[Nayanika]

Sepasang boots hitam pekat itu melangkah tanpa arah, menyusuri gelapnya malam seorang diri, deru napas tak teratur dari pemuda yang malam ini berumur dua puluh enam tahun itu terdengar. Isakannya di paksa berhenti dengan mulut yang di tutup rapat oleh telapak tangan sebelah kiri.

Akhirnya, air mata yang sedari tadi di tahan kehadirannya pun keluar juga, mengalir membasahi pipi mulus pemuda berjaket kulit itu, jalan setapak yang ia lalui itu sangat sunyi, pun dengan sepi yang menghampiri dirinya.

Seharusnya, malam ini menjadi malam paling bahagia untuknya, menjadi malam paling di nanti oleh dirinya, namun memang semesta selalu punya rencana yang tak pernah terduga oleh manusia. Siapa yang mengira jika malam ini malah menjadi malam paling ia benci sepanjang hidupnya.

Di selingkuhi, di khianati, mungkin memang hal lumrah yang sering terjadi di bumi, tapi dampak yang di timbulkan bukan main sakitnya. Luka menganga yang dulunya sudah sembuh sembilan puluh delapan persen itu kembali terbuka. Sesak yang ia rasakan begitu nyata.

Iris kelabu nan sendu yang sedari tadi di biarkan menunduk itu pun perlahan mulai menengadah, menatap hamparan bintang lengkap dengan bulan sabit yang menemaninya di malam hari.

Isakan menyayat hati bagi siapa yang mendengar kembali keluar, bahunya yang di lapisi jaket kulit itu bergetar hebat.

Tas berwarna senada dengan sepatu dan jaketnya itu pun perlahan ia letakkan di sampingnya, menyerka air mata yang terus-menerus keluar dengan sendirinya.

Jika memang dia hanya pelampiasan, hanya mainan, kenapa semuanya tampak begitu nyata, tak terlihat pura-pura? Mengapa patah hati harus kembali ia rasakan, malah luka kali ini jauh terasa lebih sakit dari sebelumnya.

Dia pikir, seseorang yang sedang bersamanya sejak dua tahun silam memang benar-benar mencintai dirinya, dia pikir lelaki bertubuh jangkung dengan lesung pipi sebelah kiri itu sungguh-sungguh dengan perkataannya tentang masa depan yang pernah mereka rencanakan sebelumnya. Ternyata, pikirannya salah, yang amat dipercaya malah menjadi pembawa luka.

Hembusan angin malam menerpa wajah basah akibat air mata. Duduk seorang diri di pinggir ruko yang sudah tutup ternyata bukan pilihan yang buruk. Perlahan, isakannya mereda, lama-lama berhenti jua.

Yang di lakukannya hanya diam, sedikit meratapi nasibnya, miris sekali. Katanya, setiap manusia punya porsi sendiri-sendiri untuk bahagia, namun kenapa porsi miliknya begitu sedikit?

Pun jua, katanya semesta itu adil, namun apakah pengecualian untuk dirinya?

Lamunannya terpaksa teralih pada suara roda bergesekan dengan aspal, seorang pria dengan topi hitam dan kemeja kotak-kotak berwarna senada lewat di depannya dengan skateboard yang tengah ia naiki. Siulan pria itu terdengar begitu lucu, lantas membuat si manis yang tengah bersedih hati itu pun terkekeh pelan.

Iris kelabunya masih memerhatikan pria dengan papan skateboardnya itu menjauh, lama-lama menghilang di gelapnya malam.

Menghembuskan napas panjang, pria berkulit putih itu pun memutuskan untuk berkenala tanpa tujuan malam ini, ia butuh waktu untuk sendiri. Selama kakinya terus melangkah, pandangannya menyapu setiap tempat, begitu asing untuknya.

Hingga pada akhirnya, sepadang boots itu berhenti, di depan warung kopi bernuasa tahun 90-an. Mengulas senyum tipis, entah mendapat kemauan dari mana, kakinya melangkah masuk kedalam.

Warung kopi ini tak besar, hanya ada beberapa meja saja. Pun dengan lagu-lagu jadul yang mengalun untuk meramaikan suasana. Pilihannya jatuh pada meja paling pojok, lantas saja ia langsung mendaratkan bokongnya di kursi kayu.

Membuka resleting tasnya, meraih sebuah buku dan pena. Sembari menunggu pesanannya datang, jemari pemuda itu menari-nari di atas kertas yang tadinya putih bersih, kini terdapat tinta yang menciptakan barisan rapi kata-kata disana.

“Terimakasih.” ucapnya ketika suara antara meja dan cangkir kopi beradu.

Iris kelabunya menatap kopi hitam yang berada di depannya dalam diam, belum berniat untuk menyesap minuman hangat itu.

“Halo!! Halo!!”

Ia kembali melamun ternyata, hingga pandangannya teralih pada pria yang tengah berdiri di depannya.

“Tempat yang lain penuh, kamu sendiri? Boleh saya duduk disini?”

Pemuda berkulit putih itu langsung saja mengangguk, tak punya alasan untuk menolak juga bukan. Kerutan di bagian dahi tercipta tak kala ia benar-benar mengamati pria yang duduk di depannya.

“Kamu baca buku itu?” ia mulai membuka suara.

Pemuda yang berada di depannya menoleh, lalu mengangguk sembari memamerkan sebuah novel bersampul cokelat tua dengan judul It was just a memory.

“Iya, saya baca. Apa boleh kita kenalan terlebih dahulu?”

“Saya, Tay tawan vihokratana.” sambung pria bernama Tay itu sembari mengulurkan tangannya di depan si manis.

“Newwiee thitipoom.”

Tay terdiam sesaat, dengan kedua tangan mereka yang masih bertaut, hingga gerakan kaku dari pemuda berkulit tan itu tercipta setelah beberapa saat lamanya dia terdiam.

“Ini, buku karya kamu, ya?” Tay langsung bertanya, merasa tak asing dengan nama pria yang berada di depannya.

Pemuda beriris kelabu itu lantas mengangguk patah-patah, tak enak hati sebenarnya, senyum tipis tersungging di bibirnya, “Iya, punya saya hehehe.”

“Astaga, dunia sempit ternyata. Saya suka sekali sama tulisan-tulisan kamu.” Tay berucap.

“Terimakasih sebelumnya, saya malu sekarang.”

“Bentar, minta tanda tangan kamu dong, di buku ini.” ia memberikan novel yang berada di tangannya pada New.

Dengan senang hati New menerimanya, jemarinya bergerak di atas novel karyanya menciptakan tanda tangan dirinya, setelah selesai ia pun mengembalikan novel pada sang empu.

“Saya sudah baca semua karya kamu. Tapi yang sering saya ulang, ya buku ini, sedihnya kerasa sekali.”

New mengangguk dua kali sembari menyesap kopi hitam miliknya “Itu di tulis saat hati saya lagi tidak baik-baik saja.” New menjawab.

“Sebenarnya, kisah yang ada di buku ini terlampau sering di temui, tapi rangkaian kata-kata kamu itu bagus sekali.”

“Adik saya pasti senang deh, akhirnya novel ini ada tanda tangan penulis aslinya.” sambung Tay memberi tahu.

“Tay, saya benar-benar malu sekarang.”

“Kenapa malu? Karya kamu bagus, layak mendapat pujian.” pria berkulit tan itu berucap, iris hitamnya mengamati wajah penulis buku yang ia baca, “Sorry, saya banyak bicara.”

“Santai aja Tay, saya juga butuh teman buat ngobrol.”

“Kalau begitu, saya bersedia jadi teman mu malam ini.”

•••

“Kamu belum pernah menginjakkan kaki disini?”

Gelengan dari si manis terlihat, membuat Tay tersenyum maklum, tempat ini memang jarang di ketahui banyak orang.

“Kamu sudah makan? Kalau belum di balik pohon jambu itu ada warung nasi kucing. Enak sekali, mau nyoba?”

“Kamu mau nemenin saya?”

“Saya sudah berkata iya sebelumnya, jadi ayo kesana.”

New menerima uluran tangan Tay tawan, jemari yang bertaut itu mengayun santai, keduanya melangkah seirama, berjalan ke warung nasi kucing yang katanya enak sekali.

“Mbah nasinya dua, teh hangatnya juga dua yo.”

•••

Gelak tawa milik si manis terdengar sedari tadi, terduduk di aspal dengan kedua kaki sengaja di lebarkan memanjang, napasnya terengah, dan jaket kulit yang sebelumya ia kenakan sudah berada di dalam tas, menyisakan kaos berwarna maroon yang menutupi tubuhnya.

“Saya gak bisa main skateboard.” suara New terdengar di telinga Tay.

Lelaki dengan kemeja kotak-kotak yang di biarkan terbuka itu hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum tipis, ia membungkuk di depan New lalu berkata “Gak ada manusia yang gak bisa, ayo belajar bareng saya.”

“Kamu liat ini,” New menunjuk siku yang memerah, “Ini” lalu kembali memperlihatkan betisnya yang sedikit terluka pada Tay “Saya sudah berkali-kali jatuh.” sambungnya.

“Gak apa-apa, itu namanya proses. Jadi kamu mau udahan aja belajarnya?”

“Saya capek, Tay.”

Tay tak tahan untuk tidak tertawa melihat ekspresi lucu pemuda di depannya “Kamu memang semenggemaskan ini aslinya?”

•••

Hari semakin larut, jam yang melingkar di tangan kirinya sudah menunjukkan angka setengah dua belas malam, artinya tiga puluh menit lagi, usianya akan berganti.

Awanya itu di nanti, tapi sekarang tak lagi berarti. Toh spesial atau tidak, orang yang namanya selalu di sebut dalam doa tak ingin menciptakan kenangan bersamanya hingga tua.

Selepas bermain skateboard beberapa menit sebelumnya, akhirnya Tay mengajak New untuk duduk bersama menikmati malam, di pembatas rooftop gedung usang yang tak lagi di gunakan dengan kaki menjuntai kebawah.

Kelopak matanya perlahan menutup, hembusan napas terdengar, ujung-ujung bibir si manis melengkung ke atas, menciptakan sebuah senyuman menenangkan di pandang.

Seulas senyum simpul tanpa sadar terukir di wajah pria berkulit tan yang tengah menaruh seluruh fokusnya pada sesosok pemuda yang berada di sampingnya.

“Kamu itu sebenarnya apa?” Tay tanpa sadar bersuara.

Si manis menoleh ke samping, lengkap dengan sebelah alis terangkat satu, ia bertanya.

“Kamu diam saja, saya sudah jatuh cinta.”

Kekehan New terdengar setelahnya, “Gampang sekali kamu itu mengutarakan sesuatu.”

“Saya juga gak ngerti ini perasaan apa. Kagum kali ya?”

“Orang yang berada di samping kamu ini, sedang patah hati.” New berkata jujur.

“Katanya, cerita sama orang yang gak di kenal itu malah lebih aman. Kenapa? Karena orang asing itu gak tau banyak tentang kamu.”

“Kok kedengarannya seperti kamu mempersilahkan saya untuk bercerita.”

Tay tertawa “Benar sekali, mau berbagi?” imbuhnya.

New menghela napas, kembali mengulang kejadian yang beberapa jam lalu terjadi, di depan mata kepalanya sendiri. Sesak di dadanya terasa lagi, bak besi berat nan runcing yang dulu pernah bersemayam di hatinya kembali hadir, kali ini dua kali lipat lebih sakit.

“Saya bukan tipe manusia yang mudah jatuh cinta, terlebih dahulu mantan saya pernah mendua.”

“Saya kira, orang yang berjalan bersama saya sekarang memang orang yang takut kehilangan saya, ternyata salah. Ternyata, sayalah yang takut orang itu hilang, sedangkan dia? Perduli saja tidak.”

Tay diam, mendengarkan semua ucapan New dengan serius, sesekali ikut menghela napas pelan.

“Seperti sebelumnya, saya kembali mengira jika hari ini bakal menjadi hari bahagia untuk saya dan dia. Ternyata lagi-lagi salah, ekspektasi saya terlampau besar.”

“Beberapa jam yang lalu saya kerumahnya, berniat untuk ngajak lelaki itu makan malam romantis berdua, tapi ternyata dia malah sedang bercinta.”

“Miris sekali bukan.”

“Tay, kamu percaya gak semesta itu adil?”

New menoleh lagi kesamping, menatap pria berkulit lebih gelap darinya itu dengan serius, menunggu jawaban yang keluar dari mulut Tay tawan.

“Percaya, luka yang kamu rasakan sekarang itu buat kamu jadi lebih kuat dari yang sebelumnya, rasa kecewa itu mendewasakan manusia, New.”

“Dan juga, kebenaran menyakitkan yang kamu dapat tentang bajingan itu adalah peringatan dari semesta, agar kamu di jauhkan dari orang yang gak pantas untuk kamu berpulang.”

“Masa iya, kamu yang begini bersanding sama dia yang tingkahnya begitu. Gak seimbang.” Tay tersenyum setelah menyelesaikan ucapannya.

“Dari setiap kejadian, mau seburuk apapun itu, pasti punya sisi baiknya, walau sedikit sekali.”

“Saya capek.” New berkata lesu.

“Gak apa-apa, kamu perlu waktu untuk sembuh.”

“Kalau kamu, punya kisah cinta menarik, gak?” New bertanya.

Tay tertawa sumbang, lalu menggeleng pelan “Sebelas dua belas lah sama kisah kamu.”

•••

Setiap pertemuan pasti berujung dengan perpisahan, sebaik apapun perpisahan, dia tetap terasa menyakitkan.

Namun kali ini, bertemu dengan Tay tawan merupakan hal yang ternyata bisa membuat luka di hati si manis sedikit terobati. Mungkin benar, dia memang butuh waktu untuk sembuh, lagi.

Ujung sepatu keduanya bertemu, Tay menatap iris kelabu nan sendu itu dalam, mata New memang begitu cantik, makin indah jika di pandang lama-lama.

“Pakai dulu jaketnya, hari sudah larut.” Tay berucap membuat si manis menurut, membuka ranselnya dan mengenakan jaket kulit miliknya.

“Kita usai disini?” tanya pemuda berkulit tan itu lengkap dengan senyumnya.

New mengangguk mantap “Selesai, tapi gak tau bagaimana kedepannya.”

“Saya paham New, seperti tulisan kamu di novel ini.” Tay kembali memamerkan novel yang di bawanya tadi “Yang singgah, suatu saat pasti akan pindah.”

Lantas keduanya terkekeh pelan, membenarkan ucapan Tay barusan.

“Terimakasih untuk beberapa jam menyenangkan yang kamu berikan untuk saya. Saya harap, kita berjumpa di lain waktu, di lain tempat, tapi di kebahagiaan yang sama. Tay.”

“Sama-sama New, hati-hati.”

New tersenyum manis, begitu tulus, lantss memutar tubuhnya, melangkah menjauh dari seseorang yang baru ia kenal beberapa jam lalu.

“Newwiee.”

Panggilan Tay membuat sang empunya nama menoleh, lalu menaikkan sebelah alisnya.

“Selamat ulang tahun. Saya pamit, lekas sembuh manis.”

Senyum pemuda berkulit putih itu mengembang sempurna, setidaknya ulang tahun kali ini tak benar-benar semenyedihkan yang ia bayangkan, Tay tawan benar, semesta itu adil.

“Kamu tahu saya ulang tahun dari mana?!”

Teriakan New hanya di balas lambaian tangan, pemuda dengan kemeja terbuka itu semakin jauh darinya, lalu menghilang.

“Saya berharap sekali betemu kamu lagi, Tay tawan vihokratana.”

—Cerita ditutup.

•••

-Joya-