•••
“Kamu semenjak masakannya udah enak-enak semua jadi sering banget bikin ini itu,” Sebuah komentar dari pria berkulit tan itu terdengar.
“Tetaa gak suka kah?”
“Suka, makasih ya.” Tawan menjawab, menerima suapan sesendok nasi goreng sosis buatan suami tercintanya, orang yang selalu menjadi orang urutan pertama yang selalu ia cari keberadaannya.
“Jadi, Mba sama Mas tau kamu sebenernya udah wisuda tuh, kapan?” Thi bertanya, mengembalikan topik pembicaraan mereka yang sempat tertunda.
“Dua hari setelahnya, aku di sidang mas Rendra hahaha.”
“Kalau Thi boleh tau, Tetaa kenapa gak mau bilang kalau besok tuh Tetaa wisuda, kenapa Tetaa gak mau ngundang Mas sama Mba buat dateng?” Pria berkulit seputih susu itu melempar pertanyaan yang sebenarnya sudah lama ingin ia ketahui jawabnnya, “Tetaa kalau gak nyaman sama pertanyaan aku, gausah dijawab gak apa-apa.” sambungnya.
Tangan kanan pemilik netra hitam pekat itu terulur mengelus pucuk kepala lelaki berparas cantik di depannya, “Cuma mau bilang, aku sayang kamu.” Tawan berucap.
“Alasannya karena aku sedih? Aku dulu emang agak sensitif kalau ditanya-tanya soal kuliah, karena ya kamu tau kan aku kuliah orang tua ku udah gak ada.”
“Jadi, aku sendiri juga gatau kenapa aku merasa sedih banget pas aku udah ngetik pesn buat ngundang mereka, berakhir aku gak jadi bilang.”
“Aku sama mereka tuh akur, cuma kami gak sedekat itu untuk bertukar cerita, gak seleluasa itu saling bilang apa yang lagi dialami sekarang, terlalu canggung aja Mbul.”
“Aku udah terlampau biasa ngapa-ngapain sendiri, dulu. Aku udah yang nyaman apa-apa berusaha sendiri, tapi di satu sisi tuh aku juga kesepian parah.”
“Sejujurnya, dulu aku gak mau menikah hahaha.”
“Serius Tetaa?”
Pria berkulit tan itu mengangguk dua kali, “Serius, kamu bisa tanya sama Jumpol. Aku se-enggak minat itu sama pernikahan sampe aku ketemu sama orang yang bisa menjungkir-balikkan dunia aku,”
“Kalau aku bilang orangnya itu kamu, termasuk gombal atau enggak?”
Kedua telapak tangan yang muda beralih menepuk-nepuk pipi gembulnya yang terasa memanas, hingga ia bergumam sendiri, “Kamu tuh udah jadi suaminya, kenapa masih suka merah sih kalau denger dia ngomong manis, kenapasih pipi? Stop bikin Thi diketawa-in sama Tetaa.”
Tawa yang sedari tadi ditahan pun pecah begitu netranya mengamati tingkah lucu si manis, “Kenapa jadi nyalahin pipi?”
“Dia merah mulu, centil banget males.”
“Cantik, kok.”
“Thi udah tau Thi cantik, makasih pujiannya Tetaa.”
Thi meletakkan piring sisa nasi goreng sosis buatannya di atas meja, mengalungkan kedua tangannya pada leher yang tua, mengecup bibir pasangannya sebentar lalu melempar senyum pada Tay tawan.
Mereka hanya berdua, di ruang keluarga dengan televisi yang masih menyala.
“Makasih ya Tetaa, makasih udah mau jadi suami aku, udah mau jadi Daddy-nya Lolly.” Tangan kanan lelaki cantik itu turun mengelus pipi suaminya sembari ia melanjutkan ucapanya.
“Makasih kamu udah mau berbagi apa yang kamu rasain sama aku, makasih udah percaya sama Thi. Tetaa sekarang gak perlu ngerasa kamu bisa sendirian, enggak, kamu gak bisa sendirian dan gak boleh sendirian karena aku akan selalu sama kamu.”
“Thi perjelas, selama aku masih di bumi, aku akan selalu menemani kamu. Kita sama-sama terus ya, aku masih mau buat kenangan yang banyak sekali sama kamu, aku masih mau cerita dan ngadu sama kamu.”
“Makasih ya kamu udah kuat, kamu harus tau kalau aku selalu bangga sama kamu, aku selalu suka cerita sama kamu, kamu adalah karya terindah Tuhan yang selalu aku perjuangkan.”
“Sampe kayak Thi tuh berterima kasih banyak-banyak sama Semesta karena udah baik sama aku, karena Semesta begitu baik sampe mempertemukan aku sama kamu.”
“Makasih ya kamu udah sayang sama Lolly juga, makasih karena kamu bisa jaga emosi kamu banget pas di depan dia, makasih ya.”
“Jangan bikin Lolly kayak aku ya Taa.”
“Mbul.” Yang tua dengan cepat memeluk si manis begitu air matanya tak lagi dapat ia bendung.
“Jangan pernah tinggalin Lolly kayak Ayah yang ninggalin aku, Thi gak mau anaknya ngerasain apa yang aku rasain.”
“Aku tuh dulu kalau dengerin cerita temen-temen ku tentang Ayah mereka yang begini-begitu tuh cuma bisa diem, karena aku sama sekali gak ngerasain itu.”
“Aku tuh sampe yang pernah bilang ke Ibu kalau Ayah bisa memperlakuin kita begini karena Ayah tau bagaimana pun perlakuan dia, aku sama Ibu bakal tetap maafin dan selalu sayang, sampe di mana rasa sayang itu hilang dengan sendirinya.”
“Gak apa-apa, setiap orang tuh udah punya jalannya masing-masing, dan Thi sekarang udah cukup beruntung karena punya suami kayak kamu.”
“Maafin Thi kalau kita berantem suka menyamakan kamu sama Ayah, maafin ya, kamu mau gak maafin aku?”
Yang tua hanya memberikan sebuah anggukan dengan tangan yang masih terus mengelus punggung si manis, terus membekap tubuh lelakinya, terus mengecup pucuk kepala orang terkasihnya, “Makasih juga udah sabar sama aku, Thitipoom.”
“Kita berjuang terus ya, Tawan.”
“Kita berjuang sama-sama, karena kalau kamu orangnya berjuang tak lagi terasa melelahkan.”
•••
-Joya-