—Matahari.
•••
Sepasang iris kelabu berkilau itu berkedip beberapa kali dengan pandangan tak lepas dari wajah tampan pemilik hatinya, pria yang tengah menaruh segala fokusnya pada ipad yang berada di genggaman itu tak jua mau melirik si manis barang sekejap, ia masih asik tenggelam dalam kerjaannya.
Lelaki berkulit putih bersih yang tengah terngkurap itu mengetuk-ngetuk lutut yang tua dengan jari telunjuknya, ia bosan bukan main.
“Tetaa, ini Thi-nya mau dianggurin sampai kapan?” Ia bersuara untuk kesekian kalinya, namun lagi, tak kunjung mendapat jawaban.
Pria berkepala empat dengan kacamata bertengger manis di hidungnya itu masih bungkam, masih menutup rapat mulutnya.
“Thi gasuka deh kalo kamu udah dalam mode gila kerja gini,” Thi kembali bersuara, “Aku tidur sama Lolly aja, ya?” Lanjutnya mengubah posisi menjadi duduk.
“Sebentar lagi.”
“Kan galak, kamu kerjaannya kalau gak marahin aku ya galakin aku terus. Gak pernah Thi-nya ini disayang-sayang lagi.” Cecar si manis.
Tawan mendengar semua apa yang diucapkan lelaki cantiknya itu sejak dua jam yang lalu namun memilih bungkam, hingga pada akhirnya ia mulai meletakkan ipad di atas nakas, menyingkirkan beberapa tumpuk berkas yang berada di atas ranjang mereka, “Mau apa, Mbul?”
“Mau disayang-sayang, tapi suaminya gak mau sayang-sayang aku.” Thi menjawab dengan bibir maju lima senti, lucu sekali.
“Sini.” Yang tua berucap lengkap dengan kedua tangan menepuk-nepuk pahanya.
Mengerti apa yang dimaksud oleh Tawan, semburat kemerah-merahan itu perlahan hinggap dikedua pipi yang muda, “Ih apaan sih Tetaa ini, aku bukan anak kecil lagi yang di pangku-pangku segala.” Si manis salah tingkah.
Pemilik netra hitam pekat itu tak lagi bisa menahan kekehannya, “Kok pipinya merah Mbul?”
Lekas-lekas ia menyembunyikan wajahnya dengan kedua telapak tangan, “Mana ada!”
“Itu merahnya sampe ke telinga.”
“Udah dong Tetaaa.” Ia merengek.
Tawa yang tua pecah setelahnya, membuat si manis kembali manyun, merengut, dan menggerutu sendiri.
“Sini Mbul.”
“Malu ah.”
“Kita berdua, gak ada siapa-siapa.”
“Nanti kalau Lolly masuk gimana?”
“Aku udah kunci pintu.”
“Nanti ka—”
“Kamu suami aku.” Final, Thi tak lagi bisa membantah apa-apa.
Yang tua menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang, membiarkan lelaki cantik tercintanya menanggalkan kacamata yang ia kenakan.
“Kamu tuh ganteng selalu.”
“Udah tua, udah banyak ubannya.”
“Di mata aku kamu tetap aja ganteng.” Thi membalas dengan kesepuluh jemari merapikan anak rambut Tawan.
“Aku berat kan?” Si manis kembali bersuara.
“Beratlah aku mangku bayi dugong.”
“Katanya kamu aku udah langsing tapi tetep dikatain begitu.”
“Anak kamu udah kelas tiga SD, Mbul, kenapa kamu masih menggemaskan?”
“Karena Thi masih muda, yang tua itu kamu.” Thi menjawab dengan begitu santai.
“Mulai Thi mulai.”
“Aku gak salah? Aku ngomongin fakta, aku masih cantik, aku seksi, aku langsing walau gagal diet dari jaman kita pacaran, dan yang terpenting aku punya kamu.”
“Berarti aku doang yang menua sendiri ya?” Tawan bertanya.
“Iya.”
“Nakal.”
“Thi gak pake baju kucing garong Tetaa! Kenapa Thi dibilang nakal?”
Pria tan itu tak lagi membalas apa yang dikatakan suaminya, perlahan menarik Thi untuk masuk kedalam sebuah pelukan paling nyaman yang ia ciptakan khusus untuk lelaki cantik yang telah berjuang bersamanya hingga sekarang.
“Aku sayang kamu, Mbul.”
“Sayang banget.”
“Aku tau dan aku pun begitu, Tawan.”
“Sampai sekarang aku gak pernah bisa membayangkan bagaimana hari-hari yang nantinya akan aku lewati tanpa kamu. Aku gak pernah bisa membayangkan gimana jika kamu pergi dan gak lagi kembali, Thi.”
“Sejak awal kita bertemu dan aku memutuskan untuk menaruh segala hatiku sama kamu, ketakutan terbesarku sejak hari itu sampai sekarang adalah kehilangan kamu.”
“Apa jadinya aku tanpa kamu ya Thi?”
“Thi kenapa diem?”
“Udah ngomongnya? Masih mau lanjut?” Si mania bertanya dengab nada begitu lembut.
Yang tua menggeleng, “Udah.”
Setelah jawaban yang keluar dari mulut Tawan, tanpa aba-aba lelaki cantik itu menarik tengkuk yang tua, menyatukan kedua pasang bilah bibir mereka, menyesap bibir bawah Tawan dengan begitu lembut, membiarkan ribuan kupu-kupu menggelitik perut, melupakan jika debaran jantung yang menggila di tempatnya.
Thi tak punya banyak kata untuk menenangkan Tawan dikala ketakutannya melanda, ia mencium suaminya untuk mencurahkan segala cinta yang ia punya, membuktikan pada Tawan jika dirinya akan terus bersama lelaki tan itu hingga Semesta yang memisahkan mereka berdua.
Karena kenyataannya Thitipoom tak punya alasan untuk pergi, dari Mataharinya.
•••
—Joya.