[Nyata adanya]

•••

Iris kelabu itu terus-terusan mengamati seseorang yang tengah berada beberapa meter darinya, berdiri membelakanginya dengan perhatian terfokus pada kamera yang berada di genggaman.

Perlahan, senyumnya terukir amat indah di wajah, kebahagiaan yang bersarang sedari tadi di hatinya itu, benar adanya. New meminum air kelapanya, menunggu Tay menyiapkan segala kegiatannya dengan pemandangan pantai di sore hari yang begitu indah.

Jujur, New gak tau ini perasaan apa, dia juga tidak tau apakah ia benar-benar mencintai seorang Tay tawan, orang yang di temuinya baru beberapa bulan. Yang jelas New bahagia ketika senyum yang jarang sekali di lihatnya itu terbit begitu saja, menghiasi wajah tampan milik Tay tawan.

Begitu simple bukan.

Keinginan New tak banyak untuk saat ini, ia hanya ingin, senyum itu terus ada, terus terukir indah, karena kebahagiaan Tay, bisa di bilang kebahagiaanya juga. Remaja sekali.

Senyum milik cowok berkulit putih itu semakin melebar sempurna hingga matanya ikut menyipit, lengkap dengan poni yang sedikit berantakan akibat terpaan malu-malu sang angin pantai.

Tay berjalan mendekatinya, duduk di samping New dalam diam.

“Bagus gak foto-fotonya?.” suara New terdengar, menghilangkan senyap di antara mereka berdua.

Tay menoleh ke kanan, lantas mengangguk dua kali sebagai jawaban.

“Kalau gue bilang senyum Kakak lebih indah dari pemandangan di depan mata gue, itu termasuk gombal, gak?”

“Gak tau”

“Kayaknya enggak deh, atau karena gue belum kebiasa aja liat senyum lo kali ya, Kak”

“Kata Ibu, satu senyuman itu, bisa ngilangin satu masalah yang ada di hidup kita.”

“Kalau masalahnya gak bisa hilang?” gantian Tay bertanya.

“Gak tau pasti, cuma Tuhan gak bakal ngasih masalah ke manusia yang gak bisa nyelesaiin masalah itu. Tuhan itu adil tau Kak.”

“Tapi gue kok ngerasa enggak.”

“Gue gak tau segimana besarnya masalah yang sedang lo pikul, segimana perihnya masalah yang sedang lo hadapin. Tapi, di balik masalah itu sendiri, gue yakin pasti punya sisi baiknya”

“Gak ada” balas Tay begitu santai.

New menghela napas panjang, sejujurnya ia ingin tau mengapa Tay sebegini tertutupnya. Namun New tau, dia tau limitnya sampai mana.

“Kak, mau berbagi masalah?”

Tay menaikkan sebelah alisnya tak paham “Gimana?”

“Lupain aja.” New tersenyum tipis sembari berkata.

“Kak, senyum dong biar masalahnya berkurang.”

Tay menurut, ia tak ingin berdebat dengan adik kelasnya yang begitu bawel ini, perlahan ia menyunggingkan senyum tipis.

“Ganteng banget.” New berujar pelan.

“Bawel.”

“Kalau gue gak bawel, kita diem-dieman mulu dong.”

“Gue mau cerita ke Kakak, mau dengerin gak?” New bertanya, meninta jawaban.

“Enggak”

“Dih bikin gue seneng kek!”

“Yaudah boleh.”

New lantas mengubah ekspresinya menjadi tersenyum.

“Gue tuh suka nulis, jadi pas masih Smp gue bilang ke temen-temen deket gue kalo gue nulis di wattpad.”

“Terus itu pas gimana, gue gak tau pasti, gurunya bilang kita gausah belajar dulu hari ini karena buku paket juga belum nyampe, jadi cerita-cerita aja, gitu.”

“Tiba-tiba bahas tentang novel, temen gue nyeplos kalau gue ini penulis. Terus singkatnya guru gue minta user name wattpad.”

“Gue kasih aja kan ya, terus beliau baca, gue kira beliau bakalan suka.”

“Ternyata, beliau bilang tulisan gue gak nyambung, gak jelas, terus juga bilang terlalu lebay untuk kisah cinta anak Sma”

New mengulas senyum tipis, kejadian di masa lalu itu kembali teringat jelas di ingatannya. Kenangan yang membuat dirinya sekarang sulit untuk percaya diri dengan tulisan sendiri.

“Mungkin bener kali ya, gue kan cuma anak Smp dulu. Malah bikin cerita anak Sma.”

“Itu tuh namanya menjatuhkan, di kelas lo banyak murid kan, lo pasti malu.” Tay angkat suara.

“Gue cuma ngangguk-ngangguk doang, tapi pas sampe kamar nangis. Dari situ sadar, kalau gak semua hal yang kita lakuin bakal di respond baik sama orang.”

“Sekarang masih lanjut nulis, enggak?”

New mengangguk pelan “Masih” jawabnya, lalu cowok manis itu kembali berkata “Tapi pake nama pena, itu juga rahasia. Cuma gue yang tau, sekarang berdua, sama Kak Tay.”

“Kenapa suka nulis, New?”

“Gak tau, gue ngerasa nulis itu kayak pelarian di saat gue sedang gak baik-baik aja. Terus juga, gue bisa ngatur semua jalan cerita di kisah yang gue buat, bahkan endingnya mau gimana jika itu tulisan gue, gue yang menentukannya. Keren kan”

Cowok berkulit tan itu perlahan menggenggam tangan kanan milik cowok yang berada di sampingnya, mengelusnya dengan pelan.

“Tetap menulis ya, New, karena lo memang keren. Balas dendam terbaik itu, menjadi sukses.”

“Soal sukses, temen gue dulu ada yang nyeletuk gini Kak. Sukses itu gak melulu tentang uang, tapi kita gak di bilang sukses kalo gak banyak uang hahaha bangsat sih tapi ada benernya juga.”

Tay ikut terkekeh pelan, melihat kejadian itu lantas New terdiam sesaat, mengamati raut wajah Tay tawan, angin yang menerpa wajahnya hingga rambut cowok itu sedikit berantakan. Matahari yang ini sedang berbahagia ternyata.

Tangan kanan New terulur untuk merapikan rambut sang pujaan hati, membuat jarak keduanya tanpa sadar semakin dekat saja.

New tersenyum tipis, lantas beralih menatap iris hitam legam itu dalam, detakan jantung New menggila di tempat tak kala tangan kiri yang lebih tua memegang lengannya, mengisyaratkan jika mereka harus tetap dalam keadaan begini saja.

“Aku boleh cium kamu?” Tay berbisik.

“Jangan nanya gitu, Nyuwi malu.”

Tay terkekeh pelan, semakin mengikis jarak yang tercipta, deburan ombak terdengar begitu tenang, namun tidak dengan jantung anak manusia yang tengah duduk berdua ini.

New memejamkan matanya sesaat Tay semakin mempersempit ruang gerak mereka. Satu ciuman mendarat begitu lama di dahinya.

Tay tawan menciumnya, tepat di dahi, hari ini.

•••

-Joya-