—Marah lagi.

•••

“Tetaa.”

“Thi tau ya kamu pura-pura tidur.”

“Thi minta maaf Tetaa.”

Tak ada sahutan dari yang tua, maka dari itu si manis melangkah ke ujung ranjang di mana Tawan berada, ia berbaring di samping Tawan setelahnya.

Kelopak Tawan perlahan memamerkan netra hitam pekatnya, pandangannya jatuh pada seorang lelaki yang tengah sibuk menyamankan posisinya namun tak bisa, “Sempit.” Ia berujar.

“Abisnya kamu madep sini, kalau aku tidur di sebelah sana kamu munggungin aku.”

Tangan kanan Tawan meremat pinggang yang muda ketika di rasa lelaki cantiknya itu hampir terjatuh dari ranjang, “Pindah, Thi.”

“Gak mau, kamu diemin aku, kamu tidurnya gak mau peluk aku, kamu munggungin aku, aku gak suka.”

Tawan hanya diam mendengarkan apa yang suami cantiknya ucapkan, tangan kirinya menyusup di pinggang Thi, hingga akhirnya mengangkat tubuh yang lebih muda—membalikkannya ke ranjang yang lebih lapang.

Rengekan Thi langsung terdengar begitu lelaki tan itu mulai memunggunginya kembali, tanpa ia sadari seulas senyum tipis tercipta menghiasi wajah tampan lelaki tan itu.

“Ih curang banget, gak mau.”

“Ayo madep ke arah Thi.”

Si cantik sama sekali belum jua mau meyerah, menarik-narik kaos yang dikenakan oleh Tawan agar pria itu memutar tubuhnya—menghadap pada Thi.

“Aku aduin sama Ibu kamu nanti, gak sayang lagi ya sama aku?”

“Tetaa,” Thi kembali merengek, “Ayo peluk aku Tetaa.”

“Tetaa, Thi ganti pake baju kucing garong nih kalo kamu gak madep aku juga.”

Sebuah senyum manis Thi tampilkan begitu yang tua memutar tubuhnya—menghadap pada Thi.

•••

—Joya.