Kelima jemari pemilik iris kelabu berkulai itu bergerak pelan menyusuri tiap tiap bagian album berdebu yang ia temukan di laci, sudah lama tak terbuka hingga senyum merekah sempurna lantas menghiasi wajah cantiknya semakin menjadi.

Sepasang indera penglihatan sang empu tak berpaling kemana-mana, di sana, ada dia yang tertangkap kamera tengah menghambur tawa, ada dia yang tengah tersenyum dengan pasangannya, ada dia dan keluarga kecilnya yang memamerkan senyum paling indah yang mereka punya.

Thi paling suka mengoleksi lembar demi lembar foto yang selalu ia jadikan kenang-kenangan, yang akan tetap terasa hangat begitu album lama kembali terbuka lebar, akan kembali masuk kedalam waktu lampau yang pernah dilalui bersama sang tercinta.

Satu tahun, dua tahun, hingga dua belas tahun bersama Tawan adalah hal yang sebelumnya tak pernah ia bayangkan, bagaimana tawa dan tangis yang terdengar, bagaimana rayu dan marahnya yang terucap, bagaimana senang dan sedih yang dibagi berdua, semuanya diselasaikan bersama.

Pada akhirnya Tawan adalah satu satunya orang yang bertahan, orang yang mengerti, orang yang bisa ia ajak berbagi, adalah orang yang bisa membuat Thi menjadi dirinya sendiri.

Di lembar selanjutnya, ada pemilik hatinya dengan senyum mengembang sempurna dengan gadis kecil berada di rengkuhan, ada gadis kecil yang selalu menjadi syukur di tiap-tiap hari.

Kehidupan yang dulu tak berani ia impikan telah terlaksana dengan cukup sempurna, dan Thi tak berani meminta apa-apa lagi.

Cukup, sudah cukup.

Tawan dengan kasih sayang dan Lollita dengan kebahagiaan.

“Thi, kamu lupa matiin kompor ya?” Ah, suara yang tua memecah segalanya, dan yang di panggil cepat-cepat berlari mematikan kompor dengan panci diatasnya, isinya sudah ranap.

Terima kasih, sudah menjadi pelengkap hidup, panjang umur kamu.

•••

—Joyana.