•••

“Kak Thi ntar main kerumah aku ya, ya, ya.” Pinta seorang gadis kecil berambut panjang tergerai indah yang tengah menarik-narik tangan kanan Thitipoom agar pemuda itu meng-iyakan ucapannya.

“Gak boleh! Kak Thi harus kerumah Arzetha juga!”

“Zetha kamu main sama bang Abyan aja dong, kan kamu punya abang.”

“Lah kamu sendiri juga punya abang, Keyshi!”

Thitipoom terkekeh pelan mendengarnya, lantas ia berjongkok-mensejajarkan dirinya dengan tinggi keponakan-keponakan sang kekasih, lalu berujar, “Jangan berantem dong, nanti kita main sama-sama, oke?”

Dengan mudahnya dua anak manusia yang sebelumnya bertengkar itu mengangguk bersamaan, melempar senyum manis setelahnya, “Kak Thi janji ya, kalau entar Om Tay kerumah Eyang kak Thi harus ikut ya?” Gadis bernama Keyshi itu kembali berucap namun belum sempat Thitipoom menjawab pria berkulit tan yang tengah duduk santai di atas sofa ruang keluarga itu menjawab, “Iya ntar Om bawa kak Thi, udah malam besok harus sekolah, ayo pulang kerumah masing-masing.”

“Kami berempat gak bakal pulang kalau amplop seperti biasa belum ditangan.”

Tay menghela napas pasrah, lalu berbisik pada kakak perempuannya, “Keponakan gue semuanya mata duitan.”

“Mereka tau sih Om-nya kaya raya, tanggungan lo juga ​belom ada.”

•••

Pemilik netra hitam pekat itu tak melepaskan pandangannya barang sekejap pada pemuda berkulit putih bersig yang tengah memakan es-krimnya dengan begitu santai di meja makan, selepas kepergian keluarga Tay beberapa menit yang lalu dua anak Adam ini benar-benar bungkam.

“Mau lagi es-krimnya?” Tay bertanya, menghapus kesunyian yang sempat tercipta.

“Lho emang bisa ngambil es-krim di kulkas? Orang tadi siang aja kamu makan disuapin mantanmu.”

“Thi.”

“Udah kamu tidur aja gih, aku habis makan es-krim mau pulang.”

“Gak boleh.” Larang yang lebih tua lengkap dengan gelengan kepalanya.

Salah satu alis pemuda berkulit putih bersih itu terangkat, “Kenapa gak boleh?” Ia bertanya.

“Kamu nginap di sini.”

“Kalau aku gak mau gimana?”

“Yaudah aku antar kamu pulang, ya?”

“Ini nih Teta, terlalu baik sama siapa aja. Itu salah satu kelebihan dan kekurangan kamu.” Thitipoom berujar.

“Boleh aku jelasin dari awal?”

“Boleh.”

“Thi mau di kamar aja kah?” Yang lebih tua kembali bertanya, nadanya masih sama, amat-sangat lembut masuk ke indra pendengaran.

“Enggak, kamu kalu habis berantem pasti ujungnya tidak lain dan tidak bukan, jelasin di sini aja.”

Tay terkekeh pelan mendengar jawaban kekasih hatinya, lantas bangkit dari tempat lalu berjalan mendekati pemuda itu, ia mendaratkan bokongnya di kursi sebelah Thitipoom.

“Singkatnya, tadi tuh awalnya yang mau nyuapin aku si Alice, tapi Namiee langsung ngambil alih, tiga curut langsung ngeliatin aku tapi mau gimana Thi aku beneran gak enak kalo ngelarang dia, aku gak mau dia malu di depan banyak orang.”

“Cuma tiga suap, sayang. Terus aku minta piringnya sama Namiee kalo aku bisa sendiri setelah aku perhatiin kalau aku dan Namiee bukan lagi jadi bahan tontonan, aku langsung bilang ke dia kalo aku bisa sendiri.”

“Cuma semalam aja Tetaa, aku cuma semalam sama Singto setelah itu pulang. Marah gak?” Thitipoom bertanya.

“Maaf.”

“Kamu selalu bilang maaf dan besok kamu ulangin semuanya, semuanya Teta. Kamu tau banget aku bukan orang yang gampang bener-bener cemburu, tapi dia pengecualian.”

“Aku bener-bener gak suka, gak suka perhatian kamu diambil sama dia.”

“Sama kayak Teta yang gak suka sama Singto, begitu juga aku yang gak suka sama mantanmu.”

“Kalau kamu sadar, selepas Teta bilang kalau Tetaa gak suka sama Singto, Teta cuma bilang gak suka, gak ada maksud buat ngelarang, tapi aku langsung ngejauh dari Singto. Karena apa? Karena aku tau Teta suka gak percaya diri kalau berhubungan dengan lelaki itu.”

“Tapi, cemburunya aku kamu anggap sepele banget ya.”

“Udah?”

“Teta tuh sebenarnya belum move-on ya sama Namtan?” untuk pertama kali nama seseorang yang tak pernah ia sebut terucap dari mulutnya, pemuda itu menghela napas cukup panjang menatap kekasih hatinya.

“Kalau aku belum melupakan dia, gak mungkin aku macarin kamu.”

“Bisa aja, kenapa gak mungkin? Aku pernah dengar beberapa pendapat temen kuliahku kalau beberapa orang memang butuh orang lain untuk melupakan orang sebelumnya gak menutup kemungkinan kalo Teta salah satu dari orang itu.”

“Mau banget mulut mu itu aku cium biar diem.”

“Coba aja kalau mau bibir kamu besok bengkak karena aku pukul pake gelas ini.” tandas yang muda sembari menggenggam sebuah gelas kaca berisi air putih.

“Thi masih mau marahin aku kah?”

“Masih, biar kamu gak sepele sama cemburunya aku.”

“Aku minta maaf Cantik, maaf udah sepele sama cemburunya kamu, maaf karena bikin Thi jadi cemburu, maaf.”

“Aku maafin, tapi ancaman tadi sore masih berlaku.”

“Iya Mbul.” Tay menjawab patuh.

“Jangan iya-iya aja Teta!”

“Iya ini yang terakhir bikin kamu cemburu sama mantanku, ini terakhir kali aku meng-iyakan apa-apa yang dibilang sama Namiee.”

“Kalau ingkar?” Pemuda berkulit putih itu bertanya dengan kedua tangan berada di depan dada, menunggu kekasihnya itu menjawab.

“Gak bakal nolak kalau kita ada jarak.”

Gelengan yang lebih muda terlihat, “Bukan ada jarak Teta, tapi kita usai.”

Tanpa sadar seulas senyum manis terukir menghiasi wajah tampan yang lebih tua, lantas ia mengangguk setuju dan menarik lelakinya kedalam sebuah pelukan paling nyaman yang ia punya, yang hanya ia berikan pada Thitipoom seorang.

“Aku gak suka kamu deket-deket sama dia.”

“Iya Mbul, gak akan deket-deket lagi.”

Pemilik iris kelabu berkilau itu menengadah-mengamati wajah tampan kekasihnya dari bawah, sebuah lengkungan indah perlahan-lahan hadir, manis sekali.

“Mulai senyum centilnya.”

“Sialan banget, gak bisa aku ngambek lama-lama sama kamu, Tetaa.”

Keduanya tertawa, mendadak melupakan segala pertikaian yang baru saja terjadi, si manis sudah asik kembali pada semangkok es-krim di meja, sedangkan yang lebih tua memutuskan untuk mengamati segala gerak-gerik lelaki tercintanya.

“Teta coba deketan deh, mataku kayaknya kelilipan.”

Tay langsung menurut, mengikis jarak diantara keduanya, mengamati iris kelabu sebelah kiri kekasihnya dengan seksama, namun sebuah kecup mesra di bibir diberikan oleh yang lebih muda, untuk Tawan-nya.

“Jangan nakal Mbul.” peringtan dari yang lebih tua membuat si manis mengangguk patuh, lantas melanjutkan kegiatan menyantap es-krimnya.

“Teta gak mau cium aku?”

Tay menaikkan salah satu alisnya lengkap dengan seringaian bibir yang terukir, “Kamu lagi pengen ya?”

Lelaki manis itu hanya mengulas senyum manis sebagai jawaban atas pertanyaan yang diberikan oleh Tay tawan. Ia beranjak dari tempatnya, beralih duduk di atas pangkuan kekasihnya.

“Kamu ganteng banget, tapi suka bikin aku ngambek.”

“Thi lagi mau ya?”

“Kalau iya emang kamu mau apa?” Thitipoom bertanya bersamaan dengan jemari telunjuknya yang bermain-main di wajah yang lebih tua.

“Kamu mau-nya aku gim-”

Ucapan Tay tak selesai karena seseorang yang tengah berada di pangkuannya mulai menyatukan kedua bibir mereka. Tay tersenyum di sela cumbuannya, terlihat jelas jika yang lebih tua sedang berupaya mendominasi dirinya.

Pagutan keduanya terlepas, deru napas saling berkejar-kejaran bersamaan dengan terbukanya kelopak mereka dengan bersamaan, sepasang netra itu saling menemukan pemiliknya, jatuh dalam tatap.

Kekehan renyah si manis terdengar ketika Tay mulai mengangkat tubuhnya, mendudukkannya di atas meja makan, sebuah geraman tertahan langsung terdengar di telinga tak kala tangan kanan begitu nakal milik Thitipoom mulai mengusap bagian paling privasi yang lelakinya miliki.

“Kamu nakal.”

Usai dua kata itu terucap, Tay kembali memagut kekasihnya, dan Thitipoom dengan senang hati menerima segala perlakuan matahari-nya. Hingga pagutan itu terlepas Tay telihat jelas tak ingin jauh dari Thitipoom, hingga sebuah dorongan dari si manis membuat kedua alis yang lebih tua terangkat sempurna.

“Aku mau pulang.”

“Are you fuckin kidding me, Thitipoom?”

Pemuda bernama Thitipoom itu menggeleng pelan bersamaan dengan beranjaknya ia dari tempatnya, berdiri tepat di depan sang kekasih hati, membenarkan pakaiannya agar kembali rapi, “Apa aku keliatan bercanda Teta? Aku beneran mau pulang.”

“Tapi aku udah-”

Perlahan tangan milik yang muda mengelus pipi kiri Tay dengan begitu lembut lalu menepuknya dua kali dengan perlahan, “Kamu udah gede Tetaa, punya dua tangan pula, mandiri dong.” Potong Thitipoom lalu berjalan menuju pintu utaman dari apartemen milik kekasihnya.

Sebelum benar-benar pergi ia kembali bersuara lengkap dengan sebuah senyum paling manis yang ia tampilkan untuk mataharinya itu, “Makanya lain kali Teta jangan bikin aku kesel, selamat malam, Ganteng.”

•••

-Joya-