•••
Suara gelak tawa sayup-sayup masuk ke dalam indera pendengarannya, sepasang iris hitam pekat itu menghembuskan napas panjang, setelahnya mengetuk pintu kamar bercat putih gading di depannya beberapa kali hingga sang empu membukanya, menampilkan seseorang yang begitu ia sayangi.
Ekspresi bahagia itu perlahan terganti, wajah datarnya langsung terpampang nyata di hadapan Tay tawan. Yang tua memberikan senyum tipis pada kekasih hatinya, “Malam, Thi.” Ia membuka suara.
Pemuda berkulit putih bersih itu melangkah maju sembari menutup pintu kamarnya, meninggalkan Gun sendirian di dalam sana, menarik sang kekasih untuk menuruni anak tangga dan membawanya keluar rumah.
Sepasang anak manusia itu saling tatap tanpa kata yang terucap, membiarkan angin malam yang menerpa kedua wajah, saling berhadapan di teras depan rumah si manis.
“Di rumah lagi ada Gun, dan ada Ibu juga. Thi gak mau kita berantem di sini Tetaa pulang aja.” Yang muda berucap, memutar tubuhnya dan untuk melangkah masuk kembali kedalam rumah, berniat untuk meninggalkan mataharinya.
“Aku kesini bukan ngajak kamu buat berantem.”
Si manis berhenti.
Nada bicara Tay berubah, tak lagi lembut, tak lagi menahannya agar tak pergi kemana-mana, pria itu jua tak berniat untuk menatap netra pasangannya.
“Kalau memang masih mau ada kita, aku tunggu di dalam mobil.”
•••
Mini cooper yang tengah di kendarai pria berkulit tan itu melaju membelah jalanan lengang di waktu dini hari, keduanya benar-benar senyap, tak ada yang berniat membuka suara untuk meredam kesepian yang tercipta.
Rasa ingin bertanya bagaimana kabar hari ini sudah pasti ada, namun tak kunjung terucap. Sepasang iris kelabu sang empu menatap lurus kedepan dengan kedua tangannya saling bertautan. Pun dengan ia yang tak kunjung bertanya pada kekasihnya akan di bawa kemana.
Kendaraan roda empat itu berhenti di depan taman komplek tempat di mana ia menyatakan perasaannya pada orang yang berada di sampingnya dua tahun silam, dan juga tempat di mana yang lebih tua meminta mereka untuk punya jarak beberapa waktu, pemuda berkulit seputih salju itu menghela napas panjang bersamaan dengan kejadian lampau yang kembali hadir di kepalanya.
“Teta kalau mau ngajak kita bakal punya jarak lagi gausah pake ke sini segala.” Si manis akhirnya berucap setelah kesunyian menyelimuti keduanya.
“Tetaa capek ya sama Thi?”
“Untuk sekarang iya.” Yang tua menjawab, jujur.
Si manis menganggukkan kepalanya dua kali, mulai menoleh ke kanan, memberanikan dirinya untuk menatap iris hitam pekat yang juga menatapnya, memusatkan fokusnya pada pria berkulit tan itu.
“Thi minta maaf, maaf udah ngebuat Tetaa capek sama aku. Maaf karena banyak nuntut sama kamu.”
Kedua iris kelabu itu berkaca-kaca, sangat jelas jika yang muda menahan air matanya agar tak terjatuh tanpa di suruh, “Tetaa mau aku nyetujuin lagi buat ada jarak di antara kita? Atau Teta memang mau kita selesai?”
“Emang aku ada bilang kalau aku mau kita ada jarak? Emang aku ada bilang kalau kita lebih baik selesai?” Tay balik bertanya.
“Karena kamu selalu bawa aku ke sini kalau kita ada apa-apa.”
Tangan kanan Tay perlahan terulur untuk menyerka air mata yang masih setia tergenang di pelupuk mata yang empu, “Aku mau ngajak bicara, bukan mau buat kamu nangis.” Ia berucap setelahnya.
“Aku takut sama nada bicara kamu yang sekarang.”
Pria berkuit tan itu tak menyahut.
“Thi, jujur aku seneng kamu selalu lari ke aku tentang apapun itu. Aku gak pernah merasa kalau kamu memberatkan aku, tapi aku juga manusia sama kayak kamu, aku bisa capek, marah, sedih, pun dengan bahagia.”
“Saat ini aku capek, iya aku capek, tapi aku gak butuh jarak diantara kita berdua.” Sambung Tay tawan.
“Kamu gak tau ya kenapa aku ngelarang kamu untuk pergi keluar rumah beberapa hari yang lalu? Karena aku khawatir akan kamu. Aku benar-benar gak mau terjadi apa-apa sama kamu Thi.”
“Coba deh aku tanya satu hal sama kamu, pernah gak aku ngelarang apa yang kamu mau dalam konteks gak membahayakan kamu?”
Si manis lantas menggeleng, kepalanya menunduk karena ia tak punya lagi keberanian untuk menatap sepasang iris hitam itu.
“Aku terlalu berlebihan atas kamu ya, Thi?”
“Kalau memang aku terlalu berlebihan sebelumnya, aku minta maaf. Sekarang boleh aku tau kamu mau kita itu bagaimana? Kamu mau aku perlakuin kamu seperti apa? Biar kita gak lagi sama-sama bertengkar.”
Jari telunjuk Tay yang berada di bawah dagu si manis bergerak naik, mempertemukan iris kelabu itu pada pasangannya, menatap mata sembab itu dalam-dalam sebelum kembali melanjutkan perkataannya.
“Atau Thi gak lagi mau di larang? kalau itu yang kamu mau, aku gak bakal lagi ngelarang apapun yang bakal kamu lakuin, mau itu baik atau buruk, aku bebasin, sesukanya kamu.
“Thi mau aku yang gimana?”
Beberapa pertanyaan yang dilontarkan Tay tawan tak kunjung mendapatkan jawaban, Yang muda menutup mulutnya rapat-rapat.
“Aku bilang kan mau ngajak kamu ngobrol, bukan ngajak kamu buat nangis, Thi.”
“Tapi Teta marahin aku.”
“Aku gak marahin kamu.” Bantah yang tua.
“Kamu iya! Kamu sama kayak Ayah, kamu suka marah.”
“Tetaa gak pernah tau gimana takutnya aku ngeliat kamu marah, ngeliat orang-orang di sekelilingku marah, yang kamu tau aku tuh cengeng.”
“Alasan kenapa aku selalu ngulur waktu ketika kita dalam keadaan gak baik-baik aja karena aku gak mau ngeliat kamu meledak saat itu juga, aku takut Taa.”
“Aku sadar aku salah, aku benar-benar minta maaf sama Teta.”
“Aku gak masalah kamu mau gimana ke aku, aku masih mau kamu larang, masih mau kamu kasih tau mana yang baik dan buruk buat aku, aku masih dan akan selalu mau perhatian kamu. Aku sayang kamu selalu, Tawan.”
Kedua tangan yang muda menyerka air matanya, menatap sang kekasih yang kini bungkam, “Aku mau pulang.”
“Tanpa nyelesain masalah?”
“Kamu bisa datang lagi kalau kepalanya udah dingin. Karena kalau boleh jujur aku benar-benar takut sama Teta yang sekarang.”
•••
-Joya-