•••

“Santai aja anjir, ntar lo jatoh kan gak lucu.”

Ucapan dari pria berkulit putih lengkap dengan mata sipit memikat hati itu bagai angin lalu, yang diberi peringatan malah semakin mempercepat langkahnya, tak mempedulikan lagi ketiga teman sejawatnya terus mengomel sepanjang jalan.

Gagang pintu bercat putih tulang itu sudah ia pegang erat, perlahan mendorongnya lebar-lebar dan pandangan pertama menarik seluruh pusat perhatiannya adalah pria manis dengan poni rapi menutupi dahi yang tengah berbaring dengan mata tertutup rapat menyembunyikan iris kelabu paling indah miliknya.

Derap langkah itu terasa begitu nyata ketika pintu tertutup dengan sendirinya menyisakan ia dan sang kekasih saja, deru napas tak teratur yang lebih tua semakin menggila ketika jarak ia dan lelakinya semakin dekat, Tay diam.

Dia masih diam hingga kedua kelopak mata itu terbuka—memamerkan iris kelabunya, kelima jemari putih bersih itu meraih tangan kiri kekasihnya, sebuah senyum tipis ia berikan setelahnya.

“Teta.”

Suara yang begitu ia rindukan sayup-sayup masuk kedalam indera pendengarnya, suara lirihan sang kekasih hatinya, elusan dari ibu jari Thi di punggung tangannya begitu terasa namun ia belum jua mau merespon apa-apa.

“Teta.”

Suara Thitipoom kembali terdengar.

Yang muda berusaha mengubah posisinya menjadi duduk, ia pikir Tay akan membantunya namun nyatanya tidak, pria itu masih diam di tempat dengan sepasang netra yang terus memandang lawannya dalam diam.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Tay bergerak, menarik yang muda kedalam sebuah pelukan menghapus kerinduan, ia masih bungkam dengan kesepuluh jemari bergerak secara konstan mengelus tubuh pemuda pemilik iris kelabu itu.

“Teta gak mau ngomong ya sama Thi?”

Yang ditanya masih saja menutup mulut rapat-rapat, Thi perlahan bergerak menjauh dari jangkauan kekasihnya, namun kalah cepat dengan gerakan Tay yang malah semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh si manis.

“Gak bisa napas.” Usai suara serak Thi terdengar, barulah yang tua melonggarkan pelukannya.

Kedua tangan pria berkulit tan itu perlahan menjangkau sisi-sisi wajah Thi, menatap iris kelabu itu, lagi. Bebarapa detik setelahnya sebuah kecupan di dahi ia berikan bersamaan dengan jatuhnya air mata membasahi pipi yang lebih tua.

“Kamu kenapa nangis?” Si manis kembali bersuara.

“Kenapa gak bilang?”

Kini Thi bungkam, setelah mendengar pertanyaan dari Tay tawan, jantungnya mencelos karena nada dari sang kekasih terdengar begitu datar.

“Thi.”

“Teta masih kerja, aku gak mau bikin kamu khawatir.” Thi menjawab.

“Kenapa selalu gini sih Thi? Kenapa selalu diam?”

perlahan yang muda mengelus punggung tangan lelaki tan yang masih setia berada di kedua sisi wajahnya, ia mengulas senyum tipis lalu kembali menjawab, “Emangnya kalo aku bilang kamu bakal pulang?”

“Iya.”

“Itu yang bikin aku diam. Ta, dunia kamu gak selalu tentang aku.”

“Dunia aku memang gak selalu tentang kamu tapi kamu hal terpenting yang ada di dunia aku.” Balas yang lebih tua secara lugas.

“Aku gak apa-apa Ta.”

“Gak apa-apa tapi suhu tubuhnya sepanas ini?”

“Udah mendingan kok dari yang kemarin, cuma agak pusing aja.” Jawab Thi.

“Kamu udah janji lho yang kalau ada apa-apa bilang ke aku.” Ujar pria berkulit tan dengan kedua ibu jari yang terus bergerak begitu lembut di pipi si manis.

“Iya ini kan bukan apa-apa.”

“Thi jangan ngejawab.”

Layaknya anak yang sedang di marahi Ibunya, Thi tak lagi berani menjawab ucapan Tay tawan. Ia benar-benar menurut, memberikan sebuah anggukan patuh dengan mulut tertutup rapat-rapat.

“Jangan bikin aku gak bisa marah.” Tay berucap.

Thi masih bungkam, mengulang kembali gerakan seperti tadi, mengangguk dua kali.

Mirip anak kucing pacar gue.

“Aku mau marahin kamu, jadi, tolong berhenti bertingkah lucu.” Yang tua kembali berucap.

“Ta kok aku salah mulu? Padahal aku diem aja, udah nurut apa kata kamu juga.”

Tay menghela napas panjang, kembali menatap sang pemilik iris kelabu yang menjadi candu, dengan ini ia menyatakan kalah pada pesona kekasih hatinya, maka dari itu beberapa kecupan ia berikan di wajah Thitipoom-nya.

“Aku takut banget kamu kenapa-napa.” Tay berujar pelan.

“Aku gak apa-apa, Teta.”

“Aku benci banget setiap kata gak apa-apa keluar dari mulut kamu.”

•••

“Pulang lo!”

Tay melirik sinis wanita berparas ayu yang berada di samping brankar, tak mempedulikan ucapan kakak perempuannya ia semakin mengeratkan pelukannya pada sang kekasih, sejak setengah jam yang lalu pria berkulit tan itu memang tak mau jauh dari Thitipoom-nya, Tay bahkan tanpa disuruh sudah berbaring bersama si manis di ranjang rumah sakit.

“Mas Rendra liat nih adek lo.” Adu wanita bernama Muk pada kakak tertuanya yang tengah duduk santai memakan sebuah apel di sofa sudut ruangan bersama sang istri.

“Tay pulang dulu gih.” Rendra berujar.

“Aku di sini aja Mas, gak ada yang jagain Thi. Ibunya baru aja aku suruh pulang buat istirahat di rumah.”

“Lo tuh gue suruh pulang buat bersih-bersih Tawan.” Muk kembali bersuara.

“Gue gak kotor, ngapain bersih-bersih? Lo kalo mau nyari ribut ntaran aja deh Mba, pacar gue mau tidur nih. Iyakan Mbul?” Pria berkulit tan itu mengalihkan perhatiannya dari sang kakak, menatap Thi dengan seulas senyum tipis.

“Ta, aku gak bisa napas kalo gini caranya.”

“Wan jangan lebay deh.”

“Lebay apaan sih? Lo emang beneran nyari ribut sama gue, Mba?”

“Ya elu ngapain coba sampe segitunya? Pacar lo cuma demam Tay.”

Tay beranjak dari posisinya, menatap kakak perempuannya dengan tatapan sulit diartikan, “Lo ngatain gue lebay karna lo gak ngerasain di posisi gue saat Ibu bilang beliau gak apa-apa padahal beliau mau pergi.”

“Lo gak ngerasin Mba, lo gak ngerasain ada di posisi gue malam itu.”

“Kalau semesta ngambil Thi juga, gue harus pulang ke-siapa?”

Keadaan kamar mendadak mencekam terlebih semuanya bungkam setelah Tay tawan selesai berucap bersamaan dengan bangkitnya ia dari ranjang rumah sakit.

“Kalian kok malah bertengkar sih dek, Tay kamu pulang dulu gih bersih-bersih ntar ke sini lagi.” Rendra ambil suara.

“Iya Wan pulang dulu gih, New ada kita-kita yang jaga.”

•••

-Joya-