[Tawan]

•••

Hari berlalu begitu cepat, tanpa terasa hanya tinggal hitungan minggu acara pernikahan Tay dan Olphie akan segara terlaksana. Gadis yang berdiri tepat di samping pria beriris hitam pekat itu perlahan memberanikan diri untuk menautkan jemarinya dan jemari milik Tay.

Sontak yang lelaki menoleh, tatapannya begitu datar namun ia tak menunjukkan penolakan, “Kamu suka gaun yang aku coba tadi?” Olphie bertanya dan sebuah anggukan kepala ia terima sebagai jawaban.

“Ayo duduk di ayunan.” gadis itu mengajak, menarik tangan Tay yang masih setia ia genggam, berjalan ke sudut taman belakang-tempat dimana sebuah ayunan berada.

Di langkah kelima Tay berhenti sontak membuat Olphie menoleh kebelakang, “Kenapa?”

Lelaki berkulit tan itu mulai menatap gadis di depannya dengan tatapan sulit diatikan, keduanya sama-sama diam tepat di pinggir kolam begitu luas kediaman keluarga Vihokratana, mengabaikan semilir angin malam yang mulai menerpa wajah, netra keduanya saling beradu, tak ada yang mau memutuskannya terlebih dahulu.

Dengan begitu perlahan, sebuah senyum manis kembali di tampilkan gadis bergaun selutut berwarna putih tulang itu, “Kamu mau ngom-”

“Apa kamu sudah yakin dengan perjodohan ini?” potong yang lebih tua.

Olphie mengangguk dengan senyum yang masih tersaji, “Aku yakin, kamu itu hanya belum mencintai aku.”

“Tepatnya, saya gak pernah bisa mencintai kamu.”

Senyumnya memudar dengan sendirinya, mendengar ucapan begitu pelan dari lelaki yang berada di depan, “Kamu sudah yakin bisa hidup dengan orang yang gak mencintai kamu?”

Olphie diam.

“Hidup dengan saya, satu atap bersama saya dalam jangka waktu yang lama sudah jelas membuat hati kamu akan terluka, saya berterus terang sekarang.” Yang lebih tua kembali melanjutkan kalimatnya, tatapannya masih tertuju betul-betul pada sang tunangan, “Hati saya sejak awal sudah ada di orang lain.”

“Tapi aku bakalan tetap nunggu sampai kamu bisa cinta, bisa nerima aku. Selama apapun itu Tay.” jawab Olphie.

Sebuah senyum tipis terukir menghiasi wajah tampan Tay tawan, “Waktu kamu buat nunggu saya bilang begitu akan terbuang sia-sia, sampai kapanpun gak ada yang bisa menggantikan nama manusia ini di hati saya.”

“Kamu kenal dia kan.” Tay bertanya sembari memperlihatkan layar kunci ponselnya pada Olphie, “Kamu kenal manusia ini kan?”

Sang gadis diam namun sebuah anggukan ia tunjukkan.

“Dia Newwiee, pemilik hati saya, sepenuhnya.”

“Dan dia sudah pergi, bersamaan dengan hati saya yang di bawa lari olehnya.”

“Aku tetap mau berjuang buat dapetin cinta kamu.” keukeh gadis itu.

“Saya gak cinta sama kamu, saya gak akan pernah cinta sama kamu. Kenapa kamu harus mengemis cinta dari orang yang ujung-ujungnya membuatmu terluka? Olphie.”

“Bahkan udah hampir setahun kita bersama, baru kali ini kamu manggil nama aku.”

Tay mengangguk setuju, karena nyatanya memang ia tak pernah mau menyebut nama gadis yang berada di depan matanya.

“Newwiee pergi gara-gara kamu, kalau aja kita gak pernah bertemu dan kamu gak dengan gampangnya cinta sama saya, kita gak bakal pernah ada di hubungan gak jelas seper-”

“Hubungan gak jelas seperti apa? Bahkan hubungan kita berdua lebih maju satu langkah dari hubungan kamu sama mas Newwiee.” suara gadis itu meninggi, bersamaan dengan pecahnya tangisan yang lebih muda, ucapan terlampau menyakitkan dari pria yang begitu ia cinta menimbulkan sesak bukan main didada.

“Mau maju berapa langkah pun, mau bagaimanapun. Kamu tetap orang asing yang melenyapkan kebahagiaan saya. Kamu gak bakal tau segimana gilanya saya kehilangan dia, kamu gak bakal pernah ngerasain mencari dengan peta buta sampai rasa putus asa tercipta.”

“Tawan, Olphie.”

Tay diam, tak jua menoleh kebelakang karena ia sudah begitu tau siapa pemilik suara, wanita berumur lima puluh lima tahun itu menatap sang anak dengan tatapan bertanya sembari memeluk tubuh mungil gadis yang masih menangis.

“Kalian kenapa?”

“Ma, aku gak bisa menikah sama orang yang gak aku cinta.” Tay bersuara.

“Aku bakal menyetujui apa aja, asal pernikahan ini di batal-”

“Mau bagaimanapun, pernikahanmu akan tetap terlaksana.” suara bariton itu terdengar, memotong ucapan Tay.

“Pa, Tay mohon banget sama Papa. Kali ini aja, tolong kabulin permintaan aku yang ini.”

Untuk pertama kali di hidupnya seorang Tay tawan vihokratana menurunkan nada suaranya, memohon pada Papanya.

“Enggak.”

Helaan napas panjang terdengar, pria berkulit tan itu menatap Ayah kandungnya dengan mata berkaca-kaca, kekecewaan terlihat jelas disana. Setelahnya tanpa bersuara, ia melangkah menjauh, keluar dari rumah dengan bantingan pintu terdengar jelas di telinga.

•••

-Joya-