[Bincang]
•••
Sepasang netra hitam pekat sang empu berhenti mencari ketika pandangannya terjatuh pada pemuda berkaos longgar yang tengah asik dengan makanan di depannya, ujung-ujung bibirnya melengkung ke atas membentuk sebuah senyuman manis ketika pipi kekasihnya menggembung lucu-mengunyah makanannya.
Tay melepas jaket kulit yang melekat di tubuh atletisnya, meletakkan jaket itu di atas kursi meja makan, kehadiran yang lebih tua baru disadari oleh lelaki manis berkulit seputih salju itu, ia meletakkan kembali sebuah cireng yang berada di tangannya tak lupa mengambil beberapa tissue untuk dirinya sendiri.
“Teta kok gak bilang-bilang udah di sini?”
“Kamu aja yang gak denger aku masuk, asik sendiri sih.”
Kekehan renyah terdengar di telinga yang lebih tua, sepasang iris hitam pekat itu tak lepas mengamati wajah indah kekasih hatinya, Tay teramat suka melihat Thititpoom-nya, kedua mata pemuda itu menyipit dengan deretan gigi rapi terlihat ketika gelak tawanya terdengar, atau mengerucutnya bibir merah muda lengkap dengan lirikan sinis ketika ia sedang dalam keadaan merajuknya, Tay suka semua tentang pemuda berpipi gembul yang berada di depannya ini.
“Teta jangan dimakan.”
Terlambat sudah, yang lebih tua memasukkan bola putih itu kedalam mulutnya, Thi menatap sang kekasih dengan eksrpresi harap-harap cemas, “Keras banget, kan?” cicitnya.
Tay mengangguk setuju, cimol goreng buatan pemuda berkulit seputih saljut itu benar-benar keras, rasanya juga cenderung hanya pedas, dan “Kamu kebanyakan bubuk bawang putihnya Thi.” Tay berucap.
“Iya kah?”
Yang lebih tua mengangguk tangan kanannya terulur untuk mengambil cireng kemasan yang sudah di goreng Thi sebelumnya, “Yang ini enak.” Ia kembali bersuara.
Thi mengangguk setuju kali ini, “Emang enak Taa, aku mau marah juga gak bisa.” Jawab yang lebih muda, iris kelabu pemuda itu menatap sebuah mangkok berisikan cimol keras buatannya, ekspresi sedih cenderung menggemaskan itu membuat yang lebih tua tak tahan lagi, ia berjalan beberapa langkah mendekati lelakinya-kedua tangannya langsung menangkup pipi gembul sang empu, meremasnya pelan-pelan, “Gak usah sedih, gagal itu wajar sayang. Ayo kita bikin bareng-bareng.”
•••
“Oh bubuk baputnya segitu aja toh, kalo aku tadi lebih banyak dari kamu sih.” Thi berucap dengan mulut penuh berisikan buah mangga.
Ucapan Tay soal mereka yang akan memasak bersama adalah sebuah hal yang tak benar adanya, karena yang dilakukan pemuda beriris kelabu itu hanyalah mengupas dua buah mangga, memotongnya kecil-kecil lalu duduk di sebelah kompor menemani sang kekasih.
Tay menerima suapan sepotong mangga dari Thitipoomnya, “Manis banget kan Om mangganya.” Thi berucap.
“Mulai Thi mulai.”
Gelak tawa yang muda terdengar, menggoda Tay tawan adalah sebuah keharusan untuk dirinya.
“Teta tuh bisa masak apa aja ya.”
“Aku pernah bikin rendang lho pas Sma.” Tay berujar sembari kedua tangan berbalut sarung plastik itu tak berhenti bergerak-membentuk adonan bulat-bulat sempurna.
“Oh ya? Gimana rasanya?”
“Kata almarhumah Ibu sih enak. Jadi dua bulan setelah bapak meninggal tuh Ibu mulai sakit-sakitan Mbul, Mba Muk kuliah di luar kota, Mas Rendra lagi sibuk-sibuknya sama kerjaannya dia, jadi yang punya waktu kosong lebih banyak tuh cuma aku kan.”
Yang muda menaruh seluruh perhatiannya pada Tay, mendengarkan cerita sang kekasih yang belum pernah ia ketahui, Tay tawan terlalu tertutup tentang keluarganya, dan Thi tak ingin bertanya yang membuat sang kekasih tak nyaman. Thitipoom mau, Tay tawan sendirilah yang bercerita tanpa harus ia tanya kenapa.
“Pulang sekolah sebelum kerumah sakit aku masak dulu buat Ibu, soalnya beliau gak suka makanan rumah sakit, kata Ibu gak ada rasanya, Tapi kadang resep-resep masakannya aku tanya sama Mba Muk sih hahaha. Soalnya dulu Ibu sama sekali gak make orang buat bantu-bantu di rumah.”
“Kamu tuh hebat, mandiri banget.”
“Kepaksa keadaan sih yang.” Tay menyahut.
“Gak lama Ibu nyusul Bapak kan Mbul, mana besoknya pengumuman SBMPTN dan aku gak lolos, ancur banget pas itu. Berakhir aku nganggur setahun.”
“Teta ngapain aja setahun itu?”
“Setahun itu aku pake buat kerja, dulu pernah kerja di minimarket, jadi guru les, apa aja deh, dan sebelum tidur aku usahain buat belajar dikit aja. Jadi uang yang kekumpul selama setahun tuh bisa buat bayar kost-an sama kuliah.”
“Padahal Teta bisa tinggal bareng mas Rendra atau mba Muk.”
“Ibu tuh pernah bilang ke aku, sebaik apapun manusia dia pasti punya waktu gak pas-nya. Tinggal sama orang tuh pasti ada gak enaknya walaupun dia kakakmu sendiri, jadi daripada ada kejadian yang gak di inginkan mending aku ngekost aja, eh malah ketemu si Jumpol.”
“Alasan aku kerja juga biar aku bisa ngehidupi diriku sendiri tanpa minta sama Mba atau Mas, tanpa ngambil uang yang ditinggali bapak sama Ibu, karena kalau seandainya aku kuliah dan gak jadi orang, gak ada yang bisa bilang percuma kuliah tapi gak bisa jadi apa-apa, ngabisin uang orang tua aja karena aku kuliah pake uangku sendiri.”
“Itu pikirannya aku dulu, gak bisa di samain sama orang lain, ini cuma pikiran seorang Tay tawan.” Tay berujar begitu panjang.
“Pas jaman kuliah Teta ada cerita apa aja?”
Tay menoleh kearah kekasihnya dengan tangan kanan tak berhenti mengaduk cimol yang berada di penggorengan.
“Kalo mas atau mba nanya ada uang kan aku selalu bilang ada, padahal mah gak ada hahaha, aku inget deh Thi pas aku sama Jumpol lagi bener-bener miskinnya pas itu sampe beli nasi bungkus enam ribu dibagi dua.”
“Kalau mba sama mas ngirim uangnya kamu pake?”
“Iyalah hahaha, tapi aku gak pernah minta ke mereka. Jumpol tuh kalo habis dapet uang dari Papanya, pulang pasti ada aja tentengannya, mana dia pernah beli sate seratus tusuk malem jumat Mbul.”
Gelak tawa yang lebih muda pecah seketika membayangkan lelaki bermata sipit itu, “Bang Jum emang seaneh itu ya Ta dari dulu.”
“Emang aneh dia makanya kita temenan sampe sekarang, dia tuh juga nganggur setahun sama kayak aku, bukan karena dia gak lolos SBMPTN, tapi dia gak lewat tes polwan.”
“Polisi Teta.”
“Lah salah Jumpol sendiri, dia bilang ke aku Gue gak lewat polwan Tay, nyangkut di kesehatan begitu.”
Yang muda kembali tertawa.
“Jadi sekarang aku boleh nanya sama kamu?” Tay berucap sembari meniriskan cimol gorengnya, melangkah mendekati sang kekasih-berdiri tepat di depan Thitipoom-nya, menatap iris kelabu sang pemilik dalam-dalam, hingga sebuah anggukan dari yang lebih muda terlihat.
“Kenapa mau sama aku?”
Pemuda berkulit cerah itu mengulas senyum begitu manis, perlahan tangan kanannya terulur untuk mengelus pipi lelaki yang berada di depannya dengan penuh perasaan, penuh kasih sayang.
“Kenapa aku harus gak mau sama kamu?” Bukannya menjawab ia melempar pertanyaan.
“Kebiasaan,” Tay menyentil dahi tertutup poni rapi itu hingga sebuah ringisan pelan tercipta dari yang muda, “Kalau ditanya pacarnya tuh dijawab, bukan nanya balik, gembul”
“Kalau kamu tanya kenapa aku mau sama kamu, jawabannya aku gak tau. Aku sendiri aja gak tau alasan kenapa aku jatuh sama manusia sejenis kamu, karena kalau boleh jujur sebelum aku nekat buat nembak kamu dua tahun yang lalu, setiap malamnya aku selalu nanya ke diriku sendiri apa alasan aku jatuh sama pesona kamu, sampai di mana aku kelimpungan atas apa yang ada di kepala.”
“Dan sebenarnya aku gak butuh alasan apa-apa, karna kalau udah jatuh, aku gak lagi mau jauh, dari kamu.”
“Teta mau tau gimana perasaan aku setelah dengar cerita kamu barusan?”
Kedua alis pria berkulit tan itu naik-turun menunggu jawaban yang akan keluar dari mulut kekasihnya, orang yang memiliki tahta tertinggi di hatinya untuk hari ini, esok, seterusnya, dan selamanya.
“Setelah tau cerita kamu tadi, aku malah makin cinta.”
“Dih hahahaha, Mbul-Mbul bahasa mu itu loh.” Tay terkekeh pelan hingga bibir yang lebih muda maju beberapa senti, Thitipoom-nya cemberut.
“Orang bicara jujur juga, Teta tuh emang gak bisa diajakin romantis. Dasar orang tua.” gerutu si manis.
“Gini-gini juga kamu cinta sama aku.”
“Ucapan kamu gak tepat Ta.”
“Terus yang tepat apa? Thi?”
“Cinta mati.”
Usai jawaban Thi terdengar, tawa keduanya kompak meledak memenuhi dapur milik si manis. Kedua tangan Tay menangkup sisi wajah kanan-kiri si manis, sontak membuat gelak tawa Thi mereda berasamaan dengan matanya yang mengerjap lucu berulang kali.
Seulas senyum manis langsung terukir di wajah pemuda berkulit seputih salju itu tak kala sebuah kecupan berdurasi sepuluh detik mendarat di dahinya, lalu turun di kedua mata, hidung, kedua pipi, dagu, dan terakhir di bibir merah mudanya, kali ini yang lebih tua tak hanya mengecupnya saja, di berikannya juga lumat-lumatan kecil di sana, kelopak mata keduanya langsung tertutup tak kala ciuman itu semakin mesra dirasa, kedua tangan Thi langsung bergerak untuk menekan tengkuk yang lebih tua-bermaksud memperdalam pagutan mereka.
Beberapa menit setelahnya pagutan itu terlepas bersamaan dengan saling berkejar-kejarannya deru napas, jemari-jemari lentik si manis kembali mengelus wajah sang kekasih, seulas senyum mengembang sempurna pun kembali ia tampilkan.
“Senyum centil.” Tay bersuara.
“Cimolnya udah dingin Thi.”
Pemilik iris kelabu itu menoleh ke kanan, menatap cimol buatan Tay tawan, “Gak apa-apa Tetaa, ntar tinggal di taro bubuk cabe aja udah enak. Makasih banyak ya.”
“Tetaa.” Thi kembali bersuara setelahnya.
“Saya.”
“Cimolnya emang udah dingin, tapi sekarang aku yang panas.”
•••
-Joya-