•••
“Lolly suka?”
Anggukan begitu antusias dari gadis kecil berumur delapan tahun itu membuat senyum Thi merekah sempurna, “Besok Papa buatin lagi kalau kamu suka.”
“Yang banyak, nanti aku bawain juga buat Momma sama Mba Cika.” Lolly berujar.
“Kayaknya aku ini udah bisa buka toko kue deh Taa.” Thi kembali bersuara, membuat pria berkemeja hitam itu hanya mengangguk dua kali.
“Lolly mau suapin Daddy, sini.”
Pria berkulit tan yang berada tepat di samping anaknya itu mendekat pada Lolly, membuka mulutnya untuk menerima suapan dari gadis kecilnya, “Enak, Thi.”
Pujian dari sang suami membuat rasa senang di dalam dadanya semakin bertambah, mengamati dua manusia paling berharga yang ia punya dalam diam, Thi amat menyukai pemandangan di depannya.
Thi menyukai bagaimana perlakuan Tawan yang begitu lembut pada Lolly, Thi menyukai bagaimana perhatian yang Tawan berikan pada gadis kecil mereka, dan Thi suka semuanya tentang lelaki tampan itu.
“Daddy, tadi ulangan aku dapet nilai A.”
“Pinter anak Daddy.”
“Aku bisa jawab semua soal yang ada, karena kamu ajarin aku. Makasih Daddy.”
Seulas senyum tipis tanpa sadar menghiasi wajahnya, “Sama-sama Cantik.”
“Cantik dua,” Lolly menjawab sembari memperlihatkan kedua jarinya, “Nanti kalau kamu gak bilang dua, Papa bisa ngambek.” Sambungnya.
Thi yang sibuk dengan panggangan kue di dapur terkekeh mendengar ucapan putrinya, “Kata Daddy, Daddy sayang banget sama Papa.” Thi mulai menggoda.
“Lolly juga sayang sama Papa, tapi aku sayang Daddy dulu baru kamu.”
Pria berkulit seputih susu itu melangkah ke meja makan, berdiri tepat di depan suami dan anaknya dengan bibir merah muda yang maju lima senti, “Dasar anak Daddy.”
“Dulu sebelum ada kamu, Daddy cuma sayang sama aku.” Thi kembali berucap.
“Tapi sekarang udah ada aku, jadi Daddy gak sayang sama Papa aja.” Gadis kecil itu tampaknya tak mau kalah.
“Daddy tetap lebih sayang sama Papa daripada sama Lolly.”
“Daddy lebih sayang sama Lolly!”
“Sama Papa.”
“Sama Lolly, iyakan Daddy?” Gadis kecil berambut sebahu itu menoleh ke samping, meminta pembelaan pada Tawan.
“Sayang dua-duanya.” Tawan main aman.
“Tetap aja lebih sayang sama Papa.”
Lolly menghentikan kegiatan makannya, “Kue buatan Papa gak enak.”
“Gak apa-apa, yang penting Daddy suka.” Thi membalas.
“Papa, aku bilangin kamu sama Momma.”
Gelak tawa si manis pecah begitu sang anak beranjak dari tempatnya, berjalan menaiki anak tangga rummah mereka menuju kamarnya, Lolly sudah pasti merajuk.
“Mbul, kebiasaan deh.” Tawan berujar.
“Lucu tau, kamu tolong samperin anaknya dulu boleh? Thi mau beresin semuanya.”
•••
Thi memutar knop pintu bercat merah muda itu dengan perlahan, melangkah masuk ke dalam kamar putrinya yang tengah bercerita pada Tawan. Satu fakta yang harus kalian tahu, Lolly tak pernah bisa marah pada Tawan.
“Ngomongin apaan nih seru banget kayaknya.”
Benar saja, wajah ceria anaknya itu dengan cepat berganti menjadi cemberut sembari melipat kedua tangannya di depan dada.
Thi duduk di pinggir ranjang putrinya, “Lolly masih ngambek ya sama Papa?”
“Lolly gak mau ngomong sama kamu.” Lolly menjawab.
“Papa nanya ke Daddy.” Thi membalas, “Daddy, Lolly masih marah ya sama aku?” Si manis kembali bertanya, menatap suaminya dengan ekspresi semelas mungkin.
“Lolly, kata Papa, kamu masih ngambek kah?” Tawan berucap, mengelus pipi kanan anaknya.
“Daddy tolong bilangin ke Papa kalau Papa suka buat Lolly kesal.”
“Daddy tolong bilangin ke Lolly kalau Papa-nya minta maaf.”
“Daddy tolong bilangin ke Papa kalau Lolly udah maafin Papa.”
Pria berkulit seputih susu itu tersenyum begitu sumringah, “Kamu udah maafin Papa?”
“Tapi Papa janji dulu jangan bikin aku kesel.”
“Papa janji malam ini gak buat kamu kesel.”
“Pinky promise dulu” Lolly berujar sembari memamerkan jari kelingkingnya pada sang Thi, saling menautkan jari mereka lalu saling melempar senyum.
“Kue buatan Papa enak, maafin Lolly udah bohong.”
Lagi dan lagi senyum dari lelaki berparas cantik itu terukir, “Makasih ya.”
“Daddy ayo kita nonton Inside out sama-sama.”
“Lagi? Film itu lagi, nak?”
•••
Sesuai permintaan gadis kecil mereka, dua anak adam itu pun tak punya alasan sama sekali untuk menolak keinginan anaknya, berhubung juga malam ini adalah jadwal untuk Lolly boleh tidur lebih lama. Jadi, mereka menyetujuinya. Sepiring chiken nugget sudah berada di atas karpet bulu, Lolly mulai menaruh seluruh fokusnya pada film yang tengah ia tonton sedangkan si manis sedang berada di dapur-memotong beberapa buah-buahan untuk camilan keluarga kecilnya.
Tangan kanan pria berkulit seputih susu itu menyuapkan sesendok es krim ke dalam mulutnya dan kembali memotong buah apel menjadi bentuk dadu, hingga kegiatannya terhenti karena keterkejutannya akan kedua tangan yang meringkar di perutnya.
“Tetaa ngagetin banget ah!”
Yang tua hanya diam, menyandarkan dagunya di bahu si manis memejamkan matanya secara perlahan hingga suara Thi membuat kedua kelopak matanya kembali terbuka.
“Lolly tau kamu tinggal sendiri?”
“Engga.”
“Tetaa aku gak bisa gerak kalau begini caranya.” Ujar si manis begitu ia merasakan jika sang suami semakin menggeratkan pelukannya.
“Sebentar aja Mbul.” Lirihan itu tentu saja dapat di dengar oleh yang muda.
Enam menit setelahnya, yang muda memutar tubuhnya agar berhadapan dengan orang tercintanya, “Tetaa belum mandi juga?” Thi berucap begitu menyadari jika Tawan masih mengenakan kemeja hitam.
“Kata Lolly habis nonton aja.” Ia menjawab sekenanya, ibu jari Tawan perlahan bergerak menyentuh bibir bawah si manis, mengusap sisa es krim di sana.
Perlakuan itu sontak membuat yang muda tersenyum, tangan kirinya meraih cup es krim, menyendokkan sedikit makanan manis itu dan dengan sengaja membuat bibirnya penuh dengan es krim, ia ingin perhatian Tawan.
“Udah kotor nih, bersihin lagi dong.”
Yang tua hanya diam, Thi mengira Tawan akan kembali mengusap bibirnya dengan ibu jari milik lelaki itu, hingga tubuhnya mematung di tempat begitu kedua bilah bibir pria itu mulai menemukan dengan pemiliknya.
Thi lantas menutup kedua matanya, menyembunyikan iris kelabunya secepat yang ia bisa, mengalungkan kedua tangannya pada leher Tay tawan, jantungnya semakin menggila saat Tawan mulai mengikut sertakan lidahnya pada pagutan yang mereka ciptakan.
Debaran itu tak pernah hilang, masih selalu ada untuk mataharinya, mencintai Tawan juga tak pernah menimbulkan bosan, dan Thi benar-benar ingin terus bersama pada Tawannya.
Beberapa menit setelahnya pagutan itu terlepas bersamaan dengan hilangnya sisa-sisa es krim di bibir si manis. Kedua netra hitam pekat sang empu tak lepas menatap pasangannya dengan perasaan cinta yang begitu terasa, “Pipi kamu merah semua.”
Thi mengangguk setuju, tak menyangkal ucapan yang Tawan berikan.
“Aku jatuh cinta sama kamu, lagi.”
“Aku setiap hari.” Thi membalas.
Kedua anak adam itu kembali mendekatkan wajah mereka, hembusan napas keduanya pun terasa, sedikit lagi bilah bibir itu kembali menemukan pasangannya jika suara dari gadis kecil mereka tak terdengar.
“DADDY KAMU KEMANA?”
Thi mendorong cepat tubuh sang suami agar menjauh hingga decakan dari yang tua terdengar, “Yang, sekali lagi.” Tawan masih jua ingin.
“Matamu!”
Thi mulai meraih piring berisikan buah-buahan yang sudah selesai ia potong, ingin melangkah meninggalkan Tawan seorang diri, namun yang tua tentu saja tak membiarkan itu terjadi begitu cepat, ia lekas-lekas memeluk suaminya mencium pipi gembul Thi begitu lama.
“Tetaa nanti kalau kepergok sama Lolly gimana!”
“Enggak.”
Si manis bergerak melepaskan diri dari pelukan Tay tawan hingga yang tua semakin mengeratkan pelukannya, mengurung habis tubuh suaminya.
“Mas nanti Lolly liat!”
Kini giliran pria tan itu yang mematung, merenggangkan plelukannya terhadap Thi, hingga yang muda dengan cepat meninggalkan lelakinya dengan kedua pipi yang terasa begitu memanas.
“Thi kamu bilang apa tadi?”
•••
-Joya-