•••

“Kamu makin cantik.”

Suara dari pria tan itu terdengar dengan kelima jemari kanan yang tak henti mengelus pipi si manis, “Kalau lagi ada maunya aja aku dipuji.”

“Beneran.”

“Iya makasih Tetaa, Thi tau Thi cantik.” Balas yang muda.

Thi lantas menyembunyikan sepasang iris kelabu berkilau miliknya begitu napas Tawan menerpa bagian leher dirinya. Memberikan izin atas apa yang Tawan lakukan tanpa ada penolakan sama sekali, sama seperti suaminya, Thi benar-benar mau Tawan malam ini.

Sebuah lirihan tanpa sadar keluar dari bibirnya ketika kedua bilah bibir yang tua menyesap permukaan kulit putih bersih orang tercintanya, manusia yang menjadi alasan untuk ia berbahagia.

“Aku gak tau lagi harus mendeskripsikan kamu seperti apa, kata Cantik masih kurang buat kamu, Thitipoom.”

Semu kemerah-merahan langsung hadir menghiasi pipi yang muda begitu Tawan menyelesaikan kalimatnya, Thi hanya tersenyum manis tak lagi bisa menjawab apa yang suaminya ucapkan.

Tawan dan kalimat manisnya adalah kelemahan sang Bulan.

Perhalan lelaki berparas cantik itu mengalungkan kedua tangannya pada leher Tawan, menarik wajah suaminya mendekat—mengikis habis-habisan jarak yang tercipta diantara mereka berdua.

Ia menyatukan kedua bilah bibirnya dan sang suami, saling memagut dengan mesra, bercumbu mencurahkan rasa cinta untuk satu sama lain, menyesap bibir pasangannya dengan begitu lembut, tak terburu-buru karena keduanya tak mau malam ini berlalu dengan begitu singkat.

Keduanya tersenyum disela cumbuan yang tengah mereka ciptakan, hingga yang tua lebih dulu menjauhkan wajahnya dari Thi.

“Cantik.”

Suara Tawan memberat bersamaan dengan deru napas memburu.

Entah bagaimana cara Semesta bekerja, yang Tawan tau hanyalah ia selalu mencintai lelaki yang tengah berada di bawah kukungannya, Thitipoomnya, bulannya, orang yang ia jadikan poros kehidupannya.

Sepasang netra hitam pekat sang empu tak lepas memandangi wajah rupawan yang muda, Tawan benar-benar menyukai semua yang ada pada diri lelakinya, tanpa celah.

“Aku cinta sekali sama kamu, Thitipoom.”

“Aku juga s—” Kalimat yang diucapkan Thi tak selesai karena Tawan kembali menyesap bibir bawah yang muda amat sangat mesra.

Tangan kirinya perlahan manyusup tanpa permisi kedalam kemeja putih tulang yang muda, meremas pinggang Thi dengan begitu lembut hingga yang muda tak lagi bisa menahan desahannya.

Thi menyukainya, benar-benar menyukai apa yang sedang lakukan pada tubuh dan hatinya.

Pria tan itu sangat tau apa yang ia mau tanpa harus ia katakan terlebih dahulu.

Cumbuan Tawan beralih pada telinga kanan si manis, hingga melodi indah dari lelaki berkulit putih bersih itu kembali menjamah indera pendengarannya, melodi yang paling Tawan suka, desahan Thitipoom.

Kedua tangan pria tan itu beralih pada kancing-kancing kemeja dikenakan yang muda, menanggalkannya satu-persatu hingga tepat kancing dibagian akhir sepasang netra hitam pekatnya menatap iris kelabu sang bulan.

Tubuh Thi meremang ketika kesepuluh jemari suaminya mulai mengelus kulit telanjangnya, sepasang kelopak si manis lantas cepat-cepat menyembunyikan iris kelabu miliknya, “Tawan.”

Seulas senyum tipis hadir menghiasi wajah yang tua tak kala kembali mendengar Thi memanggil namanya, Tawan menyukainya, sangat.

Entah sudah berapa kali Tawan mengakui jika manusia yang tengah bersamanya ini benar-benar bisa menarik seluruh perhatiannya. Thi benar-benar sukses membolak-balikkan hatinya tanpa tapi.

“Aku sayang kamu,” Sebuah lirihan yang dapat di dengar oleh lelaki berkulit putih bersih itu menimbulkan perasaan hangat di dalam dadanya.

“Kamu harus tau, Thi. Jika aku dihadapkan sama seribu pilihan, aku tetap memilih kamu tanpa ragu, aku tetap mau kamu, aku tetap ada di sisi kamu, aku bakal nemenin kamu sampai,” Ucapan yang tua terhenti beberapa saat, menatap suami Cantiknya dengan begitu dalam, “Sampai salah satu dari kita pergi deluan.”

“Aku tau yang hidup pasti mati, yang bernapas bisa berhenti, dan yang datang akan pergi. Tapi sampai sekarang pun kepergian kamu nantinya adalah ketakutan paling terbesar yang aku punya.”

“Aku gak tau apa jadinya aku tanpa kamu, aku gak tau gimana aku pas bangun tidur tadi di sebelah aku gak ada siapa-siapa, aku gak tau aku harus gimana menjalani hidup tanpa kamu.”

“Aku tau kamu bosan mendengarkan ketakutan ku yang satu ini, aku tau kamu pasti sebal karena aku hampir setiap malam begini semenjak mimpi itu ada. Tapi aku gak bisa, sekuat apapun aku menghapus ingatan itu, setiap ngiliat kamu tidur aku, takut.”

“Kadang kalau kebangun tengah malam, terus aku liat kamu tidur di samping aku, aku merhatiin kamu sampai kamu bangun dan aku pura-pura tidur.”

“Pinta ku sama Semesta setiap harinya cuma satu, jangan terlalu cepat ambil kamu dari aku.”

Lelaki manis dengan poni rapi menutupi dahi itu hanya diam membiarkan pria yang berada di atasnya itu mulai menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Thi, membiarkan air mata yang tua menetes membahasi kulit lehernya, yang Thi lakukan hanyalah memeluk seerat yang ia bisa, membuktikan pada Tawan jika ia akan selalu bersamanya.

“Thi sayang kamu, sekali.” Lirih si manis.

“Thi gak pernah bosan sama ucapan Tetaa, Thi gak pernah sebal sama ketakutan kamu, setiap manusia pasti ada takutnya Taa.”

“Kita udah sejauh ini berjuang bersama, berdua. Kamu tetap jad perjuangan yang aku dahulukan, Tawan.”

“Aku udah sayang sama kamu sejak pertama kali kamu ngajak aku jalan berdua, nonton bioskop, aku udah sayang kamu sejak aku ngira kamu bakal mencium aku di dalam studio, aku udah sayang sama kamu sejak kamu datang ke apartemen aku dan meluk aku yang nangis karena tugas kuliah ku gak selesai-selesai.”

“Aku gak pernah enggak sayang sama kamu Ta, bahkan saat kamu marah sama aku, aku tetap sayang kamu, aku tetap mau sama kamu, aku tetap ingin kamu.”

“Kamu boleh cium aku, Thi?”

•••

Pagutan yang keduanya ciptakan semakin mesra tak kala kedua tangan yang tua bermain pada kedua bongkahan paling sempurna yang lelakinya punya.

Thi benar-benar menyanggupi permintaan Tawan, benar-benar menyapu habis kedua bilah bibir ranum suaminya dengan begitu lihai, hingga ia terpaksa melepas pagutan mereka ketika oksigen yang berada di dalam tubuhnya menipis.

“Cantik.”

Mendengr pujian yang kembali dilayangkan oleh sang suami membuat lelaki berada di pangkuan Tawan lagi-lagi merona, lalu senyum manisnya terukir sangat indah.

“Hujan.” Thi bersuara, menoleh ke kiri—di mana jendela kamar mereka berada.

“Emang ya Semesta paling baik sama aku.” Ujar yang tua dengan tangan kiri—

“Kenapa bokong Thi yang kamu tampar?!”

“Gemesh.” Ia menjawab sekenanya.

“Kamu ganjel banget tau.”

Sebuah seringaian dari yang tua tercipta, “Nakal.”

“Tetaa, aku gak mau yang kayak gini.”

“Kamu gak mau di atas?”

“Gak mau aku males gerak, tapi aku juga gak mau yang kita biasa gitu loh.” Lelaki cantik itu berujar lugas.

“Jadinya mau gimana?”

“Inget gak yang kita berantem gede?” Thi memberi sebuah tanya dan Tawan lekas mengangguk dua kali.

“Thi mau kayak git—”

“Enggak.”

“Ish mau gitu, yang kamu ikat aku terus tut—”

“Enggak.”

“Tawan.”

Kedua tangan Tawan menarik punggung si manis agar semakin dekat dengannya, kembali menyembunyikan wajahnya di ceruk leher sang suami, “Nanti kamu demam.”

“Sesekali gak apa-apa tau.”

“Yang lain, ya? Permintaan yang itu, aku gak bisa.”

Decakan sebal keluar dari bibir Thi karena permintaannya langsung di tolak Tawan, “Yaudah kalo gitu aku mau kamu di belakang.”

“Gak bisa yang bener-bener aja apa ya kamu ini?”

“Gak bisa, kamu harus nurutin aku juga dong.”

“Iya, Thi.”

•••

Tampaknya Semesta memang mendukung hal yang tengah kedua anak adam itu lakukan, buktinya hujan turun dengan derasnya sedari tadi, meredamkan suara dari si manis yang tak mau berhenti memanggil nama sang suami.

Yang tua tersenyum tipis begitu dengan kesepuluh jemari yang terus mengelus punggung telanjang kekasih hatinya, “Kamu cantik.” Ia kembali memuji.

“Kamu nyaman kah, Thi?”

Lelaki berparas cantik itu hanya mengangguk sebagai jawaban, menoleh ke belakang—mempertemukan iris kelabunya dengan pasangannya.

“Nyaman, Tawan sayang.” Ia menjawab.

Setelah mendengar jawaban menenangkan hatinya itu keraguan atas apa yang Thi minta mengawang begitu saja, netranya tak lepas memandangi lelaki paling Cantik yang pernah ia temui, dan satu-satunya orang yang ingin ia bagi tentang segala rasa bersama-sama.

Tawan bergerak dengan begitu pelan, mulai mengisi kekosongan yang ada pada sang Bulan, mengelus kembali punggung seputih salju itu dengan kelima jemari kanannya, membiarkan desahan yang muda mengalun dengan begitu jelas masuk kedalam indera pendengrannya.

“Tawan.”

Thi meringis, mendesah, meracau, pun mengerang dengan sesuka hatinya, meremat sprei erat-erat ketika yang tua mempercepat tempo geraknya menghasilkan bunyi kulit saling bersinggungan membuat si Cantik memejamkan kedua matanya semakin tak karuan di bawah kuasa Tawan vihokratana, suami tercintanya. Membiarkan pria tan itu mengambil alih segala hal tentang dirinya, Thi ingin gila sepenuhnya sekarang.

Tepat di hentakan terakhirnya Tawan memberikan cintanya pada Thitipoom, membiarkan napas keduanya yang saling bersahut-sahutan, ia bergerak mendekati telinga si Cantik lalu berbisik, “Aku sayang kamu, banyak sekali.”

“Iya banyak sekali, aku sampe penuh.”

“Thi.”

“Iya Tawan, aku sayang kamu banyak sekali juga.”

“Tetap sama aku, ya Cantik.”

“Iya.”

“Aku sayang sama kamu, sayang banget, makasih ya.”

“Iya.”

“Kok kamu iya-iya terus?”

“Kasih aku jeda ngomong dan gerak sebentar boleh?”

“Nanti lagi?”

“Iya.”

Senyum manis yang tua langsung mengembang sempurna begitu mendengar jawaban dari kekasih hatinya, “Sampe pagi ya, Thi?”

“Iya.”

•••

—Joya.