[Cincin]

•••

London, Desember 2022

Langkah kaki berbalut sepasang boots cokelat tua menyusuri jalanan kota London di sore hari, dengan tangan kanan yang menggenggam sebuah cup berisikan kopi hangat miliknya. Kepala pemuda itu menengadah menatap langit mulai menggelap, seulas senyum tipis terukir menghiasi wajahnya, kembali melanjutkan perjalanan pulang menuju apartemennya dengan sepasang airpods terpasang apik di kedua telinga. Bibirnya bergerak mengikuti alunan lagu yang terdengar, ia bersenandung pelan.

Senyuman itu kembali tercipta tak kala sepasang iris kelabunya mengamati roda pengamatan terbesar di dunia, tak lain dan tak bukan adalah London eye. Sesak di dada kembali terasa begitu ucapan Gun beberapa hari yang lalu kembali menjamah pikirannya, Tay tawan besok menikah. tawa sumbangnya terdengar, New tau betul teman sebayanya itu tak sengaja berucap, karena setelah ia menyelesaikan kalimatnya suara dari Off jumpol langsung terdengar memarahi kekasihnya.

Pada akhirnya Tay tawan benar-benar menemukan rumahnya, Benar-benar menemukan tempat untuk dia berupulang, benar-benar menemukan kebahagiannya yang baru, dan mungkin jua tak lagi mengingatnya.

New juga menerima jika lelaki itu membencinya, karena ia pantas untuk itu. Tapi mengapa dalam kurun waktu setahun nama lelaki berkulit tan itu tak kunjung hilang di hatinya, tak pergi juga dari ingatannya, malah rindu ini semakin menginginkan titik temu.

Sebuah helaan napas panjang terdengar, kepala yang sedari tadi menengadah itu perlahan mulai menurun secara perlahan, hingga netranya menangkap sesosok pria dengan pakaian serba hitam berada beberapa meter dari dirinya, menatapnya dengan begitu dalam, mulai melangkah mendekatinya.

Kesepuluh jemari lelaki manis itu bergetar, genggamannya pada sebuah cup kopi merenggang, hingga akhirnya tumpah bersamaan dengan air mata tanpa permisi mengalir membasahi pipinya. Tatapan keduanya terkunci sedari tadi, lengkap dengan debaran jantung tak wajar yang kembali ia rasakan setelah sekian lama hilang entah kemana, wajah yang sudah lama tak ia tatap, tangan yang sudah lama tak ia genggam, pun dengan raga yang sudah begitu lama tak ia peluk dengan erat.

Lelaki itu dengan perlahan menurunkan topi yang menutupi kepalanya, ujung boots mereka bertemu, namun sama-sama tak mau bersuara terlebih dahulu, hingga pada akhirnya sebuah ibu jari menyerka air mata si manis yang terus mengalir.

“Kamu apa kabar?”

Pemuda beriris kelabu itu masih diam, tubuhnya masih menegang di tempat, masih tak percaya jika manusia yang selama ini ia hindari kini hadir di depannya.

“Newwiee apa kabarnya?” lelaki itu kembali berucap.

“Kamu kenapa bisa di-”

“Boleh gak itu dibicarakan nanti aja? Aku mau sisa waktu hari ini berdua sama kamu.” Tay memotong ucapannya, nadanya terdengar begitu lembut di telinga, pemilik senyum paling memikat itu perlahan menunduk—mengambil cup kopi New yang tergeletak di bawah, lalu yang lebih tua menautkan tangan mereka berdua.

Mengajak New berjalan beriringan seolah tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya, seolah mereka memang sepasang kekasih yang tengah di mabuk asmara, dan yang muda semakin menangis tak kala rasa bersalah semakin hadir membelenggu dirinya.

“Kamu udah pernah naik London eye belum?” lelaki itu bertanya, namun si manis masih diam dengan air matanya hingga akhirnya langkah Tay berhenti, kembali menyerka air mata New dengan ibu jari tangan kanannya.

“Boleh gak aku minta untuk sekarang gak ada air mata? Aku cuma butuh waktu berdua buat bahagia, hari ini aja, ya?”

Sebuah anggukan terlihat setelahnya, senyum manis yang lebih tua langsung terpancar sempurna dan kembali mengajak New untuk berbahagia, meskipun hari ini saja.

•••

“Kamu beneran belum pernah naik ini?” Tay bertanya begitu mereka sampai di puncak paling atas, berada di kapsul yang bisa menampung kurang lebih dua puluh lima orang, namun malam ini tak seramai itu, hanya ada enam orang saja.

Yang muda menggelengkan kepalanya, “Ya emang gak pernah.” ia menjawab.

“Kamu takut tinggi, aku tau itu New. Jadi kenapa kamu iyakan ajakan ku buat naik kincir raksasa ini?”

Pemilik iris kelabu itu tersenyum tipis, semakin mengeratkan genggamannya pada jemari Tay tawan, “Karena ada kamu, jadi aku gak perlu takut tentang apapun.”

“Kamu gak mau foto-foto?” New bertanya.

“Enggak, aku cuma mau sama kamu.”

Setelah menjawab Tay langsung menarik si manis kedalam pelukannya, menyandarkan kepala lelaki itu dada bidang miliknya, mengelus rambut halus yang sudah lama tak ia sentuh, sebuah kecupan begitu lama yang lebih tua mendarat di pucuk kepala pria berkulit seputih susu itu hingga debaran jantung yang tadinya mulai normal seperti semula kembali menggila.

Keduanya larut dalam pemandangan yang di sajikan dari Negara berjulukan The Black Country.

•••

Gelak tawa dari yang lebih muda masih terdengar di telinga, iris hitam pekat itu masih asik memandangi wajah paling indah yang pernah ia temui, namun sekarang bukan ia miliki?

“Aku tuh awal-awal kerja di toko pizza sering banget jatoh tiba-tiba, tapi ya yang punya tuh baik banget sama aku.” New bercerita lagi.

“Kamu masih kerja sampai sekarang?”

Yang muda lantas mengangguk cepat lengkap dengan senyum menampilkan gigi rapinya, “Masih, aku betah kerja disana.”

“Usaha-usaha kamu yang ada di Jakarta gimana?”

“Masih aku pantau, tapi kadang Ibu yang ngurus juga hahaha.”

Tay mengangguk-anggukkan kepalanya bertanda ia mengerti. Keduanya duduk di sebuah kursi besi berdua, berbagi cerita bersama.

Hingga tiba dimana keduanya sama-sama diam, kahabisan bahan cerita yang isinya bahagia aja, New menyesap kopi susu yang baru ia beli sebelum mereka duduk disini.

“Kamu jangan keseringan minum kopi.” yang lebih tua berucap.

“Ini kopi susu, bukan kopi aja.” New membalas.

“Sama-sama kopi Newwiee, di kurangin deh gak bagus buat kesehatan.”

Lelaki berkulit putih itu mengangguk patuh, layaknya seorang anak kecil menurut tentang apa yang di ucapkan orang tuanya. Gemash sekali.

Keduanya saling pandang lalu sama-sama tertawa dengan ketidak jelasan mereka.

Ibu jari Tay tawan perlahan mulai mengelus pipi kiri New, mengamati wajah indah orang yang masih menjadi urutan pertama dihati.

“Eh salju?” yang muda berucap, mengulurkan tangannya tak kala ribuan titik-titik es itu jatuh kebumi.

Pria berkulit tan itu lekas-lekas memakaikan kupluk yang tadinya di lepas oleh sang pemilik, “Ayo pulang.” Tay berujar.

“Sebentar lagi, ya?”

Sebuah anggukan terlihat, meng-iyakan permintaan lelaki manis itu, melupakan sejenak jika saat ini benar-benar dingin.

“Ini pertama kali aku ngeliat salju di London, taun lalu enggak ada.” New berucap.

“Aku kangen sekali sama kamu.” kata yang sedari tadi ia tahan akhirnya terucap, terdengar begitu lirih.

Pemuda berkulit putih itu perlahan menoleh kesamping, menatap pemilik senyuman memikat itu lamat-lamat, “Kamu kesini sendiri?” ia bertanya.

Yang lebih tua menggelengkan kepalanya, “Berdua.” ia menjawab.

“New kayaknya makin deras deh, ayo aku anter pulang.”

Lelaki dengan boots hitam itu bangkit dari duduknya, mengulurkan tangan kanan di depan New, bermaksud agar mereka kembali saling menggenggam, namun sebuah cincin emas putih yang melingkar di jari manis lelaki itu membuat ia senyum kecut, bahagia yang barusan ia rasakan memang cuma sementara ternyata.

Karena sejak malam itu, sejak sebuah surat perpisahan ia tulis, ia harus menerima fakta bahwa Tay memang bukan lagi Mataharinya.

•••

-Joya-