[London]

•••

London, November 2021

Di tengah dinginnya kota London, sepasang boots yang melekat di kedua kaki menyusuri jalanan kota di malam hari, sang langit nampak semakin gelap, pun dengan matahari yang telah lama meninggalkannya sendiri, namun rasa kantuk belum jua datang mehampiri lelaki ini.

Netranya menyapu kesepenjuru tempat yang bisa ia jangkau, cahaya menyala dari gedung-gedung bertingkat menjulang keatas, layar-layar LED, dan berbagai icon-icon yang terkenal di sini, salah satunya adalah menara Big ben.

Kedua tangan pemuda itu sesekali membenarkan letak syal yang melingkar apik menutupi leher jenjangnya, hari ini, tepat sebulan sudah ia menginjakkan kakinya di tanah United kingdom.

Pemuda itu terus berjalan hingga akhirnya memutuskan untuk berhenti sebentar sembari menyesap kopi hangatnya yang berada di genggaman tangan kanan, netranya mengamati sebuah jembatan yang membentang di atas sungai Thames di London, Inggris raya. Tidak lain dan tidak bukan adalah Tower Bridge.

Berbicara tentang Negara maju di kawasan benua Eropa ini, ada cerita di baliknya, cerita mengapa seorang Newwiee thitipoom akhirnya memutuskan Ibu kota dari negara Inggris menjadi sebuah tempat pelarian atas luka menganga di hatinya.

Cerita lama yang masih begitu membekas di kepala, tak akan pernah bisa hilang karena ucapan mereka masih terekam begitu jelas di ingatan, lelaki dengan coat cokelat tua menyembunyikan tubuh rampingnya itu menghela napas pelan, pada akhirnya ucapan mereka semua benar, kalau ia memang tak pantas untuk bahagia, tak pantas untuk punya teman selamanya.

Sembilan tahun silam.

Seharusnya, di pengujung masa-masa akan berakhirnya sekolah menengah pertama ya identik dengan para murid yang semakin rajin, semakin kompak, dan saling menciptakan kenangan-kenangan manis jika di ingat akan membuat tersenyum hangat.

Namun memang semesta banyak bercandanya dengan New, hampir tiga tahun berada di Smp itu, yang ia rasakan hanyalah tatapan sinis, cibiran, bahkan tak jarang hal-hal yang tak mengenakkan terjadi padanya. New sudah begitu kebal dengan segala macam umpatan yang teman kelasnya berikan. Yang ia inginkan sekarang hanyalah lulus dengan nilai memuaskan agar dia tak perlu susah-susah melanjutkan jenjang sekolahnya.

Tepat di hari rabu usai jam istirahat, ia melangkahkan kakinya menuju kelas sendirian, selalu sendirian karena memang ia tak punya teman, New sudah terlampau biasa sendiri, sudah terlanjur nyaman atas kesepiannya.

Keningnya mengernyit tak kala iris kelabunya menangkap pintu kelas tertutup rapat, pemuda berponi rapi menutupi dahi awalnya hanya menaikkan kedua bahunya, berpikiran jika memang sengaja di tutup setelah mendapat kabar jika rapat antar guru-guru berlangsung hingga berakhirnya sesi belajar-mengajar.

Dengan perlahan ia memutar knop pintu kayu yang berada di depannya itu, namun siapa yang menyangka begitu pintu terbuka guyuran air langsung membasahinya. Gelak tawa langsung terdengar di telinga.

“Aduh jadi basah deh anak Ayah, eh tapi Ayahnya aja kabur yak.”

“Angel jangan gitu lo, Ayahnya dia bukan kabur, emang gak punya ups.”

Yang bisa di lakukannya hanyalah diam, menahan air mata yang sudah tergenang di pelupuknya dengan sekuat tenaga, langkah seorang siswa seusianya membuat perhatian seluruh teman kelas terutuju pada ia dan lelaki itu.

“Lo tuh banyak kurangnya, gak punya kelebihan. Lebihnya cuma bisa ngayal.”

“Tau New, lo tuh gak pantes bersanding sama siapa aja.”

“Ini poster yang ada di loker lo kan,” Sambung teman kelasnya yang lain, memamerkan sebuah poster negara yang memang ingin sekali ia kunjungi, “Lo gak bakal pernah bisa kesini, jadi jangan kebanyakan mimpi.” setelah ucapannya selesai poster yang siswa itu pegang pun dengan perlahan ia robek, tepat di depan New.

“Ingat, lo tuh gak pernah pantes buat bahagia. Dasar anak gak jelas.”

London, November 2020

Sebuah helaan napas panjang terdengar, karena sampai sekarang tanda tanya besar masih berada di kepala mengenai kenapa teman-teman kelas begitu membencinya. Namun balik lagi ada beberapa hal memang tak butuh alasan.

Sejak kejadian itu, ucapan mereka selalu bisa membuat rasa percaya dirinya terkadang hilang, sejak itu New merasa memang dia tak pantas merasakan bahagia dalam jangka yang panjang.

Kalau boleh jujur, seorang Newwiee yang di besarkan oleh seorang Ibu paling hebat yang ada di bumi memang tak pernah tau dimana sang Ayah, bahkan ia sudah lupa bagaimana rupa lelaki itu, yang ia ingat malam dimana adiknya lahir, sang Ayah pergi tanpa perpisahan.

Dan New sendiri juga enggan bertanya kenapa pada Ibu-nya.

Balik lagi mengapa ia memutuskan untuk kesini karena London adalah gambar yang ada di poster itu, karena London yang ingin ia tuju, London dengan segala isinya.

•••

Setengah jam setelah ia sampai di apartemen, rinai hujan perlahan turun membasahi bumi, lama-lama rintikan itu menjadi deras, mengguyur kota London dini hari. Pemilik iris kelabu itu termenung menatap keluar jendela, memeluk tubuhnya sendiri, selanjutnya rasa sepi menyesakkan hati mulai menghampiri.

Bohong kalau di bilang ia baik-baik saja, bohong kalau di bilang ia sudah bisa melupakan pria berkulit tan itu, bohong kalau ia tidak rindu. Karena nyatanya London tak semenarik yang ia bayangkan, ia tetap merasa sunyi di keramaian, ia tetap merasa kurang di setiap harinya, ia ingin lelakinya disini.

Air mata di pelupuk tak dapat ia tahan, mengalir membasahi pipi tanpa permisi sama sekali, kenangan manis bersama mataharinya itu langsung berputar bak kaset rusak di kepala.

Senyum, tawa, bahagia, yang tak lagi bisa ia rasakan.

Lama-lama bakalan lupa. kalimat itu selalu ia ucapkan di setiap malamnya.

Karena mau bagaimanapun ceritanya, melupakan seorang Tay tawan adalah sebuah keharusan.

•••

-Joya-