—Hadiah.

•••

“Boleh ku cium gak bibirnya?”

Gelengan pelan dari pria manis itu tercipta, membuat si pemberi tanya mengangguk dua kali, menerima penolakan dari sang suami.

“Kok kamu langsung nyerah gitu?”

“Ya kamu udah gak ngasih izin, cantik.”

“Kalau kamu, boleh gak ku gigit bibir bawahnya?”

“Nakal, Thipum.”

Ada gelak tawa yang terdengar, ada mata sang empu menyipit bak bulan sabit, cantik sekali.

Waktu menunjukkan pukul delapan malam, kedua anak adam itu masih setia di dalam ruang kerja yang muda, Thi masih sibuk berkutat pada laptopnya, dan Tawan sibuk menyuapkan buah potong pada si manis.

“Pinggang aku kayak mau lepas.”

“Nanti aku pasang lagi.”

Thi merespon dengan decakan mendengar jawaban asal bunyi lelakinya.

“Oh iya Taa, aku lupa sampaikan, anaknya kemarin ada kepingin main ke pantai, katanya kalau kita ada waktu aja hahaha tua banget ngomongnya.”

“Mungkin kalau terlalu jauh belum ada waktunya sayang, ke bali aja gak apa?”

“Bali juga hitungannya jauh Mas, yang dekat-dekat sini aja.”

“Coba nanti kita tanya anaknya mau di mana ya, Mbul.”

Sebuah anggukan Tawan terima, hingga dimenit kelima tampak jelas si manis mulai memberserkan segala yang ada pada meja kerjanya, menghela napas panjang, “Selesai juga, ayo pulang.”

Thi itu belum sepenuhnya bangkit dari duduk, ada tangan yang menahan, ada gerakan si dia yang menghapus jarak, ada jemari pelan-pelan menyingkirkan poni rapi menutupi dahinya.

Dan Tawan mendaratkan sebuah ciuman pada kening yang muda dengan lama-lama.

“Hadiah dari aku karena kamu udah lembur.”

Perasaan hangat itu menyergap dirinya, tak lagi bisa menahan senyum yang mengembang sempurna di wajah.

“Pipinya masih merah aja.”

“Salah kamu, kenapa tiba-tiba cium kening Thi.”

“Hadiah.”

Setelah menjawab, yang tua itu mulai bergerak, melangkah menjauh, namun Thi menahannya, “Thi juga mau ngasih kamu hadiah.”

“Apa?”

“Ini”

Pemilik iris kelabu itu menyatukan bilah bibir mereka, mulai memangut dan Tawan menerima dengan senang hati atas cumbuan yang lelakinya tawarkan, mulai mengikutsertakan lidahnya menciptakan banyak friksi di sana, menjamah deretan gigi rapi yang muda, mengigit bibir bawah merah merekah sang pasangan.

Sebelum cumbuan itu turun pada leher jenjang sang bulan, Tawan menyelesaikan segalanya, “Nanti kelepasan, kita masih di kantor.”

“Kalau kelepasan ya tinggal dilepasin semua.”

“Nakal.” Lengkap dengan jentikkan jari pada dahi Thi.

“Gak mau nih kamu?”

“Enggak.”

“Aku buka baju sekarang.”

“Biar aja, nanti ku teriakin ada orang gila.”

“Ih beneran keliatan banget udah gak sayang Thi.”

Diberinya kecup ringan pada tiap-tiap bagian yang ada pada wajah Thitipoom, “Aku sayang banget sama kamu, Thi. Makasih hadiahnya.”

“Tetaa, makasih ya udah sayang Thi.”

•••