[Perkara sebuah buku]

•••

Senyum tipisnya terukir tak kala cowok berkulit tan itu berjalan mendekatinya.

“Astagfirullah.”

Ucapan pertama yang Tawan layangkan begitu melihat keadaan mata sang kekasih hati. Bagaimana tidak, kondisi mata Thitipoom sekarang begitu sembab dan bengkak.

Perlahan, tangan kanannya terulur untuk mengelus mata Thitipoom-nya “Kamu nangisnya berapa lama?”

Thitipoom menyengir “Tiga jam, mungkin.”

“Tawan, ayo masuk dulu.”

•••

Sekarang, cowok bernama lengkap Tay tawan vihokrata itu tengah sibuk dengan barang belanjaannya.

Sedangkan Thitipoom? Dia hanya menyaksikan Tawan sambil tersenyum dan sesekali menggelengkan kepalanya tak habis pikir dengan kelakuan kekasihnya.

“Ini buah naganya udah aku potong, terus potong es krimnya gini gak sih Thi?”

“Thi, yang bener kayak kita potong bolu, kan?”

“Ini sosisnya di microwave dulu apa langsung di makan sih? Tapi kalo makan langsung gak enak dong, ini kan masih dingin.”

“Duh, hapeku mana lagi. Aku mau liat caranya di tiktok dulu.”

Pasrah, karena Tawan memang seheboh itu, kekehan dari cowok berkulit putih yang tengah duduk di kursi makan itu terdengar, membuat Tawan memutar tubuhnya menatap sang kekasih “Thi” panggil Tawan dengan wajah melasnya, lalu ia kembali berucap “Bantuin aku dong.”

Pemuda yang di panggil Thi itu pun kembali terkekeh, lalu bangkit dari duduknya, berjalan mendekati Tawan, dan mengambil alih semua perkerjaan kekasihnya.

Senyum ceria langsung terbit di wajah tampan cowok berkulit tan itu, dengan senang hati Tawan memberi satu kecupan di pipi sebelah kiri Thitipoom-nya.

“Terimakasih, cantik.”

•••

“Sosisnya enak sih, tapi kalo es krimnya menurutku biasa aja.” Tawan berucap, berceloteh ria tentang makanan yang katanya viral.

“Ini juga enak, banget malah.” ujar Thitipoom sembari memamerkan sepotong buah naga miliknya.

“Kamu habisin ya itu sosisnya, aku beli buat kamu juga.”

“Iya nanti.”

“Oh ya Thi, kalau boleh tau, kamu baca buku apa sampe begitu matanya?”

Thitipoom perlahan meletakkan piring berisikan buah kesukaannya di meja kecil berbentuk bundar- tempat ia biasa menulis di kamarnya.

Tangan kanan Thitipoom meraih sebuah buku yang tergeletak di ranjang, lalu memperlihatkannya pada Tawan.

“Ini, 7 hari untuk keshia.”

“Ceritanya itu tentang seorang anak yang di kasih beberapa waktu untuk membuat kenangan bersama ayahnya.”

“Aku gak pernah bisa memang kalau bahas orang tua, terutama soal ayah.”

“Pas baca ini, aku jadi ingat kenangan sama ayah dulu. Ada satu perkataan ayah yang sampe sekarang masih aku ingat banget, Tawan mau dengerin aku cerita atau makan dulu?”

Tawan tersenyum tipis, mengelus punggung tangan kekasihnya “Cerita, sayang.”

Si manis pun tersenyum, kembali melanjutkan perkataannya “Kamis siang, ayah minta buat nemenin beli kado untuk Ibu. Kami berdua banyak ngobrol di perjalanan, tapi perkataan yang satu ini gak akan pernah terlupakan.”

“Ayah bilang, 'Tugas ayah sekarang itu cuma untuk membahagiakan anak-anak ayah, gak ada lagi yang perlu ayah kejar, selain melihat senyum kamu dan abang.”

“Sialnya, ayah bilang begitu pas lagi keadaan gerimis, pun dengan lagu titip rindu buat ayah yang ke play, aku mau nangis banget tapi gengsi.”

Mata Thitipoom kembali berkaca-kaca, Tawan cukup tau bagaimana kedekatan Tithipoom dengan ayahnya. Namun Tawan malah membiarkan air mata yang mengalir begitu saja membasahi pipi kekasihnya.

“Aku juga ingat sekali, waktu pertama kali aku pulang ke kampungnya ayah sendiri, di Padang.”

“Sangking seringnya ayah nelepon aku untuk nanyain kabar ku bagaimana, Ibu sampe nyebunyiin hapenya ayah hahaha.”

“Ayah bilang 'Ibu kamu iri banget deh, masa ayah gak boleh neleponin anaknya, kan ayah rindu' begitu beliau bilang ketika aku mengangkat teleponnya.”

“Ayah tuh selalu peka, perhatian, dan sebisa mungkin mengabulkan permintaan anak-anaknya.”

“Apalagi kalau hari libur, beliau pasti matiin hapenya, katanya mau fokus sama keluarga. Ayah suka ngajakin main ps, ke puncak, main basket, atau enggak masak sama-sama.”

“Tapi, yang namanya makhluk hidup gak bakal bisa abadi. Tepat di tanggal 23 april, tugas beliau sebagai manusia, suami, dan ayah selesai.”

“Aku di jemput abang pas masih sekolah, Tapi Tawan. Aku udah ngerasa kok Ayah bakal pulang, makanya pas abang jemput aku gak ada nanya apa-apa.”

Tawan masih setia mengelus punggung tangan Thitipoom-nya, mengulas senyum tipis sembari mengangguk pelan-bermaksud menguatkan.

“Yang paling sakit, ketika mata ku ngeliat, orang yang selama ini selalu aku jadikan contoh sudah tertidur pulas di tengah ruang tamu.”

Tangis si manis pecah, Tawan langsung menarik Thitipoom kedalam pelukannya, membiarkan kekasihnya menangis hingga ia diam sendiri.

“Aku kangen Ayah, Tawan.”

•••

-Joya-