•••

Kokok ayam sudah terdengar bersahut-sahutan, pun dengan matahari yang mulai menampakkan dirinya malu-malu, pria berkulit tan itu masih bergelung nikmat di balik selimut tebalnya hingga beberapa menit setelahnya kedua kelopak mata itu terbuka, mengerjab beberapa kali begitu ia melihat cahaya menyusup masuk melalui ventilasi kamarnya.

Tay tawan mulai bangkit dari posisinya setelah ia berleha-leha sebentar, mulai melangkahkan kakinya menuju kamar mandi agar segara membersihkan diri.

Tiga puluh menit setelahnya Tawan benar-benar sudah selesai dengan kegiatan paginya, mulai dari mandi, sarapan, mengecek email masuk, membersihkan tempat tidur, itu semua sudah ia kerjakan. Langkah kakinya membawa ia untuk keluar rumah dengan tangan kanan memegang secangkir teh tawar hangat buatannya, pintu utama bercat putih tulang itu mulai terbuka, ia akan duduk di depan teras sembari menikmati pemandangan gunung dan petak-petak sawah yang terpampang nyata di depan mata.

Hingga semua niatnya hilang digantikan dengan sebuah tenda berwarna biru muda yang berada tepat di halaman rumahnya, dan sebuah mobil terparkir rapi di sebelah mobilnya, tidak lain dan tidak bukan semua ini ulah pemuda manis berkulit seputih susu itu, sudah pasti.

Tanpa ragu pria tan itu melangkah maju, tangan kirinya perlahan mulai membuka sedikit penutup tenda, dan benar saja si manis berada di sana, tengah tertlelap begitu pulas dengan selimut super tabel yang menutupi seluruh tubuhnya. Seulas senyum tipis terukir tanpa sadar menghiasi wajah tampannya, melihat Thi tidur memang salah satu hobinya sedari lama.

Tawan masih sangat suka bagaimana sepasang kelopak sang empu itu menyembunyikan iris kelabunya, bagaimana bibir merah mudanya yang sedikit terbuka, dan hembusan napas teratur sang kekasih, entah bagaimana ceritanya yang jelas Tawan masih saja menyukai apa yang ada di diri sang kekasih. Hingga ekspresinya kembali seperti semula begitu netra hitam pekatnya menangkap yang muda mulai terbangun dari tidurnya.

Kedua mata si manis menyipit, “Tetaa?” Yang muda memanggilnya dengan suara parau.

Tawan masih diam, bangkit dari tempatnya dan berjalan masuk kedalam rumah hingga langkahnya terhenti begitu suara yang muda terdengar.

“Tetaa aku sayang banget sama kamu.”

•••

Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore, Thi mengulas senyum melihat pemandangan indah di depan mata.

“Ngapain senyum-senyum?” Ucapan ketus yang tua terdengar membuat senyuman itu lantas memudar digantikan dengan majunya bibir merah muda sang empu lima senti.

“Apasih kamu marah-marah, orang Thi cuma seneng karena liat pemandangan indah di depan mata.”

Tawan hanya diam, memutar tubuhnya dan kembali berjalan meninggalkan si manis yang sedari tadi membuntutinya, namun ia biarkan saja.

“Tetaa, ini nih apa ya namanya? Jalanan buat jalan? Bukan maksud aku jalan yang kecil, jalan yang lagi kita jalanin ini, kenapa jalan di deket sawah tuh cuma setapak begini? Kan kita jadi gak bisa gandengan, kenapa ya Tetaa?”

Sudah tentu Tawan hanya diam mendengarkan semua ocehan yang keluar dari mulut kekasihnya, “Tetaa kata Ibu kalo kita gak jawab apa yang orang tanyain ntar bibirnya ketutup sendiri, terus enggak bisa kebuka lagi, selama-lamanya.”

Lagi-lagi yang tua masih saja bungkam.

“Tetaa tau gak kalau setiap manusia itu udah pasti pernah salah? Sama kayak aku, aku udah pasti pernah salah, dan juga udah pasti pernah bikin kamu sakit hati entah itu secara sengaja atau tidak.”

“Thi cuma mau bilang aja, aku tau kamu dengerin aku ngomong dari tadi. Aku mau bilang aku minta maaf sebesar-besarnya sama kamu, minta maaf yang besar, lebih besar dari badan aku.”

“Tetaa masih enggak mau nyahut ya?”

Iris kelabu itu memandangi punggung kekasihnya yang mulai menjauh, maka dari itu ia melanjutkan langkahnya menyusul yang tua, Thi akan ikut kemanapun Tawan pergi, hari ini.

“Tetaa Tetaa, kenapa ya kampung kamu ini enak banget, udaranya sejuk, masih asri sekali, terus ya kelebihan kampung kamu tuh ada lagi, ini satu-satunya kelebihan kampung kamu yang kampung bahkan negara lain gak punya, ada kamu di dalamnya.”

“Tetaa, Tetaa, Tetaa tau gak kalau tadi malem yang nemenin aku chatingan itu Singto?”

Pria berkulit tan itu menoleh kebelakang, menatap pujaan hatinya dengan tatapan datar membuat yang muda menyengir, “Bercanda.” Sambungnya.

“Tetaa udah pernah ke Merauke tapi belum pernah ke Sabang kan? Sama, tapi kalo Thi belum pernah dua-duanya. Nanti kita ke sana yuk?”

“Tetaa udah pernah ke LA belum? Thi udah pas nemenin Ibu nyari Leonardo dicaprio, tapi gak ketemu.”

“Tetaa mau ngajak aku kemana? Kita udah jalan jauh loh ini tapi kok gak berhenti juga? Minun air kelapa dulu gitu hehehe, Thi haus banget sebenarnya laper juga sampe mau pingsan.”

“Tetaa tidur di luar tuh dinginnya dingin pol, untung aku bawa selimut tebal, bawa dua bantal, bawa karpet bulu empuk yang baru Ibu beli juga hahaha.”

“Tetaa.”

“Tetaa.”

“TAWAN!” Bentak yang muda, kesabarannya menghadapi lelaki itu sudah menipis. Namun sang pemilik nama tampaknya tak jua mau mengentikan langkah kakinya.

Walau kesal sedari tadi terus diabaikan Thi masih saja membuntuti kekasihnya, hingga yang terjadi pada langkah selanjutnya adalah ia tergelincir dan jatuh.

Mengetahui jika kekasihnya menangis dengan kaki dan badan berlumpur membuat Tawan memutar tubuhnya kebelakang, memandangi wajah merah yang muda dengan seulas senyum tipis, hingga pada menit berikutnya ia mulai turun ke sawah, membantu Thi untuk berdiri.

“Kakinya sakit gak bisa digerakin.” Pemuda itu merengek.

“Aku bilangin Ibu kamu, liat aja nanti.”

Kekehan itu tak lagi dapat ia tahan, mendengar ocehan kekasihnya sambil menangis adalah hal terlucu untuk saat ini, “Gausah ketawa Tetaa!”

“Harus diamputasi kah kaki aku ini?”

“Lebay.”

Bibir si cantik maju lima senti mendengarnya, “Sakit banget Tetaa, ntar gimana aku pulangnya gak bisa jalan?” Thi bertanya dengan pandangan tak lepas memerhatikan pergelangan kaki kanannya yang mulai membiru dan bengkak.

Tawan tak mau menjawab, setelah mendudukan yang muda di sebuah gubuk ia pun beranjak dari sana, hingga cekalan dari Thi membuatnya menoleh, namun masih jua tak ingin bersuara.

“Kamu mau ninggalin aku? Aku beneran gak bisa ngejar kamu kalau gitu, yaudah gak apa-apa biarin aja aku di sini sendiri.”

Tawan benar-benar pergi tanpa kata yang terucap sama sekali.

•••

Isak tangis pemuda berkulit seputih susu dengan poni berantakannya itu belum juga mereda, meratapi kakinya yang terasa begitu sakit, “Kaki aku sakit banget.” Ia mengadu.

Iris kelabunya mulai menaruh perhatian pada lelaki yang berada di depan, “Gak mau di peluk apa ya Thi-nya?” Thi kembali bersuara, lalu kembali menangis begitu melihat kembali kondisi kakinya.

Tawan terkekeh lagi, ekspresi yang Thi tampilkan saat ini sangatlah menggemaskan di matanya, perlahan kedua ibu jari Tawan mulai mengusap punggung kaki yang muda dengan sangat pelan lalu meniupnya, “Udah sembuh.”

“Mana ada! Masih sakit ini.”

Tawan terkekeh lagi.

“Mau ketempat Ibu. Aku mau sama Ibu aja.”

“Yaudah pulang sana.” Yang tua membalas.

“Kamu ngapain nyuruh aku pulang lagi? Mau pulang kesiapa aku ini kalau bukan pulang ke kamu?”

“Ibu.”

“Jahat banget ya kamu.” Pemuda berkaos putih itu menyerka air mata yang kembali turuh dengan sendirinya dan meraih benda pipih di sebelahnya.

“Mau ngapain?”

“Tawan nyuruh aku pulang ke Ibu kan, ini aku nelepon Ibu buat minta tolong jemput.” Thi menjawab sekenanya.

“Halo, Ibu-”

Belum jua menyelesaikan ucapannya, yang tua terlebih dahulu mengambil alih ponsel yang berada di genggaman sang kekasih, mulai berbicara pada Ibu pacarnya, hingga beberapa saat kemudian panggilan itu terputus. Keduanya saling tatap, tak ada lagi rengekan tak jelas yang keluar dari mulut Thi, mereka mulai diam.

“Kemarin kamu bilang kalau cincinnya di buang juga gak apa-apa kan? Yaudah, kamu lepasin aja dari jari aku dan setelah itu aku pulang ke Ibu.” Thi kembali membuka suara tesetelahnya, memperlihatkan cincin yang tersemat begitu pas di jari manisnya.

“Kenapa sekarang kamu juga diam, Tawan?”

“Kan memang salah Thi besar banget sama kamu, sampe gak bisa di maafin kan? Segimana cara yang aku lakuin sekarang pun gak bakal bisa bikin marah kamu reda kan, gak bakal bisa bikin kamu mau melembutkan suaramu sama aku kan? Lepasin aja cincinnya dan aku bakal pulang.”

“Aku bakal pulang, jadi gausah di usir lagi.”

Tak ada yang Tawan lakukan selain diam memandangi punggung tangan kekasihnya, hingga sebuah panggilan asing menjamah indera pendengarannya.

“Tawan.”

“Enggak.” Hanya satu kata yang keluar dari mulutnya.

“Jadi kamu mau aku yang ngelepasin sendiri?”

“Enggak, Thi.”

“New, kamu panggil itu kan kemarin malem.”

“Aku emang banyak sekali salah sama kamu, sering bikin kamu kesel, suka memaksakan kehendak, suka ngambek gak jelas, suka ngode berujung aku marah sama kamu, suka manja. Kamu gak suka aku yang begitu kan? Iya kan Tawan?”

“Aku begitu ke kamu karena semua itu gak aku dapetin dari Ayah, dan aku baru sadar kalau kamu gak selalu bisa jadi apa yang aku mau, kalau aku gak boleh begitu terhadap kamu, maafiin aku.”

“Maafin selama kita berhubungan yang kebanyakan bikin masalah deluan itu aku, aku minta maaf sama kamu. Tolong balikin ponselnya, aku mau nelepon Ibu.”

Yang tua beranjak dari tempatnya, mengubah posisinya agar bersebelahan pada sang kekasih, hingga tanpa di sangka-sangka ia menarik pemuda berparas cantik itu untuk masuk kedalam sebuah pelukan hangat yang dirinya ciptakan. Mengecup pucuk kepala lelakinya, memejamkan matanya dengan kedua tangan semakin mengeratka pelukan, tak mempedulikan angin sore menerpa wajahnya, membiarkan kicauan burung yang saling bersahut-sahutan.

“Jangan pulang ke Ibu, jangan tinggalin aku.” lirihan Tawan terdengar begitu jelas.

“Kamu mau aku ngapain agar kamu tetap sama aku? Aku nyinggung perasaan kamu masalah yudisium ya Thi? Tolong kasih tau aku, aku salah di mana.”

“Semua orang boleh hilang asal jangan kamu.”

Kedua tangan si manis bergerak agar Tawan tak lagi memeluk dirinya, “Kamu tuh gak jelas banget sumpah, tadi nyuruh aku pulang ke Ibu sekarang begini.”

“Iya kamu emang nyinggung perasaan aku soal itu tapi udah gak masalah lagi, aku udah gak marah lagi, aku juga minta maaf karena maunya di mengerti terus.”

“Kamu nanya kamu harus ngapain agar aku tetap sama aku? Gausah ngapa-ngapain juga aku bakal tetap sama kamu, tapi kamu galak banget tadi aku takut tapi sok berani aja.” Thi berucap panjang, menjawab semua pertanyaan yang Tawan berikan padanya.

“Jangan pulang sekarang, ya?”

“Gak mau, kamu udah ngusir aku, biarin aku tidur di tenda begitu, gak ngasih aku sarapan, ngetawain aku jatoh, bilangin aku lebay, dan gak mau meluk saat aku di pijet tadi.”

“Maaf.”

“Gak usah sok baik kamu sekarang! Siniin gak hapenya!”

Dengan cepat pria berkulit tan itu menyembunyikan ponsel si manis lalu ia menggeleng. “Gak boleh pulang.” Ia berucap.

“Cium dulu kalo gitu.”

Tawan menurut, mencium pipi kanan yang muda dengan sayang, membuat senyum si manis merekah sempurna menghiasi wajahnya.

“Satu lagi.”

Tak ada alasan untuk Tawan menolak apa yang Thi minta, maka dari itu, ia menurutinya.

“Ini juga.”

Sebuah gelengan kepala terlihat begitu jari telunjuk Thi menyentuh bibirnya beberapa kali.

“Jangan mulai.”

“Aku gak mau ngode, Tawan dateng ya pas aku wisuda.”

“Iya, New.”

Jawaban dari pria berkulit tan itu membuat Thi merengut kesal, “Gak mau di panggil gitu! Bilang Mbul cepet.”

“Kamu juga manggil aku Tawan.”

“Kan Tetaa yang mulai.” Si manis membantah, hingga yang tua terdiam mengaku kalah.

“Thi pulangnya gimana? Emang kamu sanggup gendong aku sampe rumah?” Sambung pemuda itu sembari menatap lagi kakinya.

“Ya enggak sanggup lah, ngelewatin sawah lagi.”

“Kan, jadi aku gimana?”

“Tinggal aja di sini.”

“Tetaa emang super tega ya, ntar kalo kakinya gak sembuh juga gimana?” Pertanyaan bernada cemas dari yang muda terdengar.

Perlahan tangan Tawan mulai mengelus rambut si manis, “Tadi kan udah di pijet, sebentar lagi sembuh. Aku udah minta tolong Arbie untuk jemput kita Mbul.”

“Kamu sama Arbie gotong aku gitu?”

“Ada jalan lain yang bisa buat mobil, tapi jauh makanya aku minta tolong Arbie buat jemput.”

Thi mengangguk paham menyenderkan kepalanya di dada sang kekasih, “Maafin aku ya Taa.”

“Kamu maafin aku juga kah?”

“Iya,” Thi membalas, menengadah menatap yang tua dari bawah, “Tetaa, ada yang mau diceritain ke aku kah?”

“Banyak.” Yang tua berucap.

“Ayo sini aku mau nemenin kamu cerita.”

“Nanti malam aja, ya.” Ucap Tawan yang lantas disetujui oleh kekasihnya.

“Tetaa.”

“Hmm.”

“Aku laper.”

•••

-Joya-