•••

Bibir merah muda sang empu maju lima senti lengkap ekspresi cemberut yang ia tampilkan dengan sepasang iris kelabu berkilau tak lepas menatap sang kekasih, hingga sebuah kekehan dari Tay tawan membuatnya kembali merengek kesal.

“Jahat banget sih.” Thi berucap, lagi. Entah sudah hitungan berapa ia mengulang kalimat itu untuk yang tua karena baru sadar jika Tay tawan benar-benar cukup niat mengerjai dirinya.

“Tapi, suka gak?” Tay ambil suara.

Rasa kesal itu jelas masih tersisa walau hanya sedikit, namun ia juga tak bisa menampik jika apa yang telah dipersiapkan Tay memang di luar ekspektasinya, bagaimana Thi bisa mengira jika yang tua memang berniat membuatnya galau berhari-hari karena ia ingin mengajak si manis untuk pergi berlibur berdua, ke Bali pula.

“Gak suka ya Thi?”

“Mbul! Bilang Mbul.” Thi masih juga kesal masalah Tay yang enggan menyebutkan panggilan kesayangannya itu.

Gelak tawa yang tua terdengar, tak lagi bisa menahan kekehannya melihat bagaimana ekspresi dari pemuda itu perlihatkan padanya, Thi benar-benar lucu itu adalah sebuah fakta yang tak akan pernah berubah.

Kedua anak adam yang tengah berdiri berhadapan di dalam sebuah vila dengan netra tak lepas memandangi satu sama lain hingga akhirnya yang lebih tua maju selangkah, menarik si manis untuk masuk ke dalam sebuah pelukan hangat yang ia tawarkan secara percuma hanya untuk kekasih hatinya.

“Kamu mikir apasih sampe nangis-nangis segala?” Pria tan itu melempar pertanyaan dengan nada super lembut.

Thi menengadah keatas, mengamati rahang kokoh sang kekasih dari bawah, memandangi bagaimana jakunnya bergerak naik turun, dan sialnya Thi sudah jatuh cinta lagi pada pria yang tengah bersamanya ini.

“Aku pikir kamu mau ngajak putus tau!”

“Ngaco.”

“Abisnya Teta jadi cuek banget, kalo ngomong mukanya datar aja, gak mau balas pelukan Thi, terus kalo Thi ajakin ngobrol kamu alesannya capek dan langsung tidur.”

Tangan pria berkulit tan itu perlahan bergerak memegang kedua sisi wajah yang muda dengan ibu jari tak henti mengelus pipi sang kekasih, “Maaf ya.” Ia berucap setelahnya.

“Jangan kayak gitu lagi, aku gak bisa mikir gimana aku kalo kamu memang minta pisah.” Thi membalas.

“Kata pisah gak bakal pernah keluar dari mulut aku, itu mutlak Mbul.”

Pemilik iris kelabu berkilau itu perlahan melepaskan pelukannya, melangkah keluar dalam diam, mengamati pemandangan indah di depan mata hingga tanpa di paksa-paksa seulas senyum manis terukir begitu indah menghiasi wajahnya.

“Bagus banget ya.” Ia berujar.

Yang tua menyusul, duduk di samping Thi sembari mengangguk dua kali-membernarkan apa yang pemuda itu ucapkan, tempat ini benar-benar indah dipandang mata lama-lama.

“Tetaa tau tempat ini dari mana?”

“Apasih yang aku gak tau?”

Yang muda langsung menoleh ke samping memberikan tatapan mencibir, “Songong banget ih.” Thi berucap dan gelak tawa Tay terdengar setelahnya.

“Kamu suka?” Tay kembali bertanya.

“Kenapa Tetaa suka sekali menanyakan hal yang kamu sendiri udah tau jawabannya apa.”

“Memastikan aja kalau kamu benar-benar suka jadi rasa senang aku bertambah.” Tay membalas.

“Thi suka, terlebih suka sekali sama orang yang ngajak aku kesini. Tapi bukan suka lagi sih, jatohnya malah ke sayang banget hahaha.” Ia berucap dengan kekehannya, “Makasih ya, Tawan.”

“Gausah pake Tawan Tawan segala, gak suka.”

“Tapi kalau di ranjang kamu gak pernah protes?”

“Itu beda cerita yang.”

Thi hanya menggeleng pelan, bergerak mendekati yang tua hingga jarak diantara mereka tak lagi tersisa, pelahan namun pasti ia menyenderkan kepalanya di dada sang kekasih dan Tay tak punya alasan jelas untuk menolak karena sejujurnya ia menyukainya.

Keduanya diam untuk beberapa saat dengan pandangan lurus kedepan, membiarkan jika sebentar lagi matahari akan pamit undur diri, mengamati daun-daun melambai diterpa angin sepoy-sepoy sore hari, mendengarkan aliran air mengalir yang menenangkan hati bersama orang paling berarti.

“Oh iya Taa, aku baru sadar ini cuma kita berdua aja nih di sini?” Yang muda bertanya membuat Tay mengangguk sebagai jawaban.

“Kenapa memangnya?”

“Gak apa-apa, takut aja di macam-macamin sama kamu.”

“Padahal niatnya emang mau macam-macam.” Tay menjawab dengan begitu santai.

Kedua mata yang muda membelalak menatap kekasihnya, “Nih orang tua pikirannya aneh-aneh mulu.”

“Kamu gak mau jadi kucing lagi?”

“Aku bukan Kookiee!” Thi membantah dengan semu kemerah-merahan menghiasi kedua pipinya karena mengerti kearah mana Tay berucap.

“Merah banget tuh.” Yang tua menoel-noel pipi kiri si manis.

“Tetaa udah ah gausah bikin aku salting mulu.”

“Cocoknya aku bawa Kookiee juga ya.”

Bantahan dari pemuda berkulit seputih salju itu langsung terdengar, menolak habis-habiskan ucapan Tay tentang niatnya untuk membawa kucing milik sang Ibu, “Enak aja! Aku gak mau ya berbagi kamu sama dia. Kookiee tuh tau banget mana yang ganteng langsung minta pangku, ngeselin banget deh dia pokoknya.” Si manis mengomel.

“Bisa-bisanya kamu cemburu sama adek sendiri.”

“Aku memang sangat posesif terhadap apa yang aku punya, terlebih itu kamu.”

“Buset di gombalin bocil.” Tay berucap sembari terkekeh hingga pemuda manis berponi rapi menutupi dahi itu cemberut kesal.

“Kamu gak mau makan Mbul? Gak laper?”

Thi menggeleng pelan.

“Tetaa tau gak kalo kemarin ada orang yang bilang gini sama aku.” Thi menggantungkan ucapannya dengan iris kelabu yang tak lepas dari pasangannya.

“Jadi aku kan sorenya beli mie ayam, pas nunggu kembalian ada bapak-bapak yang negur aku, aku gak tau beliau siapa cuma begitu ngeliat aku bapaknya langsung bilang Ini Newwiee ya? terus ya aku bilang iya tapi aku gak nanya beliau tuh tau aku dari siapa karena aku males aja.”

“Terus bapaknya bilang Udah besar banget ya sekarang, kamu kurusan pula aku lagi-lagi cuma diem sambil senyum aja terus bapaknya ngomong lagi begini, Iya jaman sekarang kalo badan kita tuh gak bagus memang susah nyari apa-apa, terutama pasangan, iya kan aku udah kesel cuma aku masih diem Taa.”

“Karena aku tuh udah kepalang kesel sebelum pergi aku-”

“Kamu gak yang aneh-aneh kan Mbul?” Tay memotong dengan tatapan cemas yang begitu ketara.

“Ya makanya jangan motong ucapan aku dulu dong Tetaa.”

“Iya lanjut-lanjut.”

“Aku jawab gini, Jaman sekarang tuh mudah kok Pak nyari pasangan terlebih yang pemikirannya gak kayak bapak, terus aku pergi.”

“Emang aku segemuk itu ya Taa?”

“Nah kan, mulai mikir apa yang gak harus dipikirin,” Tay berujar sembari menyentil dahi si manis, “Mendiang Ibu selalu bilang kalau manusia memang punya otak dan akal, tapi gak semua manusia bisa menggunakannya dengan baik. Jadi simpelnya ya biarin aja dia mau ngomong apa.”

“Tapi aku emang gemuk banget kah?”

“Memangnya kenapa kalau jawabannya iya? Kenapa juga kalau jawaban aku enggak? Emang rasa sayang aku itu di ukur dari berat badan kamu? Thi jangan mikirin hal-hal yang pantas buat dipikirin.”

“Karena kalau aku, asal itu manusia namanya Newwiee thitipoom techaapaikhun mau gimana pun dia, gak pernah ada alasan buat aku untuk berhenti sayang.”

•••

Tepat di pukul delapan malam rintik hujan mulai membasahi bumi secara perlahan, membuat kedua anak manusia itu mau tak mau masuk kedalam, berbaring di atas ranjang sambil berpelukan hingga suara protesan yang muda kembali terdengar menyuruh Tay untuk berhenti menciumi seluruh wajahnya tanpa terkecuali.

“Tetaa muka aku basah semua karna kamu!” Ia kembali menggerutu namun yang tua tak kunjung mengehentikan kegiatannya.

“Mbul mau ngomong serius sebentar, boleh?” Suara Tay terdengar, diperparah dengan ekpresi seriusnya yang membuat Thi menjadi tak karuan.

“Jangan nakutin gitu Ta, kalau mau ngomong ya ngomong aja.”

“Duduk dulu.”

Si manis menurut.

Sepasang netra hitam pekat itu mulai menatap pasangannya, “Aku sebenernya udah punya anak.”

Air muka yang muda berubah sendu, “Sama siapa?” Ia bertanya.

“Sama kamu, kalau kamu mau.”

Thi terdiam, masih tak mengerti apa yang tengah dibahas oleh Tay tawan, “Aku mau cerita dari awal tapi kamu janji jangan marah.” Suara yang tua lagi-lagi terdengar.

“Kalau begini berarti aku bakal marah.” Thi bergumam.

“Bener, aku yakin kamu bakal marah. Tapi jangan marah ya Cantik.”

“Coba cerita dulu.”

“Janji dulu jangan marah.”

“Cerita aja dulu.”

“Mbul janji dulu sama aku.”

Yang muda menghela napas super panjang, ia mengalah.

“Jadi beberapa bulan kebelakang aku enggak sengaja, enggak sengaja loh ya. Aku gak sengaja nyerempet Ibu-Ibu.” Tay menghentikan ucapannya begitu ia melihat ekspresi Thi mulai berubah, “Thi udah janji gak bakal marah.” Ia kembali menekankan.

“Lanjut.”

Yang tua mengangguk dua kali, “Walaupun cuma luka ringan aku harus tetap tanggung jawab kan, singkatnya aku anter Ibunya pulang ternyata Ibu ini tuh punya rumah bahagia, aku jadi sering ke sana untuk ngeliat kalau keadaan si Ibu udah baik atau belum.”

“Sampai hari di mana pandangan aku tertuju sama gadis kecil yang cuma mau main sama bonekanya, entah gimana alur yang semesta buat aku nyamperin anak itu, awalnya dia nolak mentah-mentah.”

“Tapi aku ngerasa kayak ada dorongan yang bikin aku mau dekat sama dia, sampai di mana dia bener-bener mau terbuka sama aku, mau main sama aku, dan aku rasanya bahagia banget.”

“Rasanya kayak pas kamu meng-iyakan ajakan aku untuk pergi jalan berdua untuk pertama kali, dan akhirnya aku memutuskan buat jadi walinya dia.”

“Tapi aku juga mau tau pendapat kamu dulu, aku gak mau maksa kamu kalau nyatanya kamu gak mau. Kalau senadainya kamu memang gak mau ada dia diantara kita berdua, gak apa-apa, tapi biarin aku tetap jadi walinya.”

“Kok nangis Mbul?”

“Kenapa kamu mikir aku gak mau?”

“Jadi, kamu mau?”

Sebuah anggukan pelan terlihat, hingga senyum yang tua tak lagi dapat ditahannya, “Tapi Thi mau kenalan dulu sama anaknya.” si manis berujar.

“Pasti, aku juga gak mau kita terlalu terburu-buru. Santai aja tapi pasti.”

“Makasih ya Thi.” Sambung yang tua.

“Kok jadi Tetaa yang nangis.”

Tay hanya terkekeh membiarkan ibu jari pemuda berponi rapi itu menyerka air matanya, “Aku masih punya satu hal yang mau aku omongin sama kamu.”

“Thi, seperti ucapanku sebelum-sebelumnya kalau aku gak bisa menjanjikan masa depan yang isinya bahagia aja untuk kamu, tapi aku mau berjuang tentang itu, aku mau berjuang tentang kamu.”

“Aku sayang sama kamu, dan akan selalu sayang sama kamu. Aku juga gak pernah bisa mikir bagaimana kalau aku gak sama kamu, aku juga gak pernah bisa membayangkan kalau aku gak pulang ke kamu.”

“Lagi dan lagi jatuh cinta sama kamu adalah hal yang paling menyenangkan untuk diulang setiap harinya.”

“Thi, izinin aku lagi buat memperjuangkan kamu.”

“Kita berjuang bareng-bareng, Ta.” Thi menjawab.

Pemilik netra hitam pekat itu mengembus napas panjang, kembali mempertemukan netra keduanya, “Mau ya beriringan sampai tua sama aku?”

“Cincinnya belum jadi, makanya aku di hajar habis-habisan sama tiga curut karena punya niat segila ini, tapi Thi, sebelum aku datang ke Ibu begitu kita pulang dari Bali, aku mau tau jawaban kamu malam ini.”

“Mau kah kamu menyandang nama Vihokratana?”

“Tetaa...” Pemilik iris kelabu itu benar-benar sudah kehilangan habis kata-katanya untuk membalas ucapan-ucapan yang dilontarkan Tay tawan, hingga tangisnya pecah bersamaan dengan sebuah anggukan kepala ia berikan.

Lengkungan indah itu hadir menghiasi wajah yang tua begitu ia tau jika Thi menyetujui semua ucapan yang ia katakan, hingga tubuhnya mematung di tempat tak kala yang muda menyatukan kedua bibir mereka, memagutnya dengan perasaan bahagia tiada dua, membiarkan ribuan kupu-kupu bertebaran, melupakan jika di luar tengah hujan deras, menghiraukan kesepuluh jemari dingin Tay tawan mengelus tengkuknya dengan begitu lembut.

“Aku gak pernah punya alasan buat nolak kamu, Tawan.”

•••

-Joya-