Kau ku sebut pulang.

•••

“Beli makanan kucing dulu.”

“Tetaa beli makanan kucing dulu di sekeliling rumah Ibu-Bapak kamu banyak kucing lucu engga kayak Kookiee.”

“Tetaa beli makanan ku-”

“Iya di beli, kita beli oke? Tapi kucing yang ini diem dulu.” Pria tan itu menoleh sekejap ke kiri, tempat di mana suami tercintanya berada.

Mendengar penuturan dari yang tua membuat bibir Thi maju lima senti, “Selalu disuruh diem Thi-nya, kalau gitu tadi aku di mobil Ibu aja.”

“Gih.”

“Ishh udah gak sayang ya sama si cantik ini? Iya Tetaa iya? Udah gak sayang sama aku iya?”

Tawan terkekeh pelan mendegar ucapan orang yang paling ia cinta, perlahan tangan kirinya mulai terulur menjangkau kepala yang muda, mengelusnya dengan rasa sayang tiada dua.

“Sayang.”

“Jadi kenapa? Kenapa nyuruh Thi diem? Kenapa bilang aku kucing?”

“Karna emang kucing.”

“Bukan.”

“Kucing.”

“Bukan.”

“Kamu kakaknya Koookie, sama-sama suka mengeong.”

“Enggak ya Tetaa, aku bukan kakaknya Kookiee karena anaknya Ibu cuma aku,” Thi menjawab. “Lagian aku juga mengeongnya sama kamu aja.” Sambungnya.

“Kamu kucing aku.”

“Aku suami kamu!” Bantah yang muda.

“Bibirnya gausah di maju-majuin begitu Mbul.”

“Kenapa emangnya? Kenapa gak boleh? Kan ini bibir aku.”

Pemilik netra hitam pekat itu kembali melirik ke kiri tanpa sadar seulas senyum tipis terukir menghiasi wajahnya, “Jadi punya hasrat buat nyoba.”

“Bilang aja mau ciuman.” Thi menjawab dan itu tepat sekali. “Bibir aku kering nih, udah lama gak ciuman deh kayaknya.” Lanjut si manis.

Tak ada balasan apa-apa dari yang tua namun lelaki itu malah menepikan mobil yang tengah ia kendarai, mulai menoleh kearah si manis dalam diam, Tawan benar-benar senyap membuat Thi mengerjap beberapa kali.

“Tetaa,” Thi memanggil.

“Kamu yang mulai.”

“Aku cuma iseng, beneran.”

“Aku enggak.”

Setelah berucap pria tan itu bergerak mendekat, ingin menghapus segala jarak yang tercipta diantara dirinya dengan sang kekasih hati, tangan kanannya mulai menjangkau tengkuk yang muda, hembusan napasnya menerpa wajah lelaki dengan tahi lalat dibagian hidung yang menggemaskan jika diperhatikan lama-lama.

Kedua kelopak mata yang tua menutup, menyembunyikan iris hitam pekatnya, membirkan debaran semakin menggila, sedikit lagi kedua bibir anak adam itu menemukan pasangannya, sayangnya.....

“Anjing.” Tawan mengumpat pelan begitu suara klakson dari mobil Jumpol terdengar.

•••

Sepasang iris kelabu berkilau itu akhirnya menjatuhkan pandangan pada sesosok pria jangkung berkulit tan yang tengah berdiri beberapa meter darinya, menatap lelaki yang sukses menghapus segala pikiran buruk tentang sebuah hubungan percintaan, lelaki yang selalu ia jadikan tumpuan untuk berpulang, lelaki yang selau siap sedia untuk tawa dan sedihnya, Tay tawan orangnya.

Tawan atau biasa ia panggil Tetaa bukanlah pria sempurna, tentu saja kata sempurna jauh untuk dirinya. Namun dari segala banyaknya penduduk bumi Thi memilih dia tanpa ragu untuk menjadi seseorang yang akan menemaninya setiap waktu.

Thi sadar jika Semesta memang sudah baik sekali pada dirinya, ia juga akan selalu berucap terima kasih setiap harinya. Seperti yang pernah ia bilang sebelumnya, Semesta tak tanggung-tanggung menghadirkan orang-orang baik di sekeliling dirinya.

Kesedihan yang ia rasakan sudah berukurang begitu banyak, impiannya tentang memiliki keluarga bahagia telah dikabulkan Semesta, Thi hanya meminta agar Semesta tak begitu cepat mengambil kebahagiannya.

Pemilik iris kelabu itu sadar kalau tak akan ada habisnya jika ia membicarakan tentang betapa beruntungnya dia dipertemukan oleh Tawan vihokratana-suami sekaligus ayah dari anak sematawayangnya.

Pria tan itu berbalik hingga tanpa disangka-sangka netra keduanya bersinggungan, saling tatap untuk waktu singkat, Thi semakin mengembangkan senyumnya. Sedangkan yang tua malah memberikan sebuah kedipan untuk lelaki tercintanya.

“Thi tolongin Ibu ambil mangkok untuk sambal kecapnya.”

Pemilik iris kelabu itu menoleh ke kiri, “Saya, Bu?”

“Tolong ambilkan mangkok di dapur Thitipoom.” Ulang ibunya.

Thi lekas-lekas beranjak dari tempatnya, melangkah masuk kedalam rumah orang tua Tawan menuju dapur,seluruh perhatiannya terfokus pada berbagai macam mangkok di depan mata hingga ia sadar jika ada tangan tanpa permisi sama sekali melingkar di perutnya.

“Tetaa.” Thi bersuara, tentu saja ia tahu pelakunya siapa.

“Sebentar aja Thi.”

“Iya, nanti malem aja oke? Thi lagi bantuin Ibu nih.”

“Ada Gun, ada Arm, masih banyak orang. Kita gini aja dulu.”

Lelaki berkulit putih bersih itu membalikkan tubuhnya, menatap wajah tampan lelaki yang paling ia cinta, mengelus rahang kokoh Tawan dengan usapan lembut, “Kalau kamu lagi mikir aku bakal pergi sama kayak mimpi kamu beberapa bulan yang lalu, ayo buang pikiran jelek itu.”

“Gimana aku bisa tenang kalau kamu beneran minta ngumpul begini, sama kayak di mimpi aku Mbul.”

Thi mengulas senyum tipis, “Aku gak kemana-mana.”

“Sama aku terus?”

“Sama Tetaa terus.”

“Cium aku kalau gitu.” Tawan meminta.

“Kita bukan lagi di rumah kita, kita enggak lagi berdua, jadi jangan minta yang macem-mecem.”

“Pertama, aku lagi sama kamu, rumahku. Kedua, kita lagi berdua.”

“Kita lagi berdua kata kamu! Kamu gak liat di depan rumah?”

“Di halaman depan, kita di dapur Mbul.”

Yang muda tak lagi menjawab, menatap pria tan itu dengan kedua mata memicing lengkap bibirnya maju beberapa senti.

“Ya Mbul ya?”

“Nanti malem aja deh, janji.”

“Kalau bisa sekarang kenapa harus nanti malam?”

“Tetaa, aku tau kamu gak suka menunda-nunda sesuatu. Tapi yang ini harus ditunda.” Thi menjawab.

“Yaudah kita di sini aja sampe kapan tau.” Tawan berucap dengan kedua tangan yang semakin mengertakan pelukannya tehadap tubuh lelaki cantik di depannya.

“Thi pukul ya kamu pake mangkok!”

“Coba aja.”

Kesepuluh jemari lentik yang muda perlahan tak lagi berada di kedua sisi yang tua, “Kamu memang suka maksa.” Setelah mengucapkan kalimatnya, si cantik menarik tengkuk suaminya tanpa aba-aba, mulai mengapus jarak yang ada diantara mereka berdua, menyatukan bibirnya dengan pasangannya.

Reaksi Tawan? Tentu aja menerimanya dengan senang hati, tangan kanannya mulai bergerak mengelus pipi yang muda sedangkan tangan kirinya semakin menarik pinggang ramping Thi agar semakin mendekat, menyesap bilah bibir manis lelaki cantiknya dengan lembut.

“THI, THITHIPOOM”

Seluruh kesadaran yang sempat mengawang itu langsung kembali, kedua tangannya cepat-cepat mendorong dada Tawan menjauh darinya.

“Thi!” Tentu saja pria tan itu melayangkan protes.

“Ibu manggil, nanti malem oke.”

Lelaki berparas cantik itu langsung meraih dua buah mangkok dan berlari keluar rumah, meninggalkan Tawan seorang diri.

•••

“Om Jum besok kita mandi air terjun lagi, ya?” Suara gadis kecil berambut sebahu itu terdengar.

“Oke anak Daddy, besok kita main air terjun pagi-pagi.” Jumpol menjawab sembari memamerkan kedua ibu jarinya pada Lolly.

Thi kembali tersenyum, ia menyukai saat-saat seperti ini, menyukai bagaimana gelak tawa tercipta tanpa ada alasan yang jelas, bagaimana orang-orang terdekatnya saling membuat kenangan bersama-sama.

Tangan kanannya yang sedang meng-elap piring itu pun perlahan terhenti ketika irisnya kembali bersinggungan pada sang suami, hingga Tawan dengan cepat memutuskan kontak mata mereka berdua, lelaki itu merajuk.

“Alice jangan banyak gerak, duduk aja di sini kata Ibu.” Suara dari Ibu Thi lagi-lagi terdengar melarang Alice agar tidak melakukan banyak kegiatan.

“Aku cuma mau liat a-”

“Ada Gun, sudah kamu duduk saja sebentar lagi kita makan sama-sama.” Ibu kembali menjawab, tak ingin dibantah sedikitpun.

“Kak Al, sini duduk di samping Thi.”

Beberapa menit setelahnya mereka benar-benar makan bersama, melempar candaan tiada henti hingga tanpa sadar hari semakin larut.

“Gue kalau udah kenyang gini emang bawaannya mau tidur.” Off jumpol berucap.

“Lu di mana-mana emang kerjaannya tidur.” Arm membalas.

“Tidurlah selagi engkau bisa.”

“Tidur selamanya, gitu?” Gun menjawab.

“Sayang! tarik ucapan kamu.”

“Daddy.” Suara dari gadis berusia delapan tahun itu terdengar membuat banyak pasang mata teralih padanya, sepasang mata sayu itu mengerjap, lalu ia menguap.

“Lolly mau tidur.”

Tawan lekas-lekas beranjak dari tempatnya, menggendong sang anak untuk masuk ke dalam rumah, hingga suara dari Ibu mertuanya terdengar “Tawan, Lolly tidur sama Ibu saja.”

•••

“Aku nyariin ternyata kamu di sini.”

Pemilik iris kelabu langsung mendaratkan bokongnya tepat di samping yang lebih tua, membiarkan angin malam menerpa wajahnya menyingkirkan poni rapi yang menutupi dahinya, netranya menatap air jernih dari kolam yang berada di depan mata, ​kepalanya menoleh ke arah lelaki yang sedari tadi diam, masih merajuk ternyata.

“Tetaa.” Si manis memanggil dengan jari telunjuk bergerak menekan-nekan begitu pelan pipi kiri Tawan.

“Sayang,”

“Tetaa, jelek banget ah ngambeknya.”

Tak ada jawaban, yang tua menggerakkan kedua kakinya yang berada di dalam kolam.

“Liat nih tangan Thi luka, kena pisau pas motong bawang.” Ucap yang muda, memamerkan jarinya yang terluka.

“Udah di obatin belum? Kenapa gak di pakein hansaplast? Kenapa gak bilang aku, Mbul?”

“Cuma luka kecil juga ntar sembuh sendiri.” Thi menjawab, “Jadi, kamu udah gak ngambek lagi sama aku?” Ia kembali bersuara membuat lelaki di sebelahnya menggeleng dua kali.

Thi tersenyum.

Senyum yang selalu Tawan nantikan menghiasi wajah cantik lelakinya, senyum yang selalu Tawan jadikan alasan dia bahagia, senyum sang Bulan, Bulannya.

“Makasih ya.”

“Makasih karena kamu udah berani, berani untuk melewati hari ini. Makasih karena kamu udah meng-iyakan ajakan aku padahal kamu sendiri sebenernya takut.”

“Makasih ya udah jadi suami sekaligus Daddy dari anak aku, makasih banyak banyak banyak banget.”

“Aku gak bisa mikir gimana kalau bukan kamu teman hidup aku, kayaknya gak ada yang sesabar kamu dalam menghadapi tingkah aku. Aku yang masih kekanak-kanakan, yang apa-apa maunya dituruti. Apa ya, kamu tuh nerima segala buruknya aku tanpa tapi, makasih Tawan.”

“Thi tuh kalau ngomongin kamu rasanya mau nangis, bukan nangis sedih gitu loh Ta, tapi nangis bahagia karena hati kamu punya aku, maksudnya aku yang begini bisa dapetin kamu.”

“Kamu yang begini gimana maksudnya?” Tawan bertanya.

“Yang banyak kurangnya. Aku tuh pernah ngerasa kalau kita tuh berbanding terbalik terus, kamu dari keluarga yang lengkap, dari keluarga yang bahagia, sedangkan Thi enggak. Kamu bisa kerja dengan usaha kamu sendiri sedangkan Thi cuma gantiin Ibu. Kamu tuh banyak lebihnya dan aku terlalu banyak kurangnya.”

“Dari sekian banyak hal yang bisa kita obrolin bareng-bareng, kenapa Thi malah fokus ke hal yang sebenernya gak perlu kamu pikirin.” Tawan berucap dengan begitu lembut sembari menyerka air mata yang membasahi kedua pipi Thi tanpa permisi.

“Kamu bilang kamu banyak kurangnya, gak cuma kamu yang banyak kurangnya Mbul, aku juga.”

“Tapi banyakan aku.”

“Kamu ingat gak apa yang aku bilang ke Ibu saat aku datang kerumah buat minta izin menikahi kamu? Aku terima apapun tentang kamu. Jadi, ayo kurangin mikir jelek, mikirin hal yang seharusnya gak kamu pikirin.”

“Masalah kerja, Thi, orang gak tau usaha kamu buat jadi kamu sekarang. Orang-orang di luar sana cuma tau kamu lulus kuliah terus dapet jabatan di perusahaan Ibu kandung kamu sendiri, tapi, mereka gak tau di belakang kamu segila apa.”

“Jadi, biarin aja. Kita gak perlu menjelaskan apa-apa.”

“Kamu bilang, keluarga aku lengkap dan bahagia. Bener, tapi enggak sepenuhnya bener. Aku gatau kenapa, mungkin karena aku anak bungsu kali ya, jadi sering banget suara aku tuh gak di dengar.”

“Aku gak bisa bebas berpendapat kalau kamu mau tau, dulu aku iri banget sama mas Rendra, karena apa yang mas Rendra bilang tuh Bapak sama Ibu langsung setuju langsung meng-iyakan.”

“Sedangkan aku? Enggak Thi, anggota keluarga ku selalu menganggap aku ini anak kecil yang belum bisa mengambil keputusan sendiri.”

“Setiap keluarga pasti ada kurangnya, yang kita liat tuh gak selamanya benar. Jadi, jangan selalu salahkan ketidaksempurnaan kamu dan keluarga kamu.”

“Aku sayang kamu, aku selalu berusaha untuk selalu mendengarkan apa yang lagi kamu sama Lolly bicarakan, karena aku gak mau kamu dan Lolly ngerasain apa yang dulu aku rasain.”

“Kita sama Mbul, kita sedang berusaha untuk membuat Lolly bahagia.”

“Kamu harus tau dan harus ingat, mau ada seratus pilihan pun aku akan terus memilih kamu, kamu tetap menjadi pemenangnya karena kamu tokoh utamanya.”

“Emang sekarang Thi masih jadi tokoh utamanya?”

Tawan dengan cepat mengangguk, “Kamu akan selalu jadi tokoh utama dalam ceritaku.” Ia menjawab, mengelus kepala yang muda dengan sayang.

“Tetaa, makasih.”

“Sama-sama, Tetap sama aku terus ya Thi, jangan pernah bosan sama aku, jangan tinggalin aku sendiri, aku takut banget kamu pergi dari aku. Aku gak bisa mikir aku harus gimana tanpa kamu, aku benar-benar sudah menggantungkan hidupku sama kamu, padahal sebenernya itu gak boleh.”

“Ini terdengar konyol tapi kalau bisa ngasih dunia ke kamu, aku akan kasih asal kamu sama aku terus, karena aku tau gak ada satupun orang yang bisa tahan sama aku selain kamu.”

“Aku sayang banget sama kamu Thitipoom.”

“Tetaa, aku dulu pernah baca buku hahaha tentu aja, lembar demi lembar dari buku itu akhirnya selesai ku baca semua, perjalanan cinta mereka juga sudah kuketahui seluruhnya, hingga tepat di halaman terakhir aku tersadar jika tak semua kisah berakhir bahagia. Thi tau gak semua bisa berakhir bahagia, tapi aku berharap banget aku bisa sama kamu terus mau kita lagi senang atau sedih, mau kita lagi mesra atau berantem, aku mau sama kamu terus dalam keadaan apapun.”

“Aku ngerasa kalau aku gak boleh minta apa-apa lagi sama Semesta karena aku udah dapetin keluarga yang aku impikan. Semesta udah terlalu baik sama aku, aku gak akan bosen bilang itu.”

“Aku tuh beruntung banget bisa dapetin kamu, orang yang dulunya aku tolak mati-matian hahahha.”

“Tetaa aku beneran kepengen banget di saat kita udah tua, rambutnya udah putih semua, Lolly udah ketemu sama pasangan hidupnya, aku kepengen kita duduk di taman belakang rumah, kita buka album foto, kita liat bahagianya aku sama kamu di foto itu, terus kita ngobrolin apa yang terjadi di belakang layar.”

“Kita kenang lagi apa yang sudah terjadi, kita ketawa, kita nangis, terus pelukan. Thi gak tau itu bisa terjadi apa enggak nantinya, tapi aku pengen aja ngerasain itu di saat kita udah berdua lagi.”

“Kita rayu Semesta.”

Lelaki berparas cantik itu mengangguk setuju.

“Aku sayang kamu, jadi kamu harus sayang aku.” Thi berujar.

Tawan tersenyum sembari mengusap kembali surai milik lelaki yang selalu jadi urutan pertama dalam hidupnya, lelaki yang selalu ingin ia bahagiakan selamanya, lantas Tawan menarik lelaki manis itu kedalam pelukan yang dirinya ciptakan.

“Aku sayang kamu.”

“Thi sayang kamu lebih dan paling banyak.” Si manis menjawab, semakin mengeratkan pelukannya.

“Mbul aku mau nangih janji kamu.”

•••

-Joya-