—Jangan biarkan aku pulang, kerumah yang bukan engkau.
•••
Cengiran sang empu terpantri pada wajah begitu kakinya melangkah masuk kedalam rumah—sepasang iris kelabu menatap tajam, lengkap pula dengan kedua tangan dilipat di dada.
“Bagus.” Suaranya langsung terdengar, datar.
Tawan kembali menunjukkan cengirannya sungguh-sungguh tak berani berucap apapun, karena Thi tampak benar-benar marah saat ini.
“Dad, kok lama pulangnya?”
Kedua anak adam itu sontak mengalihkan perhatiannya pada sang anak sematawayang, “Tadi ada yang harus diurus dulu kak.” Tawan menjawab—berjongkong mensejajarkan tingginya dengan Lolly.
“Tadi papa Thi check phone, terus crying.”
“Oh ya?”
Gadis kecil berusia sembilan tahun itu mengangguk sungguh-sungguh, “Iya, tapi sudah diam Lolly give him some chocolate candies.”
“Makasih ya Lollita.”
Sebuah ciuman Tawan berikan pada sang putri, “Daddy mau ngomong sama Papa sebentar boleh?”
“Berdua aja?”
“Berdua aja.”
“Oke, aku ke kamar, nanti kamu susul ya dongengin aku sebelum tidur.”
“Siap princess.”
Menit setelah Lollita meninggalkan mereka berdua, yang tua melangkah mendekati sang suami, memerhatikan wajah si manis dengan jarak cukup dekat, sangat dekat hingga Thi mulai bergerak mundur satu langkah.
“Nangis karena pesan aku ya Thi.”
“Kebiasaan tau gak.”
“Maaf ya.”
“Kebiasaan.”
“Aku gak kenapa-napa, cuma bumper depannya aja yang kena, tadi agak lama soalnya aku ngobrol dulu sama yang punya mobil yang enggak sengaja aku serempet.”
“Kamu gak pernah sayang sama dirimu sendiri.”
“Thi.”
“Tapi aku sayang banget sama kamu, Tawan.”
“Aku gak suka, aku benci liat kamu sakit, aku takut, takut Tawan, aku takut kamu kenapa-napa.”
“Sama kayak yang kamu bilang 'kalau kamu pergi aku tinggal sendiri' aku juga mikir kayak gitu, kalau naasnya kejadian lebih buruk, aku harus kayak gimana Tawan.”
Kedua tangan yang tua bergerak merengkuh tubuh bergetar sang kekasih hati, namun lagi, Thi mundur selangkah, terang-terangan menolak.
“Gak ada pegang-pegang.”
“Iya maaf ya, gak ada pegang-pegang.”
“Ada yang sakit gak badannya?”
Pertantanyaan bernada ketus terselip khawatir yang sangat terasa itu membuat Tawan tersenyum tipis, lalu menggeleng, lalu memperlihatkan pada si manis jika diri sungguh benar dalam keadaan baik.
“Yaudah, bersih-bersih sana.”
“Kamu di sini sendirian? Gak mau ke kamar aja?”
“Males, ada kamu.”
“Biar gak bosan-bosan banget, aku beneran beliin kamu sop buah, dimakan ya aku mandi sebentar, sekiranya kamu masih gak mau lihat aku malam ini, aku tidur di kamar Lolly gak apa-apa sayang.”
Kedua tangan pria berkulit tan itu meletakkan mangkuk berisikan sop buah di meja ruang tengah rumah mereka.
“Udah makan malam belum kamu?”
“Gampang nanti kalau lapar aku bisa masak sosis.”
“Aku tanya udah makan malam atau belum?”
“Belum, Thi.”
“Habis mandi ke bawah, Ibu tadi ada ngasih ayam woku sama sop buntut.”
“Iya Cantik.”
“Yaudah, kenapa masih di sini.”
“Maaf ya, maaf sekali, maaf bikin kamu khawatir, maaf bikin kamu takut, maaf bikin kamu nangis, pasti tadi pikirannya Thi gak tenang ya gara-gara aku, maaf ya sayang.”
“Besok ke rumah sakit buat periksa, takut ada kenapa-napa.”
“Iya.”
“Jangan iya-iya aja kamu Tawan.”
“Iya, besok ke rumah sakit.”
Pemilik iris kelabu itu bergerak merengkuh sang suami, kedua telapak tangannya bergerak mengusap punggung lebar yang tercinta.
“Siapa yang kasih izin pegang-pegang aku?”
Cepat-cepat Tawan menjauhkan tangannya dari tubuh si dia—dan terkekeh pelan setelahnya.
“Kena marah kamu sama Thi.”
“Gak apa-apa.”
“Jangan diulangin lagi, tolong lebih hati-hati Tetaa.”
“Iya Thi.”
“Gih bersih-bersih terus makan dan istirahat, biar anaknya Thi yang dongengin.”
“Kamu yang istirahat, aku gak ap—”
“Gak ada bantah ucapan aku.”
“Iya Thipum.”
Thi perlahan melerai pelukannya pada tubuh tegap lelakinya, mengecup bibir yang tua hanya untuk beberapa detik lamanya.
“Thi minta maaf ya Tetaa, udah gak sopan sama kamu tadi.”
•••
—Joya.