[Gak usah di cari]

•••

Netra keduanya saling betemu, bersitatap beberapa waktu, karena mau bagaimana pun mereka sama-sama tau jika sebuah kata usai kemungkinan akan terucap dari salah satu pihak.

Pria berumur dua puluh enam tahun itu melangkah mendekat, namun yang lebih muda langsung mundur selangkah, helaan napas dari pria berkemeja lusuh dan rambutnya yang berantakan itu terdengar, “Sayang, jangan nangis.” Tay bersuara sedangkan New masih bungkam.

“Newwiee sumpah demi apapun aku gak bakal mau nerima perjodohan itu.”

“Dan membantah kemauan Papa kamu?” si manis membuka suara.

“New, hati aku di kamu.”

Pemilik iris kelabu itu tersenyum tipis, “Jadi ketakutan aku selama ini tentang kamu yang akan pergi bakalan terjadi.”

“Aku gak bakal pergi kemana-mana New, kita bakalan tetap kita.”

“Bagaimana bisa kata kita tetap ada kalau orang tua-mu saja gak bepihak sama aku dan kamu, konon lagi semesta?”

Yang lebih muda langsung menyerka air matanya dengan kasar, karena New sangat membenci dirinya yang terlihat lemah di depan orang lain. Iris kelabu itu terlihat begitu sedu, redup. Sinarnya tak lagi ada di situ.

Atmosfer di depan teras kediaman pria berkulit putih ini terasa begitu nestapa, lagi-lagi yang lebih tua mencoba untuk menggapai kekasihnya, namun sebuah penolakan langsung ia terima.

“Newwiee, aku sayang sekali sama kamu, kamu harus tau itu.”

“Kamu mau tau gak teman baru ku yang pernah aku kasih tau ke kamu itu siapa?” yang lebih muda bertanya.

“Tunangan kamu, Olphie.” lanjutnya.

“Lihat, semesta lagi-lagi bercanda sama aku, mungkin ini peringatan semesta, kalau aku sama kamu gak bisa bersama sampai tua, waktu kita cuma segini.”

“Newwiee” panggilan dengan nada begitu lirih bersamaan dengan gelengan kepala yang lebih tua terlihat, bermaksud agar New menghentikan ucapannya.

“Kamu itu orang baik, dan Olphie pun begitu. Dia bilang ke aku kalau dia akan nunggu kamu bilang kamu juga cinta sama dia selama apapun, dia bakal nunggu kamu Tawan.”

“Dia gak bakal pernah bisa mendengar kalimat itu dari mulut aku, karna sampai kapan pun kata itu akan aku ucapkan sama kamu aja.” Tay menjawab.

“Newwiee, kamu tetap sama aku, kan?” itu bukan pertanyaan, sangat jelas jika yang lebih tua meminta New untuk terus bersamanya.

“Kamu mau tau bagian paling menyedihkan aku saat ini apa?”

“Nyatanya aku adalah orang ketiga diantara kalian berdua, aku itu cuma pemeran pengganti yang menginginkan bersanding bersama pasangan pemeran utama.”

“Aku-” ucapannya terhenti bersamaan dengan sebuah isakan menyayat hati terdengar, begitu pilu. Dan Tay tawan baru melihat New dengan keadaan sehancur ini, itu karena ulahnya.

“Mungkin udah saatnya kamu menemukan rumahmu, dan itu bukan aku.”

“Mungkin juga udah saatnya kebersamaan kita berhenti, porsinya cuma segini.”

“Lupain aja tentang Fulan fehan dan berbagai impian yang ingin kita raih berdua. Itu udah gak ada, aku mundur.”

“Aku gak mau.” sargah yang lebih tua.

“Kamu suka kue-nya?” New bertanya.

“New-”

“Kamu suka kue-nya? Atau enggak?” lelaki itu kembali mengulang pertanyaannya.

“Aku suka, sayang.” Tay menjawab.

Si manis kali ini tersenyum tulus, merentangkan kedua tangannya, Tay tawan langsung menerima tanpa bertanya. Mereka berpelukan, begitu erat, Tay berkali-kali mengecup pucuk kepala sang kekasih dengan sayang, hingga bisikan dari yang lebih muda terdengar, dan hatinya hancur seketika.

“Aku pergi, tak usah lagi kamu cari. Bahagia sama Olphie ya, kamu sama dia pantas sama-sama selamanya.”

•••

-Joya-