[Jikalau]
•••
Lampu kamar dimatikan, menyisakan lampu tidur menjadi penerangan satu-satunya yang ada pada sebuah kamar sang empu.
Netra hitam pekat itu bergerak mencari bingkai foto yang berada di nakas sebelah kanan, jemari-jemari lentiknya mengusap sosok yang ada di dalam bingkai tersebut, tanpa sadar ia ikut tersenyum, ikut masuk ke dalam memori lampau penuh bahagia yang ada di dalamnya.
Rindu.
Rindu akan presensinya.
Rindu akan dekap hangat lelakinya, rindu akan perhatian-perhatian yang sang bulan berikan, rindu akan marahnya yang datang, rindu akan eksistensinya di dalam hunian.
“Aku kangen kamu Thi.”
Adalah kalimat yang terus terlontar setiap malam.
Lelaki cantik dengan senyum paling indah itu berpulang tepat tiga tahun yang lalu, lelaki yang selalu menjadi alasan dirinya untuk punya alasan berbahagia.
Thitipoom telah menyelesaikan tugasnya.
Suaminya tengah beristirahat dengan lelap dan tenang di sana.
Yang ia lakukan sekarang adalah, menunggu.
Menunggu dengan sabar hingga ia bisa bertemu separuh dirinya.
Menunggu dengan ikhlas hingga ia bisa kembali pada potongan-potongan menjadi utuh.
“Aku baik-baik saja di sini, Thi.”
“Lollita sudah punya putri yang cantik, rumah sedang ramai suara anak kecil, kamu pasti suka itu kan sayang.”
“Kita sudah punya cucu, Thi.”
“Namanya Ayane eshania, berumur dua tahun.”
Jemari ringkihnya tak henti bergerak mengelus foto sang bulan, senyumnya masih terpantri di sana, tak pergi kemana-mana.
“Aku selalu merindukan kamu, Thitipoom.”
Hingga di detik berikutnya, ada suara pintu kamar yang terbuka, ada seorang wanita berusia dua puluh delapan tahun yang menyelinap masuk kedalam kamar sang ayah.
Ia melangkah dalam remang kamar, duduk di pinggir ranjang orang tuanya, “Dad, kok belum tidur?” Adalah pertanyaan basa-basi yang Lolly berikan.
“Ayane ditinggal sendirian?”
“Ada papanya.”
Tawan mengangguk dua kali, “Kenapa ke sini?”
“Kamu, gimana kabarnya?”
Netra hitam pekat milik Tawan menelisik lamat-lamat wajah sang anak sematawayang, “Dad baik.”
Sang perempuan memberikan sebuah senyum hangat, tangan kanannya bergerak menggenggam jemari keriput sang ayah, mengamati kantong mata mengendur yang ada pada wajah seorang Tawan vihokratana.
“Kangen ya sama papa Thi.”
“Setiap saat pasti kangen, kak.”
“Tadi Ayane lihat foto papa Thi yang ada di meja kamar aku, katanya eyang Thi punya senyum yang cantik.”
“Ayane juga nanya ke Lolly, katanya eyang Thi itu orang seperti apa, aku bilang besok kamu harus tanya sama Opa.”
“Dad siap-siap mendongeng besok.”
“Kakak Lolly, gimana kabarnya?”
“Lebih dari baik, maaf kalau Lolly jarang mengunjungi kamu.”
“Tak apa.”
Sang ayah merentangkan tangannya dalam diam, mengundang sang anak untuk masuk kedalam pelukan yang dirinya ciptakan dengan damai.
“Sekarang udah gak ada teman rebutan kamu, ternyata gak semenyenangkan ini rasanya.”
“Kalau dulu, Daddy sampai pusing kamu dan papa bertengkar hanya karena sebuah pelukan.”
“Waktu Ayane lahir, kamu bilang sama Lolly kalau tujuan utama kamu datang ke rumah sakit untuk melihat putrimu, setelahnya cucumu.”
“Kamu langsung bertanya gimana kabar aku, apa yang sakit, kamu bahagia atau tidak.”
“Dan Dad juga bilang, itu pertanyaan dari papa Thi yang dititipkan sama kamu.”
“Lolly kangen papa Thi.”
Tangis sang putri pecah ruah lengkap dengan tubuh bergetar yang terasa dalam pelukan erat sang ayah.
Dirinya bisa merasakan tepukan pelan yang Tawan berikan, dirinya bisa merasakan jika sang ayah juga sama merasakan kehilangan.
“Papa Thi itu gak kemana-mana, nak, dia ada di dalam hati kita.”
“Dia juga sedang menunggu di tempat terbaiknya, menunggu kita untuk kembali berjumpa, berkumpul bersama-sama lagi.”
“Rasa rindu itu adalah hadiah dari Tuhan untuk kita selalu mengingat dia.”
“Kakak Lolly mau tahu sesuatu tidak?”
Sang anak mengangguk, tak ada berniat untuk melonggarkan pelukannya pada sang ayah.
“Dulu, kami punya keinginan merayu semesta, agar aku yang pergi terlebih dahulu meninggalkan dirinya sendirian di bumi.”
“Tapi ternyata, di sini, aku yang kuat, kuat menahan rindu pada dia yang akan ku temui nantinya.”
“Suatu hari nanti, papa Thi akan menyambut kepulanganku dengan senyuman paling indah yang ia punya.”
“Dan kamu, anakku dan Thi, adalah anugerah paling indah yang kami syukuri.”
“Jika tiba hari di mana aku ikut bersama papa Thi, akan kutitipkan rindu yang kamu rasakan padanya.”
“Dan akan Daddy sampaikan, putri sematawayangnya sudah menjadi seorang Ibu yang hebat.”
“Kamu, akan menjadi bahan obrolan paling menyenangkan untuk kami.”
•••
—Joyana.