[Camaraderie]

•••

Minggu, 16 januari 2042.

“Mosha, handuk yang habis kamu pake letakkan kembali pada tempatnya”

Pemuda berusia tujuh belas tahun itu menoleh pada seorang pria paruh baya berumur empat puluh dua tahun yang tengah berjalan mendekatinya, cengiran itu terukir di wajahnya sembari meletakkan kembali handuk berwarna putih bersih itu di gantungan belakang pintu kamar mandi miliknya.

“Hehe, aku lupa.” Mosha berucap setelahnya.

Pria berumur itu hanya menggelengkan kepalanya dua kali, perlahan tangan kanannya terulur untuk mengambil selembar kertas yang tergeletak di lantai, mengamati gambar yang di buat oleh Mosha, senyum simpul tanpa sadar terbit di wajahnya, kerutan tipis di bagian matanya pun terlihat.

“Gambar kamu memang bagus sekali, Nak”

Mosha yang tengah menyisir rambut basahnya dengan kesepuluh jemarinya itu pun terkekeh malu “Jangan gitu ah Pa, Mosha malu nih.”

“Kamu mau pergi main?”

Gelengan kepala dari Mosha terlihat, pemuda berusia tujuh belas tahun itu pun dengan cepat berjalan ke sofa yang terletak di depan jendela, mendaratkan kepalanya di pangkuan sang Papa.

“Mosha cuma mau latihan basket sama temen-temen jam tiga sore nanti Pa.”

“Rambut kamu masih basah, Mosha!”

Mosha tertawa saja, namun tak urung membuatnya bangkit dari posisinya, sedangkan pria dengan iris kelabu itu masih diam, membiarkan pahanya bersentuhan langsung dengan rambut basah sang anak.

“Pa, jatuh cinta itu seperti apa?” Mosha bertanya.

Seulas senyum tipis dari pria itu kembali muncul di wajah tampannya, mengelus dengan pelan rambut anaknya “Setiap manusia punya jawabannya sendiri untuk mejawab pertanyaan kamu tadi, tapi menurut Papa, jatuh cinta adalah kamu yang siap untuk patah.”

“Kenapa harus siap untuk patah?”

“Karena, cinta bukan hanya tentang bahagia dan tawa saja, dia lebih dari itu, suatu saat nanti bakalan ada orang yang bikin kamu patah dan sembuh secara bergantian.”

“Mosha gak ngerti, tapi Pa tadi di sekolah ada cewek yang terang-terangan nyatain perasaannya sama Mosha.” pemuda berkulit tan itu kembali berucap.

“Reaksi kamu bagaimana?”

“Mosha senyum sambil bilang terima kasih, tapi untuk menerima Mosha gak bisa. Cinta itu aneh, ribet, susah, aku gak ngerti cara kerja cinta.”

“Papa juga pernah mikir kayak yang kamu pikirin tentang cinta, sampai Papa ketemu sama orang yang bisa patahin semua hal buruk itu. Kamu mau dengar kisah Papa?”

Anggukan begitu antusias terlihat dari Mosha “Aku selalu kepo kenapa Papa bisa jatuh cinta.”

•••

Senin, 6 februari 2017.

Seperti hal yang sering terjadi pada senin-senin sebelumnya, hari yang paling di kutuk oleh manusia, decakan pelan itu terdengar tak kala buku-buku paket yang berada di pelukannya jatuh berserakan kelantai akibat seseorang yang dengan sengaja mencekal kakinya.

Bayangkan saja, baru selesai melakukan upacara bendera, masih lelah akibat berdiri di lapangan beberapa menit di temani teriknya matahari pagi, belum sempat ia untuk duduk barang sekejap namun dengan begitu baik hati wali kelasnya meminta tolong untuk mengambil beberapa buku paket dari perpustakaan, dan sekarang ia kesabarannya harus di uji lagi?

“Yah, jatoh deh.” suara paling menyebalkan itu terdengar di telinganya, pemuda berkulit seputih susu itu menghela napas kasar, mengumpulkan buku-buku yang berserakan di lantai lalu menatap pelaku dengan tatapan kesal bukan main, ia tak berkata namun sebelum meninggalkan musuhnya, cowok beriris kelabu itu dengan sekuat tenaga menginjak kaki manusia yang berada di sampingnya kuat-kuat.

Senyum manisnya terbit ketika sebuah ringisan dari musuhnya terdengar.

•••

“Pak, saya gak mau sekelompok sama dia.” protes-an dari pemuda beriris kelabu itu masih terus terdengar dari beberapa menit yang lalu, namun tampaknya guru fisika berusia kepala lima itu tak perduli sama sekali.

“Lo mau ngemis-ngemis pun gue bakalan tetep jadi bagian dari kelompok lo. Terima aja napa sih, ribet amat.” suara menyebalkan itu kembali terdengar.

“Masalahnya lo manusia yang paling gue hindari di kelas ini.” tandas pemuda beriris kelabu itu dengan lugas.

Senyum manis lawannya terukir “Newwiee thitipoom techaapaikhun, murid paling berprestasi yang ada di kelas dua belas mia empat, gue kasih tahu sesuatu hal yang harus lo ingat.” ia sengaja menggantungkan ucapannya, menoleh ke arah guru fisika yang tengah menerangkan materi di depan kelas “Semua hal yang terlalu bakalan bikin lo kelimpungan sendiri nantinya, termasuk terlalu membenci gue.”

“For your information, benci sama cinta itu bedanya tipis sekali, jadi hati-hati.”

•••

Ocehan berserta selipan makian masih terdengar dari mulut New, sembari mengunyah keripik kentang yang berada di depannya “Sumpah ya Gun, seharusnya gue masuk Sma Garuda aja.”

“Lagian kenapa bisa itu si bangke sampe daftar di Sma Petra coba? padahal lo bilang dia masuk Garuda?!!!!”

“Kenapa gue harus di pertemukan lagi sama makhluk semacam Tay tawan vihokratana!!!!”

“Gue udah berusaha banget lho enam tahun ngehindar dari dia, TAPI KENAPA SIALNYA GUE SELALU SEKELAS, HAMPIR DUA BELAS TAHUN BERTURUT-TURUT”

Cowok berkacamata bulat bernama lengkap Gun athaphan itu hanya menghela napas pelan, beranjak dari kasurnya untuk mengambil sebuah laptop yang berada di meja belajarnya “New, lo sadar gak sih, ucapan lo tadi adalah ucapan ke dua ribu enam puluh tiga kali yang pernah gue dengar.”

“Gak ada ucapan lain?” Gun bersuara lagi.

“Gun, lo gak di posisi gue, lo gak jadi gue, lo gak bakal tahu segimana bencinya gue sama itu manusia.”

“Dan itu ucapan yang ke dua ribu enam puluh-”

“Stop ngitungin ucapan gue!” potong New cepat.

Gun menaikkan bahunya acuh, kembali duduk di atas ranjangnya, menatap teman sejawatnya itu dengan kedua tangan di lipat di depan dada “Gak ada niatan buat berdamai aja?”

“Berdamai kata lo? dia itu pernah-”

“Mukul lengan gue” Gun memotong sembari mengikuti bagaimana cara bicara New ketika menjelaskan asal-muasal mengapa ia sangat memenci seorang Tay tawan vihokratana.

“New, lo tau kan dia gak sengaja, enggak sengaja. Lagi pula itu kejadian enam tahun yang lalu, kita masi Sd New.”

“Tetap aja, dia salah. Dia selalu mengacaukan hari gue, ngeliat bayangannya aja gue udah kena sial.”

“Yaudah, terus aja lo nyimpan dendam kesumat lo itu. Tapi hati-hati sama permainan semesta.”

•••

Hari berlalu seperti biasanya, New yang harus menerima jika ia memang sekelompok dengan musuhnya, “Gak apa-apa New, dikit lagi lo lulus.” itu adalah kata yang terus terucap setiap paginya. Helaan napas terdengar tak kala netranya menangkap seseorang yang tengah melambaikan tangan padanya.

New diam, ingin sekali rasanya ia menjambak rambut cowok itu hingga botak, tepukan di bagian bahu membuatnya tersentak, lantas menoleh ke samping mengalihkan perhatian pada Gun.

“Katanya musuh kok tatap-tatapan penuh kemistri begitu.” godaan Gun terdengar.

“Kemestri gigi lo gendut, lo gak liat gue mau makan orang?”

“Lo mau makan Tay tawan?” Krist menyambar.

New diam, tak ingin membuat urusan semakin panjang, mengunyah potongan terakhir batagornya, keadaan kantin perlahan mulai sepi akibat bel bertanda di mulainya kembali acara belajar-mengajar berbunyi sekitar lima menit yang lalu.

“Makan aja lama, dasar anak kecil.”

Kedua matanya membelalak dengan mulut mengembung berisikan makanan yang tengah di kunyahnya, New menggenggam garpu yang berada di tangannya kuat-kuat “Awas aja lo monyet.”

•••

“Minggir!”

“Kata gue minggir.”

“Kenapa harus gue yang minggir? lo aja kalo mau.” cowok berkulit tan itu meyahut dengan begitu santainya.

New menghela napas panjang, ia mati-matian menahan kekesalannya pada pemuda jangkung yang berada di depannya “Lo tuh kenapa hobi banget gangguin gue coba?”

Kekehan dari lawan bicaranya terdengar “Siapa juga yang punya hobi gangguin lo? kepedean banget.”

“Yaudah minggir gue mau pulang.” New kembali berucap, namun Tay tak urung mengindahkan permintaannya.

Keadaan sekolah sudah cukup sepi, murid yang masih berada di sini bisa di hitung jari, tak mau membuang waktunya New mendorong Tay dengan sekuat tenaga hingga cowok itu terhuyung beberapa langkah kebelakang, lantas saja ia berjalan meninggalkan cowok itu di koridor sekolah seorang diri.

“Motor gue,motor gue mana anjir?” ia bergumam, bagaimana bisa motornya tak ada di parkiran.

“Gue suruh Off bawa pulang, kan rumah dia selorong sama lo. Oh ya tadi gue juga nyolong kunci motor lo di tas.” suara menyebalkan itu lagi-lagi terdengar.

New menoleh kebelakang, napasnya tak lagi beraturan, ia menatap Tay dengan begitu kesal, melangkah mendekati cowok berkulit tan itu lalu siap menyumpah serapahinya, namun jemari telunjuk Tay lebih cepat berada di depan bibirnya.

“Jangan ngomel, lo makin kayak anak kecil. Mau pulang bareng gue, gak?”

•••

Minggu, 16 januari 2042.

“Daddy pulang!” suara itu terdengar, kedua anak manusia yang tengah asik bercerita dan mendengar cerita masa lalu itu menoleh ke arah pintu kamar Mosha dengan tatapan super datar.

“Daddy ngapain pulang jam segini? udah balik aja lagi kerumah Moma sana.” Mosha mengusir.

“Mosha.”

“Mosha kesal Pa, ayo cerita lagi.”

“Emang lagi cerita apaan sih?” yang lebih tua bertanya, berjalan mendekati anak dan suaminya.

“Papa nyeritain kisah cinta pertamanya.” Mosha menjawab.

“Duh jadi tersipu.” pria berkulit tan itu berucap sembari menutup wajahnya dengan kedua tangan, membuat Mosha langsung memutar bola mata malas, Daddy-nya lebay.

“Udah gak cocok berlagak seperti itu Tawan.”

Pria bernama Tawan itu membungkuk tepat di depan kekasih hatinya, menatap orang yang begitu ia cintai dengan senyuman manis “Kita masih cocok kok jadi remaja, New.”

“Daddy di sini masi ada Mosha.”

Keduanya terkekeh ringan, Tay mendaratkan bohongnya di lantai karena tak lagi muat berada di sofa, sang anak tak mau membagi tempat untuk Daddy-nya.

“Sha, Papa udah cerita sampai mana? Udah sampai Daddy memberanikan diri buat nyium Papa pertama kali belum?” Tay bertanya.

“Tawan!” cubitan dari New di bagian lengan kiri membuat Tay meringis pelan sembari memamerkan cengiran khasnya pada sang kekasih.

“Belum, baru sampai motor Papa di bawa pulang sama OmJum.”

“Ah masi jauh banget, kalo di ceritain bisa sampe dua bulan baru kelar. Singkatnya saja, Papa kamu jalan, gak mau Daddy anter pulang masa itu.”

“Terus gimana lagi? Mosha mau tau semuanya.”

“Ah gausah, nanti kamu iri.” Tay berujar.

Pemuda berumur tujuh belas tahun itu mencibir sang Daddy “Mosha juga banyak kali yang naksir.”

“Ya pasti, kamu turunan Daddy sama Papa.”

“Papa,” Mosha memanggil, membuat New hanya berdeham pelan, lantas remaja itu melanjutkan ucapannya “Kenapa Papa akhirnya mau bersama sampai sekarang sama Om ini? Mosha kasihan sama Papa.”

“Maksud kamu apa Mosha? Daddy ganteng, kaya, baik hati, rajin menabung, seksi jangan di tanya, saya-”

“Daddy itu brisik.”

Tawa New pecah mendengar ucapan anak semata wayangnya, Tay dan Mosha memang jarang sekali akur dari dulu, namun keduanya tak bisa pula berjauhan. Mosha itu berkulit kecoklatan seperti Tay, hidungnya, bibir tipisnya, rahang kokohnya, hampir semuanya turunan Tay tawan sekali, hanya satu yang tidak. Mosha itu memiliki iris kelabu seperti Newwiee.

“Alasan Papa mau berjalan beriringan bersama Daddy kamu adalah, dia satu-satunya orang yang menawarkan sebuah pelukan saat Papa sedang dalam keadaan tak baik-baik saja, dia satu-satunya orang yang mengulurkan tangannya saat Papa tak lagi bisa berdiri, Daddy kamu itu yang membuat Papa berfikir kalau kita itu butuh berbagi, kita butuh orang untuk berpulang.”

“Kenapa pas Sma dulu Papa bisa luluh sama Daddy yang begini bentukannya?”

“Mosha, Daddy kamu ini ganteng ya nak!” Tay tak terima.

New menoleh kearah suaminya, senyum tipis itu masih terpantri di wajah manisnya “Karena Papa liat bagaimana dia dengan keluarganya, bagaimana perlakuan Daddy sama Moma, Daddy sama adiknya.”

“Dulu, Papa kira Daddy kamu ini anak yang begajulan sekali, hingga Papa di buat tersadar kalau kita gak boleh asal menebak bagaimana seseorang. Papa masih ingat sekali bagaimana Daddy berusaha nyari bahan yang mau di bawa tante Letta untuk persentasinya besok, padahal pada saat itu Daddy baru aja pulang dinas tengah malam.”

“Di balik hal-hal ngeselin yang Daddy kamu tampilkan, Daddy punya hati yang bikin Papa gak bisa lagi kemana-mana, maunya sama Daddy aja.”

“Satu lagi, harus hati-hati main hati, benci sama cinta itu bedanya tipis sekali.” New mengakhiri ucapan panjangnya, Tay terkekeh pelan mendengar kalimat terakhir dari suaminya.

“Kalau Papa yang ngomong jadi beda auranya.” Mosha berucap.

“Emang kalau Daddy yang ngomong kenapa?”

“Daddy beneran mau aku jawab? yakin hatinya kuat?” anaknya melempar pertanyaan balik.

Tay mengembuskan napas pasrah, jemarinya yang sedari tadi masih setia bermain di lutut New “Yaudah lah, emang gak ada keadilan untuk saya dirumah ini.” Tay berucap.

“Daddy.” panggilan itu terdengar begitu cuek.

“Apa?”

“Daddy pernah bikin Papa nangis gak?”

“Pernah, Daddy pernah jahat sama Papa kamu, Daddy pernah bohong sama Papa kamu, Daddy minta maaf.”

“Mosha gak mau tau alasan kenapa Daddy bikin Papa jadi nangis, tapi Mosha minta tolong agar Daddy gak lagi bikin Papa sedih.” Mosha berucap, nadanya pun terdengar begitu serius.

“Tenang aja, Daddy berusaha. Mosha harus tau kalau sebenarnya Daddy udah jatuh cinta sama Papa dari Smp, cuma Daddy gak tau harus dekatin Papa kamu itu bagaimana, ya jalan yang ada di kepala bikin Papa kamu kesal aja selamanya hahaha.”

“Eh semesta malah berkata iya, jadi suami sekarang.”

“Kenapa Daddy bisa cinta sama Papa?”

“Kenapa Daddy harus punya alasan buat jatuh cinta sama Papa kamu?”

“Daddy tuh emang di lahirkan jadi ngeselin banget ya?” Mosha bertanya.

“Iya kali? coba deh nanti kamu tanya sama Moma.” jawab Tay dengan begitu santai.

“Daddy tuh em-”

Ucapan Mosha terhenti karena ponsel yang berada di nakas kamarnya berbunyi, lantas saja remaja itu bangkit dan berjalan meraih benda pipih berwarna hitam, menggeser tombol hijau dengan sesegera mungkin.

Tay dan New hanya diam, dengan Tay yang sudah berpindah tempat-mendaratkan kepalanya di paha New, gak mau kalah sekali memang sama anaknya sendiri.

“Pa, Mosha pamit mau latihan.”

“Sama Daddy gak pamit?”

“GAK DADDY NGESELIN, PA AKU PERGI.” Mosha berteriak sembari berlari menuruni anak tangga rumahnya.

“Kok cepet pulangnya? padahal aku mau nyusul kamu kerumah Mama.” New membuka suara, hanya ada mereka berdua.

“Kata Mama kalau aku sendiri yang datang ya buat apa, aku disuruh jemput kamu.” Tay menjawab.

“Udah rame kah?”

“Belum rame banget sih, kan acara makan-makannya malem sayang.”

“Mas.” New memanggil, nadanya begitu lembut, pun dengan jari telunjuk yang bermain dengan anak rambut sang suami.

“Kenapa cantik?”

“Udah keriput haha, aku masih suka gak nyangka aja kalau kita udah punya Mosha. Bahkan anaknya udah remaja, tadi Mosha bilang ada yang nyatain perasaannya sama dia, cuma ya anaknya memang sulit sekali buat buka hati, cuma bilang makasih aja.”

“Kamu banget kan, dulu pas aku tembak selalu nolak. Setelah aku pikir-pikir kita memang gak ada pacaran ya New, cuma teman tapi demen aja.”

“Iya juga ya.”

“Kita bakalan pacaran kalau kamu bilang iya pas aku nyatain suka.”

“Tapi kan aku akhirnya bilang iya saat kamu datang kerumah sama Mama.” si manis menjawab.

New menoleh keluar jendela kamar anaknya, cuacanya mendung namun tak ada tanda-tanda akan hujan turun, senyum tipisnya terukir lalu kembali menaruh semua perhatian pada pria yang kepalanya berada di pangkuan.

“New, aku gak sabar ngeliat rambut kamu putih semua.” yang lebih tua berucap.

“Kita tetap sama-sama, beriringan, aku juga gak sabar ngeliat Mosha bawa orang yang dia cinta kerumah.”

“Mas, aku mau kamu jadi orang terakhir yang aku liat saat mataku akan tertutup rapat.”

“Dan aku juga mau hal itu terjadi jika aku yang lebih dahulu pergi suatu saat nanti.”

“Aku sayang kamu.”

—Cerita ditutup.

•••

-Joya-