[Can i call you mine?]

•••

“Enak gak?”

“Bunda yang masak mah gak pernah enggak enak” New menyahut santai, kembali menikmati semangkuk soto tanpa nasi hangat, diet katanya.

“New, lo pernah ngebayangin gak lo bakal pergi keliling dunia?”

New meneguk segelas air hingga tandas, meletakkan mangkuk soto itu di atas meja belajarnya. Lalu beralih menatap sang teman dengan anggukan kepala.

“Pernah, gue pengen tinggal di hutan Washington DC, terus nonton smackdown, gak tau kenapa Washington punya daya tariknya tersendiri buat gue” New menjawab.

Tay tersenyum tipis mendengarnya, mata New tampak berbinar ketika ia bercerita tentang ibu kota Amerika serikat itu.

“Kalau lo, mau kemana?”

“Dulu gue pingin ke Grindelwald, tapi sekarang as long as i'm with you, i'm happy no matter where we go”

New diam, pipinya merah padam karena ucapan manis Tay tawan. Jarang sekali cowok itu berucap dengan nada begitu serius.

“New, liat gue coba”

“Gak mau gue, pulang lo sana”

New berujar dengan muka di tutup kedua telapak tangan, bermaksud menyembunyikan pipi semerah tomat itu dari sang teman.

“New, kalo kita pacaran. Menurut lo aneh gak?”

“Tay”

“Gue serius”

New perlahan menurunkan tangannya, lalu menghela napas panjang.

“Menurut gue, ngubah hal dari teman ke pacar itu bukan hal yang sulit. Karena apa ya, kita udah deket dari lama, kita udah tau sifat masing-masing bagaimana”

“Pun tentang apa yang di suka atau tidak. Tapi, ada hal yang gue takutin, kalo kita pacaran dan akhirnya pisah”

“Kita bukan kehilangan pacar doang Tay, kita berdua akan kehilangan kata teman juga”

Tay mengangguk paham, perlahan ibu jarinya mengelus pipi kanan New, jantung keduanya menggila, itu nyata adanya.

“Yaudah kita coba dulu, kalau bosen tinggal nikah. Mau gak?”

“Katanya lo mau punya hak untuk cemburu sama gue, tinggal pilih jawabannya ada dua New”

“Iya atau mau?”

•••

-Joya-