu Nattwin.”

Pemuda yang biasa di sapa Nattawin itu mengangguk, mengeluarkan dompetnya—sebelum benar-benar membayar pesanannya ia berujar santai, ”Sekalian punya Bapak ini aja Bu.”

•••

—Joya.