[Fetching]
•••
Seulas senyum simpul begitu memikat siapa yang melihat muncul di ujung bibir ranum merah jambu miliknya. Kedua ibu jarinya masih terus menari-nari di atas benda pipih berwana putih-notifikasi dari sebuah pesan berbunyi, lekas-lekas ia membuka dan membacanya dengan perasaan bahagia tiada tara.
Mungkin bahagianya kali ini memang di dapat karena kesedihan-kesedihan beberapa hari yang lalu datang menghampiri tanpa permisi, pria berumur dua puluh tiga tahun itu meletakkan ponselnya di atas meja, beralih menyesap kopi hangat miliknya sembari menunggu manusia yang katanya sebentar lagi akan tiba.
Jam tangan berwarna putih tulang melekat dengan apik di tangan kiri lelaki berkulit seputih salju itu, pukul sembilan malam tertera disana, senyum manisnya kembali terukir indah tak kala iris kelabu miliknya menangkap sesosok pria yang melempar senyum kearahnya.
“Macet banget, maaf ya.” suara milik seseorang yang menjadi kekasihnya selama dua tahun terakhir itu terdengar di telinga.
Yang lebih muda tersenyum maklum, ia tau betul bagaimana keadaan jalan raya di kota besar, macet itu seperti makanan sehari-hari bukan? Jadi tak perlu heran.
“Minuman kamu baru saja aku pesan, takut kalau pesannya barengan sama aku jadi gak enak lagi karena di diamkan begitu lama.”
“Duh jadi cantik-nya aku sudah dari tadi ya? Maaf sayang.”
“Tak apa-apa Tawan, sebenarnya ada yang mau aku perlihatkan sama kamu.” si manis berujar.
Iris hitam pekat milik manusia yang berada di depannya menyipit lengkap dengan senyuman miring pria itu tampilkan, “Mau ngasih tau kalau kamu makin cinta sama aku?” pria bernama lengkap Tawan vihokratana itu bertanya pada kekasihnya.
Kekehan ringan dari pemuda berkulit putih bersih itu terdengar, “kalau yang itu gak perlu di kasih tau kamu juga udah tau hahaha.” jawab si manis, “Tapi kali ini beda, aku mau ngasih tau ini.” sambungnya sembari melepaskan topi bucket yang sedari tadi melekat dengan sempurna di kepala.
Netra keduanya bertemu, tepuk tangan dari Tawan terdengar ketika matanya menatap surai sang kekasih, “Keren banget kamu.” ia berucap jujur.
Hembusan napas terdengar dari yang lebih muda, kembali memaikan topi bucket berwarna hitam dengan hiasan kecil di ujungnya sebagai pemanis, “Dari banyaknya manusia yang aku kasih tau, cuma kamu yang berkata begitu.”
“Emang yang lain bilang apa, Newwiee?”
“Katanya aneh, rambut bagus-bagus hitam kok segala di ganti-ganti, malah milih warna merah pula, begitu kata mereka. Makanya aku pakai topi.”
Perlahan, yang lebih tua mengelus punggung tangan kekasihnya dengan begitu pelan, penuh perasaan, dan tentu saja ada rasa teramat sayang di dalamnya. “Biarin mereka mau ngomong apa, kamu gak perlu ngerubah dirimu untuk memuaskan ekspektasi seseorang.” pria bernama Tawan itu bangkit dari duduknya, kembali melepas topi yang berada di kepala sang pujaan hati, “Karena bagi aku, selama yang kamu buat itu gak merugikan siapa-siapa, aku bakalan dukung apa aja.”
“Ah, itu karena aku pacar kamu, makanya kamu bilang begitu.”
Yang lebih tua mengangguk, kembali pada posisinya-duduk manis menatap iris kelabu dengan seulas senyum tipis, jemari telunjuk pria berkulit tan itu memutar-mutar topi kekasihnya. “Mungkin iya, karena aku kekasih mu, tapi terlepas dari itu kamu itu kamu. Newwiee, kamu itu milik dirimu sendiri, apa yang kamu lakukan pada dirimu itu ya simple-nya terserah kamu. Orang lain gak perlu ikut campur tentang dirimu.”
“Mereka bilang kamu aneh karena mereka gak tau fashion seorang Newwiee saja.”
“Emang kamu paham fashion?” yang lebih muda bertanya, menimbulkan gelak tawa dari Tawan, setelahnya sebuah gelengan terlihat.
“Mana paham aku yang begitu hahaha, tapi sayang, kamu dengan rambut merah mu itu sebuah kombinasi sempurna. Jangan mikirin kata orang terus, ya?”
“Jadi gak aneh? Jujur Tawan.”
Gelengan dari pria berumur dua puluh delapan tahun itu terlihat, “Enggak sama sekali, kamu kelihatan beda, bikin aku jadi pengen nyoba bagaimana.”
“Nyoba apa?” si manis bertanya.
“Buka hape kamu coba.”
New menatap mataharinya dengan curiga, namun tetap menuruti apa yang pria itu katakan, setelah membaca pesan dari kekasihnya, si manis mendengus sebal menatap senyum merekah di wajah Tawan-nya.
Isi pesannya begini, pengen nyobain gimana kamu dengan rambut merah mu kalau sedang di bawah ku, cobain yuk sayang.
“Dasar tua bangka mesum.”
Pria berkulit tan itu langsung saja membelalakkan matanya tak terima, “Kita cuma beda setahun.”
“Setahun bibirmu, aku tuh pacaran sama om-om.”
Pria berkulit tan itu melepas jas yang dikenakannya, menyisakan kemeja putih membentuk tubuhnya, terlihat begitu sempurna. Iris hitam pekat yang lebih tua menelisik wajah manis nan cantik kekasih hatinya, “Coba kamu tanya sama pengunjung disini, aku kelihatan kayak om-om enggak.”
Gelak tawa dari yang lebih muda terdengar, Tawan memang begitu sensitif jika membahas perbedaan umur mereka berdua, dan New begitu suka menggoda kekasihnya.
“Bercanda Tawan, kamu ganteng sekali malahan. Gak kelihatan kayak om-om beranak dua.” New berkata.
“Gimana mau kelihatan punya anak orang aku-nya saja belum menikahi kamu.
Semburat merah langsung menghiasi kedua pipi gembul si manis, ia gelagapan sendiri membalas ucapan yang lebih tua, sedangkan Tawan hanya tersenyum tipis sembari menyesap minuman miliknya.
“Kuliah kamu gimana?”
“Ya begitulah om.”
“Newwiee.”
New kembali tertawa, menggoda Tawan memang menjadi candu untuknya, melihat wajah kesal kekasihnya memang hal yang paling ia suka, “Aku udah kayak oppa-oppa korea?”
“Sudah.”
“Besok kita ke salon buat warnain rambut kamu, ya?”
Tawan tersedak, tawa New kembali terdengar di telinganya, agaknya sang kekasih menjadi lebih jahil dari sebelumnya kali ini, “Tunggu kamu di apartemen.”
“Aku pulang kerumah Ibu malam ini.” New menjawab sembari menjulurkan lidahnya pada sang kekasih.
Tawan tak lagi berucap, hanya menampilkan senyum manis mencurigakan, membuat kerutan dibagian dahi yang lebih muda tercipta, lalu ia berkata. “Kalau kamu ngelakuin hal yang gak terduga, awas saja.”
“Hal tak terduga yang aku berikan acap kali membuat kamu bahagia kan, cantik.”
•••
Nyatanya mau bagaimana pun seorang Tawan vihokratana, Newwiee akan senang hati mengalah dan mengatakan iya, seperti hal-nya sekarang dengan sedikit rayuan saja ia sudah kalah dan meng-iyakan ajakan sang kekasih untuk menginap di apartemen milik pria berumur dua puluh delapan tahun yang tengah berada di kamar mandi itu.
Lelaki berkulit seputih susu dengan begitu telaten meletakkan telur dadar buatannya kedalam piring, pun juga dengan sup wortel dan kentang yang sudah berada di mangkok-senyumnya mengembang sempurna tak kala melihat hasil masakannya diatas meja makan.
Pria berumur dua puluh tiga tahun itu melepas apron yang melekat di tubuhnya, menyisir poninya dengan kelima jemari, lalu melangkah ke arah lemari pendingin, mengambil sebotol minuman soda untuknya saja, karena Tawan tak begitu menyukai minuman bersoda.
“Keringin dulu rambutnya ganteng.” New berucap, berjalan mendekati kekasihnya yang tengah berdiri beberapa meter darinya.
“Sini aku bantuin.” si manis kembali berucap, menarik pergelangan tangan Tawan, mengajaknya untuk duduk di sofa ruang keluarga.
Tawan dengan senang hati memberikan handuk kecil yang melingkar di lehernya pada sang kekasih, membiarkan New mengambil alih atas dirinya, memerhatikan bagaimana New berkutat pada surai hitamnya, seulas senyum tipis terukir di wajah yang lebih tua tanpa sadar.
“Selesai, ayo makan.”
Langkah si manis terhenti karena cekalan tangan dari Tawan, pria berkulit tan itu semakin menarik lengan kekasihnya, membuat New terduduk di atas pangkuannya, lalu ia tersenyum manis.
“Makan dulu, ayo.” New berujar lembut.
“Kamu kurusan banget.”
“Iya aku kan sering bergadang, kamu tau lah tugas ku seperti apa.”
Ibu jari yang lebih tua masih setia mengelus pipi kekasihnya, “Kamu harus naikin berat badan, aku gak suka kamu kurusan begini.”
“Kan seksi, Tawan.”
“Seksi apanya, kayak ulat keket.”
Kedua kelopak iris kelabu itu membelalak, memukul lengan yang lebih tua dengan sebal. “Kayak gak ada persamaan yang lain aja. Kesel Newwiee.” ucapnya dengan bibir yang di majukan beberapa senti, lucu sekali.
“Kamu seperti indomie.”
“Kenapa?”
“Seleraku.”
Tawa Newwiee meledak mendengar penuturan yang lebih tua, kedua tangannya berlarih memegang sisi wajah sang kekasih, “Orang tua kalau nge-gombal memang jayus begitu.”
“Tapi gak apa-apa, kalau Tawan yang ngomong jadi beda.”
“Bedanya apa?”
New tak lagi menjawab, hanya mengulas sebuah senyum simpul, lalu beranjak dari pangkuan yang lebih tua, mengajak kekasihnya untuk makan malam bersama-sama.
•••
“Keasinan ya?”
Tawan menggeleng, menyuapkan sesendok nasi berserta lauk-pauk kedalam mulutnya, mengunyahnya dengan santai sembari sesekali menatap sang kekasih yang berada di depannya.
“Kamu makin pinter masaknya, gak mau buka rumah makan?”
“Pembeli tetapnya seorang pengusaha tua Tawan vihokratana.” New menjawab dengan senyum manisnya.
Yang lebih tua mendengus sebal, “Bisakah kamu hilangkan kata tua di setiap kalimat yang keluar dari mulut kamu, Newwiee?”
“Gak bisa, karena memang faktanya begitu.”
“Tapi kamu cinta sama aku.”
“Iya, aku juga gak tau itu sebuah keberuntungan apa bukan.”
•••
Setelah ucapan New beberapa menit yang lalu, Tawan benar-benar senyap, bahkan pria itu langsung berjalan ke kamarnya setelah menghabiskan makanannya, ia benar-benar merajuk pada New.
New hanya menggelengkan kepala sembari terkekeh geli, sisi yang tak pernah ia lihat sebelum Tawan menjadi kekasihnya memang awalnya membuat New terkejut, siapa sangka pria super dingin itu bisa ngambek perkara perbedaan umur mereka.
Setelah selesai mencuci piring kotor, pemuda berkulit seputih susu itu berjalan masuk kedalam kamar sang kekasih, netranya langsung menangkap pria dengan kaos belel dan celana pendek sepahanya-Tawan tengah duduk bersandar di atas sofa yang berada di sudut kamarnya. Yang lebih tua sibuk bermain pada ponsel yang berada di genggamannya, bahkan tak mau mengalihkan perhatiannya.
New diam saja, berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri, Tawan memang begitu, jadi dia sudah begitu maklum.
Tak lama, si manis keluar dengan piyama berbahan satin yang melekat di tubuh rampingnya, Tawan melirik ke arah sang kekasih tak kala bau bunga dan buah langsung menyapa indera penciumannya, Newwiee sehabis mandi bukan main wanginya.
New kembali terkekeh geli melihat kelakuan kekasihnya itu, “Masih ngambek? Aku pulang aja apa ya? Percuma juga disini kalau di diam-kan sama kamu.” pancing si manis.
“Jangan pulang cantik.”
Kan, Tawan itu lemah.
Yang lebih muda berjalan mendekati pujaan hatinya, berdiri tepat di depan Tawan lalu merentangkan kedua tangannya, “Mau di peluk kamu.”
Tawan langsung berdiri, menerima pelukan si manis dengan senang hati, menghirup aroma segar Newwiee-nya dalam-dalam. Bagaimana bisa ia sejatuh ini pada seorang anak kemarin sore yang ia temui di rumah keluarga besarnya.
“Wangi sekali Newwiee.” Tawan berbisik.
“Kamu juga, enak kalo di peluk kamu.”
Tawan tersenyum, mengelus surai merah kekasihnya dengan sayang, “Besok kamu kelas jam berapa?”
“Jam sepuluh, gak mau di antar nanti pada heboh.” New menjawab dengan cepat, ia tau betul kalau Tawan sudah bertanya begitu.
“Punya pacar ganteng itu harusnya di pamerin.” Tawan berujar pelan, mengajak New untuk duduk di sofa, membiarkan si manis menyenderkan kepalanya di dada bidang Tawan.
“Gak mau, kamu tau segimana egoisnya aku soal kepemilikan.” jawab yang lebih muda sembari mengeratkan pelukannya.
“Anak bayi posesif.”
“Biarin aja wle.” New menjulurkan lidahnya pada Tawan.
“Sayang.” Tawan memanggil, dan di balas dehaman oleh yang lebih muda.
“Kalau aja dua tahun yang lalu Mama gak ngenalin kamu sama aku, mungkin kita gak bisa begini.”
“Kamu tau gak Tawan, aku tuh paling gak suka datang-datang ke acara koleganya Ayah. Tapi hari itu aku mau, aneh kan?” New pun berujar.
Kelima jemari yang lebih tua masih setia berada di surai lembut sang kekasih, “Kalau dua tahun yang lalu aku gak ketemu sama kamu, mungkin aku masih sendiri.”
“Pertama kali kamu ngajak aku kenalan aku tuh langsung heran tau, kenapa kamu yang ganteng begini bisa melihat keberadaan aku. Karena biasanya aku tuh selalu jadi pilihan paling akhir di antara ketiga teman ku.”
“Aku malah udah kepalang biasa kalau ketemu orang baru, namun yang mereka tanya tentang teman-teman ku.”
“Bagus dong, indahnya kamu itu gak bisa di lihat sembarangan orang. Pertama kali aku lihat kamu lagi duduk di samping Ibu-mu sambil masang muka mau pulang, aku langsung bilang ke Mama, kalau mau jodohin aku ya sama kamu saja.”
“Mama langsung ngangguk dan kenalin aku sama kamu haha.”
New mengangguk setuju, perlahan kepalanya menengadah, menatap wajah Tawan “Aku tuh heran banget dulu ngeliat kamu, pake pakaian formal tapi kok pakenya sneakers.”
“Tapi lama-kelamaan aku sadar, setiap manusia punya gayanya masing-masing, punya rasa nyaman yang gak boleh di ganggu gugat sama orang lain.”
“Aku gak mau nyembunyiin warna rambut ku lagi haha, besok gak pake topi.”
“Gitu dong, harus percaya diri karena kamu itu keren dengan cara mu sendiri.”
“Makasih ya selalu mau dengerin keluh kesah-nya aku, selalu bisa ngasih saran paling dewasa untuk aku, gak salah deh Newwiee punya pacar yang tu- maksud aku itu dewasa Tawan, jangan begitu dong natapnya Newwiee kan takut.”
Tawan terkekeh pelan, mencium kedua pipi sang kekasih dengan brutal lalu mengigitnya sampai sang empu meringis dan menjabak rambut Tawan.
“Anda pikir pipi saya ini mochi apa, sakit tau.” si manis cemberut, mengusap kedua pipinya yang basah karena ulah sang kekasih.
“Maaf Newwiee, abisnya kamu gemesh.”
“Cepet cium pelan-pelan pipinya Newwiee.” si manis meminta.
Dengan senang hati yang lebih tua mengabulkannya, mengecup dengan begitu lembut seluruh wajah sang kekasih, “Tawan jangan natap Newwiee begitu, aku deg-deg-an.”
Tawan terkekeh mendengar penuturan yang lebih muda, perlahan ia memangkas habis jarak yang ada di antara keduanya, pandangannya tertuju pada bibir merah muda milik Newwiee-nya, “Boleh aku cium kamu?”
“Bisa gak kalau mau ngelakuin hal begini gausah nanya-nanya aku dulu? Lakuin saja Tawan, aku gak bakal marah.”
“Semuanya harus ada persetujuan antara dua be-”
“Kamu lama.” potong New, ia terlebih dahulu menyatukan kedua bibir mereka, pagutan itu terjadi, mata keduanya tertutup rapat, Tawan menyesap bibir tebal sang kekasih dengan begitu nikmat.
Kedua tangan yang lebih muda bermain pada rambut Tawan, meremasnya dengan gerakan tak teratur, dengan begitu mudah pria berkulit tan itu mengubah posisi keduanya, mengukung sang kekasih yang sudah berbaring di bawah kuasanya. Tawan melepas pagutan yang terjadi ketika dirasa si manis kehabisan napas.
“Kok di buka kancing bajunya?” Tawan bertanya, bermaksud menggoda.
Rona merah di pipi yang lebih muda kembali hadir, “Tawan gak mau, ya?” ia bertanya, terselip nada khawatir dan kecewa disana.
“Aku gak bilang begitu, kata siapa gak mau?”
“Jadi Tawan mau?”
Pria berkulit tan itu tak menjawab, melayangkan kecupan kecil di bagian leher putih bersih kekasihya, lalu beralih mencium dagu, kedua pipi, dan terakhir berhenti di dahi, ia menciumnya dengan cukup lama, mencurahkan segala rasa cinta dan sayang pada Newwiee-nya.
“Aku sayang sekali sama kamu, Newwiee.”
—Kisah ditutup.
•••
-Joya-