•••
Sebuah pintu apartemen itu terbuka menampilkan pemiliknya, netra kedua anak manusia itu bertemu untuk beberapa waktu, ia memusatkan segala perhatiannya pada lelaki yang berada di depannya, lelaki yang berdiri berhadapan dengannya. Hingga jatuhnya air mata tanpa permisi sama sekali, keduanya masih bungkam, masih sama-sama menutup mulut rapat-rapat, terlalu banyak hal yang ada di kepala namun tak jua terucap.
Pria dengan kaos berwarna hitam yang melekat di tubuhnya itu maju selangkah bersamaan dengan terulurnya tangan kanan untuk menyerka air mata kekasihnya dengan begitu lembut.
“Tetaa, Thi minta maaf.”
“Masuk dulu, ayo.”
Setelah ajakan yang keluar dari mulut Tay, keduanya melangkah masuk kedalam apartemen pria berkulit tan, pintu bercat cokelat itu kembali tertutup rapat, sepasang sneakers sang empu berhenti melangkah.
Tay menoleh kebelakang, menatap pemuda berwajah manis yang masih diam di tempatnya, “Kamu masih takut sama aku?” Ia bertanya, nadanya lembut sekali hingga sebuah gelengan kepala Thi berikan sebagai jawaban atas pertanyaan yang diberikan kekasihnya.
“Kenapa diem di sana? Sini Thi.”
Yang muda melangkah maju mendekati kekasihnya, duduk di atas sofa sebelah Tay tawan, “Kamu mau pergi kemana?” Ia bertanya.
“Pulang kampung, Thi.”
Thi mengangguk dua kali bertanda mengerti, kesepuluh jemarinya saling meremat satu sama lain, perlahan menoleh kearah sang kekasih, menatap iris hitam pekat yang tertuju padanya.
“Kalau gitu bahasnya tunggu kamu pulang aja, aku mau pamit pul-”
“Aku ada waktu kok untuk kamu.” Potong yang lebih tua.
Yang muda terdiam mendengarnya.
“Thi mau ngomong apa?”
“Mau minta maaf sama kamu, minta maaf karena udah memaksakan kehendak aku sama kamu, minta maaf jika perkataan atau tindakan aku yang bikin kamu kesal, capek, dan marah sama aku.”
“Minta maaf karena sifat Thi masih kayak anak-anak.”
“Tetaa masih capek ya sama aku?”
“Udah enggak.” Tay menjawab.
Yang muda mengerjapkan kedua matanya beberapa kali setelah mendengar jawaban dari Tay tawan, hingga sebuah kekehan ringan terdengar.
“Teta udah gak marah?”
“Aku gak marah, berapa kali aku bilang aku gak marah sama kamu?”
“Tapi nada bicara kamu kemarin berubah, aku takut.”
Pria berkulit tan itu bergerak mendekati lelakinya, mengelus pipi kiri sang kekasih dengan begitu lembut, “Aku khawatir akan kamu.” Tay berujar.
“Teta aku minta maaf, aku janji gak bakal nyusahin kamu lagi, aku janji gak bakal minta-minta sama kamu la-”
“Kalo itu aku gak setuju, kalau bukan sama minta sama aku kamu minta sama siapa? Dan aku gak pernah ngerasa kamu nyusahin aku.” Potong yang lebih tua.
“Thi, aku ini sekarang kerja ya buat kamu. Kalau bukan kamu, siapa lagi yang aku perjuangkan? Makanya dari itu aku minta sama kamu, tolong tetap sama aku.”
“Thi minta maaf.”
“Kasian banget yang kemarin nangis gak di peluk,” Pria berkulit tan itu merentangkan kedua tangannya, setelahnya ia kembali berucap, “Sini, sayang.”
Tak lagi butuh pertimbangan apapun untuk menerima pelukan hangat yang hanya ia dapatkan dari lelakinya, tawaran yang diberikan sang kekasih langsung dia terima, masuk kedalam dekapan hangat yang lebih tua.
Senyum yang muda benar-benar mengembang sempurna, tak lagi ditahan-tahan, Tay mengeratkan pelukannya pada tubuh yang muda, mengecup puncuk kepala kekasihnya berulang-ulang.
“Teta, aku gak mau kita ada jarak.” Pemuda berkulit seputih susu yang tengah menyandarkan kepalanya di dada orang terkasihnya itu berucap begitu pelan.
“Emang udah gak butuh lagi Mbul.”
“Aku sayang banget sama Tetaa” Yang muda berucap dengan suara begetar menahan tangisnya, ia mengecup kedua pipi kekasihnya lalu berbisik tepat di bagian telinga yang lebih tua, “Aku sayang banget sama kamu, Tawan.”
“Tetap sama aku ya Thi.”
Lantas saja yang muda mengangguk sebagai jawaban, “Sekarang aku benar-benar minta sama Semesta, jika ia memang mengizinkan kita bersama walau tak selamanya, hingga akhir dimana kita di hadapkan sama kematian, aku memohon supaya kamu saja yang pergi terlebih dahulu. Taa, aku tau akan ketakutan kamu di tinggalkan, jadi biarkan aku merayu semesta tentang ini.”
“Kok jadi kamu yang nangis.” Si manis teresenyum tipis sembari mengusap air mata yang membasahi pipi kekasihnya.
“Kenapa bisa kepikiran sampe kesana sih Thi?”
“Ya kalau kamu yang pergi deluan, kamu gak akan merasakan kesedihan.”
“Tapi tenang aja, sedih itu gak lama kok, aku juga gak akan pernah ngerasa kehilangan. Karena aku tau, kamu di sana sedang menunggu aku.” Thi menjawab.
Pemilik netra hitam pekat itu hanya bisa tersenyum, tak mampu menjawab apa-apa yang diucapkan lelakinya, pemikiran Thi barusan benar-benar tak pernah ada di kepala yang tua, hingga semua perasaan tak enak beberapa hari yang lalu langsung hilang entah kemana, yang Tay tau sekarang adalah ia dan Thitipoom masih tetap berjuang sama-sama, membuktikan pada semesta kalau mereka memang pantas berdua.
“Aku minta maaf ya Taa.”
“Aku juga minta maaf, Thi.”
•••
“Kamu gak jadi pulang kampung?”
Tay yang tengah menenggak minuman sodanya lantas mengangguk, “Jadi kok.” Jawabnya.
“Tapi kenapa sampe sekarang masih di sini?”
“Masih ada kamu, lagi makan pula.”
“Oh kalau gitu selesai ini aku bisa langsung pulang kok Taa, atau gak kamu pergi aja gak apa-apa ntar aku langsung pulang ke Ibu.” Pemuda berkulit seputih salju itu kelabakan sendiri dengan sepiring nasi beserta lauk-pauk yang berada di piringnya.
“Makan pelan-pelan yang, gak ada yang ngejar kamu.” Tay berucap.
Dengan mulut menggembung penuh yang muda menjawab, “Kalau aku lama kamu makin lama pulangnya.”
“Lagian ini masih malam sabtu Mbul, pelan-pelan aja makannya.” Tangan kanan pria berkulit tan itu menepuk kepala sang kekasih dengan begitu pelan, “Lagian aku juga berubah pikiran.”
“Maksud Tetaa?”
“Subuh aja deh berangkat pulangnya.”
“Kok gitu.”
Thi bangkit dari duduknya, berjalan mencuci piring kotor, membuat yang lebih tua membuntuti kemana kekasihnya pergi, “Karena aku mau sama kamu malam ini.” Tay berbisik tepat di telinga Thi.
“Thi juga mau sama Tetaa.” Yang muda menjawab dengan begitu santai.
Ia melangkah mendekati kekasihnya yang tengah bersandar di lemari pendingin, mempertemukan kedua ujung sendalnya dengan sendal yang dikenakan kekasihnya. Menatap iris hitam pekat itu dalam-dalam lengkap dengan seulas senyum paling manis yang ia punya.
“Jangan senyum centil, gembul.”
Thi tak mendengar peringatan yang diberikan yang lebih tua, “Teta mau gak janji sama aku.”
“Janji apa?”
“Jangan minta ada jarak lagi, dua kali aja Thi rasa udah cukup. Taa, pas kamu minta jarak aku benar-benar gak tau mau pulang kemana lagi kalau bukan ke-kamu.”
“Kadang jarak itu perlu lho, Cantik.”
“Tapi selalu kamu yang minta ada jarak, giliran aku gak boleh.”
“Kalau kamu minta putus, Mbul.” Balas yang tua lengkap dengan sentilan di dahi Thi ia berikan.
“Maaf ya udah buat kamu jadi takut sama aku.”
“Thi juga minta maaf banget sama Tetaa karena udah maksa-maksa.”
Keduanya saling melempar senyum, yang lebih muda semakin medekati pujaan hatinya, mengalungkan kedua tagannya di tengkuk sang kekasih, menyatukan bibirnya dengan pasangannya.
Tay lantas tersenyum manis bersamaan dengan tertutupnya kedua kelopak mata, menerima segala perlakuan Thi terhadap dirinya, tangan kanan yang tua mengelus pinggang ramping pemilik netra kelabu itu,
Deru napas keduanya memburu saat tautan bibir itu terputus, membiarkan kedua dahi yang saling bersinggungan, “Aku sayang sama Teta.” lirih yang muda.
“Aku tau dan aku juga begitu.”
Kedua tangan pria berkulit tan itu menangkup sisi-sisi wajah si manis, mengecup seluruh wajah kekasih cantiknya, “Masih mau ke pasar malam?”
“Enggak, Thi gak mau minta yang bikin kamu marah.”
“Kalau sekarang aku menawarkan, mau ya?” Balas Tay.
“Yaudah kalo maksa.”
Tay terkekeh, “Jadi, mau kan?”
“Ya kalo Teta maksa-maksa terus aku mana bisa bilang enggak.”
“Iya atau enggak?”
“Iya Taa.”
Senyum pria beriris hitam pekat itu kembali mengembang sempurna menghiasi wajah tampannya, “Kalau begitu, habis subuh kita ke rumah kamu buat ngambil baju kam-”
“Buat apa?”
“Ke pasar malam?”
Dahi yang muda berkerut bertanda ia bingung, “Ngapain ke pasar malam bawa baju?”
“Kamu gak nanya pasar malamnya dimana?”
“Emang dimana?”
“Kampung aku.”
“Kamu jangan bercanda!”
Tay mengangguk dua kali, “Aku gak bercanda,” netranya menoleh ke jam yang melingkar apik di tangan kiri, “Thi.”
“Saya.”
“Masih ada waktu kamu tidur dua jam sebelum subuh.”
“Kok dua jam ini masih jam sebelas?”
Kedua tangan pria berkulit tan itu melingkar di pinggang sang kekasih, seulas senyum paling manis ia berikan pada Thitipoom-nya, “Aku kangen.”
“Aku juga.”
“Boleh?”
•••
-Joya-