•••
Derap langkah kaki berbalut pantofel berkilap itu teredam suara tertutupnya pintu utama sebuah unit apartemen, kedua netranya menyapu kesegala arah yang dapat ia jangkau, meletakkan satu buah koper di sudut ruang tamu.
Pemilik apartemen itu mulai membuka pintu kamarnya, ia akan langsung mandi dan merebahkan tubuhnya yang terasa amat pegal, sepasang iris hitam pekat itu menangkap sesuatu hal yang menarik seluruh perhatiannya, napasnya tercekat begitu menyadari apa yang sedang dirinya pandangi sedari tadi.
Di sana, tepat di tengah-tengah ranjang besarnya seseorang yang paling ingin ia peluk, paling ingin ia cium sembari mengatakan jika dirinya benar-benar gila akan jarak yang tercipta diantara keduanya, Tay merindukan kekasihnya, itu jelas hal nyata dan tidak mengada-ngada.
Pria berkulit sawo matang itu masih mematung tepat di ambang pintu kamarnya sendiri dengan tatapan tak lepas dari pemuda paling indah yang pernah ia temui, mari Tay tekankan jika keadaan sekarang begitu di luar ekspektasinya, lebih tepatnya tak pernah terbesit di pikirannya jika kekasih cantiknya itu mengenakan pakaian yang-sedikit-banyak begitu mengejutkan untuk dirinya.
Bagaimana bisa yang muda mengenakan pakaian maid begitu ketat yang membungkus tubuh rampingnya, oh jangan lupakan bando kucing yang menambah kesan cantik sang empu semakin terpampang begitu nyata.
Pemilik iris kelabu itu beranjak dari tempatnya, mulai melangkah mendekati sang kekasih yang hanya diam sedari tadi, langkahnya di paksa terhenti akibat suara yang tua menginterupsi.
“Berhenti di sana, Thitipoom.”
“Ganti baju.” Ia kembali berucap.
Mendengar ucapan bernada cukup serius dari pujaan hatinya itu membuat pemuda bernama Thitipoom sukses membelalakkan matanya dengan sempurna, “Kamu yang bener aja?”
“Ganti, baju.” Yang tua kembali mengulang katanya.
Pemuda berkulit seputih susu itu melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda, mengabaikan segala peringatan yang keluar dari mulut Tay tawan, hingga kedua ujung kaki berbalut kaos kaki panjang berwarna senada dengan pakaiannya bertemu dengan pantofel milik sang kekasih.
“Kamu gak suka?” Yang muda bertanya, terselip sebuah harapan yang membuat Tay benci untuk mengakui jika kekasihnya benar-benar indah dengan pakaian nakalnya.
“Ganti bajunya Thi.”
“Kamu belum jawab pertanyaan aku.” Pemuda itu membalas.
“Aku masih waras, jadi, tolong ganti baju kamu.”
“Aku mau kamu gila, sekarang.” Si manis benar-benar menantang.
Netra hitam pekat itu menggelap seiring dengan kedua tangan yang muda mulai menjalar di kedua sisi wajahnya, “I miss you.” Pemuda berkulit putih bersih itu berbisik membuat yang lebih tua meremang karenanya.
“Thi.” Peringatan itu kembali dilayangkan oleh Tay tawan, ia masih cukup waras, tentu saja.
“Sampe kapan mau nahan terus?” Yang muda bertanya, mulai memberikan kecupan-kecupan pada seluruh wajah sang kekasih, kedua tangan si manis perlahan mulai melingkar di leher yang lebih tua, iris kelabunya menatap kedua bola mata milik lelakinya, orang yang ia cinta.
Tatapan keduanya sama-sama dalam, membiarkan debaran jantung yang tak wajar, hingga yang muda mulai ambil alih dengan semakin mengikis jarak yang tersisa diantara mereka berdua, kedua kelopak pemuda berkulit seputih salju itu mulai menyembunyikan iris kelabunya, ia mulai memagut Tay tawan setelahnya. Mencium pria yang lebih tua dengan begitu mesra, mengutarakan jika ia benar-benar merindukan lelaki itu, membenci jarak yang sempat terbentang lebar diantara mereka.
Sebuah senyuman tercipta tak kala yang tua mulai membalas, mulai ikut serta akan apa yang baru saja ia mulai, tangan kekar pria berkulit sawo matang itu mulai mengelus pinggang ramping si cantik-menariknya agar mereka semakin mendekat, sangat jelas Tay membenci yang namanya yojana diantara dia dan bulannya.
“Kamu yang mulai.”
Pemuda berbando kucing itu mengangguk membenarkan apa yang diucapkan kekasih hatinya, lengkap dengan senyum menggoda yang ia tampilkan.
“Tetaa mau berdiri di sini sampe besok?” Thi bertanya.
“Kamu dapat baju ginian dari mana Mbul?” Tay bertanya balik.
Pemuda dengan poni rapi menutupi dahi itu tak menjawab, hanya memamerkan sebuah senyuman manis yang ia punya kepada sang kekasih.
“Kiss me till i lose my breath.” Si manis meminta.
Tatapan pria berpakaian formal serba hitam itu semakin menggelap bersamaan dengan terkikis habisnya kewarasan yang ia punya setelah mendengar perminaan yang cukup sukses membuat dirinya menggila dalam sekejap, maka dari itu, malam ini, Tay tawan resmi mengikuti permainan yang telah diciptakan oleh kekasinya.
Tangan kananannya menarik tengkuk yang muda dengan begitu lembut, kembali menyatukan kedua bibir mereka, percikan-percikan bahagia itu kembali terasa diantara keduanya, pria berkulit tan itu tersenyum ditengah ciuman yang sedang berlangsung.
Dengan mudahnya yang lebih tua menggangkat tubuh indah sang kekasih tanpa melepaskan pagutan yang tengah berlansung, kedua tangan pria berkulit tan itu mulai bergerak begitu nakal pada bongkahan sintal si manis bersamaan dengan kaki kirinya menendang pintu kamar dengan asal-asalan, setelahnya barulah ia melangkah maju menuju sebuah sofa panjang yang berada tepat di samping lemari kaca berisikan banyak koleksi buku dan kamera yang ia punya.
Kesepuluh jemari lentik Thi mulai meremas rambut kekasihnya begitu oksigen yang berada di tubuhnya benar-benar sudah menipis, namun tampaknya yang tua sama sekali belum ada tanda-tanda mau melerai kedua belah bibir yang tengah beradu.
Sebuah seringaian tercipta menghiasi wajah tampan pria berkulit tan itu begitu ia melepaskan cumbuannya, mengamati wajah merah semu sang kekasih dalam diam, membiarkan pemuda yang berada di pangkuannya itu menetralkan deru napasnya.
Tubuh yang muda bergerak gelisah saat kedua tangan kekar itu mulai menggerayangi lekuk tubuhnya, tatapan mereka sama-sama terkunci seakan tak bisa lepas memandangi satu-sama lain, si manis meremat lengan yang masih berbalut pakaian lengkap Tay, tak tahan dengan apa yang sedang lelaki itu perbuat pada dirinya.
“Tawan.” Sebuah desahannya lolos tanpa ia sengaja.
“Nakal banget kamu Thi.” Suara serak itu terdengar.
“Kamu suka?” Si manis bertanya, “Tangannya berhenti dulu dong.” Lanjutnya yang menimbulkan kekehan dari sang lawan.
“Tetaa suka?” Ia bertanya, untuk kesekian kalinya.
“Menurut kamu?”
“Gak tau, tapi kamu ganjel.'
Yang tua terkekeh, lagi.
Pemilik netra hitam pekat itu mulai menanggalkan jas hitam yang melekat di tubuhnya menyisakan kemeja berwana senada dengan kedua kancing teratas yang dibiarkan terbuka.
“Kamu ganteng banget, Teta.” Sebuah pujian terdengar dari yang muda.
Pemuda berparas cantik itu mendekatkan wajahnya secara perlahan hingga hidung mancung keduanya saling bersentuhan, “Semesta benar-benar sedang bahagia ketika dia menciptakan kamu.” Setelah menyelesaikan kalimatnya Tay kembali mempertemukan bibir mereka, menyesap bagian atas dan bawah kekasihnya secara bergantian.
“Manis.”
Sepasang kelopak yang muda mengerjap beberapa kali mendengar lirihan dari orang yang ia cintai, membiarkan ibu jemari Tay yang terus mengelus pipinya terus menerus.
“Aku jatuh cinta sama kamu, lagi.”
Semburat kemerah-merahan itu hadir tanpa permisi sama sekali menghiasi kedua pipi, Thi berniat bangkit dari tempatnya namun kedua tangan mataharinya itu sudah terlebih dahulu meremat pinggangnya, mengunci pergerakan dirinya.
“Mau kemana?” Tay bertanya.
“A-aku....”
“Pipi kamu kok merah?”
Yang muda tak bisa menjawab, mulutnya tertutup rapat-rapat dengan kedua bola mata bergerak gelisah begitu jelas ia menghindari kontak mata antara dirinya dan sang kekasih.
“Thi.” Tay memanggil, nadanya lembut sekali.
“Kamu indah dengan caramu sendiri, kamu tau aku gak suka mengakui kalau aku benar-benar udah jatuh sama kamu, aku benar-benar sudah bergantung akan kamu.”
“Satu fakta yang harus kamu tau dan kamu ingat, aku jatuh cinta sama kamu, setiap harinya.”
Yang muda hanya diam karena ia benar-benar kehabisan kata-katanya untuk menjawab ucapan yang baru saja di lontarkan sang kekasih hati, mulut Tay jika dalam mode manis memang sangat tak baik untuk kesehatan jantungnya.
Alih-alih melempar balik ucapan cintanya, Thi memilih untuk diam sembari mengecup bibir tipis sang kekasih, letupan-letupan bahagia itu hadir lagi dan kali ini lebih gila dari yang sebelumnya, napas yang tua memberat saat bibir merah muda si manis mulai berada tepat di depan jakunnya, mengecupnya, dan menciumnya tanpa henti.
“Hehehe, jadi.” Thi berucap dengan ibu jari mengelus sebuah tanda kemerahan yang ia ciptakan di leher jenjang kekasihnya.
Sepasang kelopak sang empu langsung terpejam menyembunyikan netranya begitu sebuah tangan mengelus dirinya sedangkan yang pelaku hanya tersenyum tipis melihat reaksi yang diberikan oleh Tay tawan.
Thi bergerak menjauh dari mataharinya hingga mata yang terpejam itu langsung terbuka sempurna, “Thi,”
“Sttt.” Jari telunjukknya berada di depan bibir menyuruh Tay untuk tidak banyak bicara, dan tentu saja yang tua langsung menurut.
Si cantik maju selangkah memamerkan kaki jenjangnya yang dibalut kaos kaki panjangnya, perlakuannya itu tak lepas dari perhatian pria yang tengah duduk di depannya. Ia bergerak turun ke bawah, besimpuh diantara kedua kaki yang tua, kesepuluh jemarinya mulai melepaskan celana kain sang empu hingga sebuah genggaman tangan dari pemilik netra hitam pekat itu menghentikan kegiatannya.
Mereka saling tatap, lagi.
“Thi.”
“Kamu gak mau ya?” Pemilik iris kelabu itu melempar sebuah tanya.
“Jelas banget mau, tapi, kamu nyaman kah?”
Lengkungan itu langsung menghiasi wajah cantiknya begitu ia mendengar ucapan Tay barusan, Thi sadar, jika mataharinya selalu ingin dia baik-baik saja dalam keadaan apapun, “Tetaa, kalau aku gak nyaman dan aku gak mau, aku gak berada di sini.”
“Janji dulu sama aku jangan kamu paksa.”
“Gede banget ya Om?” Si manis menggoda lengkap dengan menaik-turunkan kedua alisnya.
Tentu saja Tay tak menjawab.
Thi kembali melanjutkan kegiatannya yang lagi-lagi sempat tertunda, senyumnya mengembang begitu apa yang sedari tadi ingin ia lihat sudah berada di depan mata, perlahan iris kelabu itu mulai menatap kekasihnya yang hanya diam dengan deru napas mulai memberat.
“Kamu seksi banget, Teta.”
Kelima jemari lentik itu bergerak, menggenggam, merasakan, dan mulai bergerak secara teratur. Menikmati geraman sang kekasih yang masuk kedalam indera pendengarannya.
“Thi.”
Yang muda lantas bersorak gembira mendengarnya.
Ia memajukan kepalanya mendekati Tay, mulai merasakan apa yang sedari tadi ia pegang, mulai bergerak secara konstan, memberikan hal terbaik yang ia bisa untuk Tawan-nya.
“Thi jangan dipaksa.” Lelaki itu mengeram rendah namun tampaknya si manis sengaja menulikan telinganya, terus melanjutkan apa yang tengah dirinya kerjakan.
Hingga beberapa menit setelahnya pria berkemeja hitam itu melepaskan apa yang sedari tadi ia tahan, sepasang iris miliknya mulai menurun-memerhatikan kekasih cantiknya yang tengah mengais oksigen.
Cantik banget.
Seakan sadar atas apa yang baru saja ia perbuat, yang lebih tua lantas menarik pemuda berparas cantik itu ke atas pangkuannya dengan ibu jari tangan kanan yang mulai mengelus bibir bengkak sang kekasih.
“Kamu telan?”
“Semua.” Yang muda menjawab dengan begitu santai.
“Thi berapa kali aku bilang gak b-” Kata itu tak selesai dikarenakan jari telunjuk pemilik iris kelabu itu sudah lebih dulu berada di bibirnya.
“Sekali aja gak apa-apa.”
Tay diam namun pandangannya tak pernah lepas dari pemuda yang berada di atas pangkuannya, ia diam namun kepalanya tak berhenti memikirkan betapa beruntungnya ia dipertemukan oleh manusia bernama Thitipoom ini, ia diam namun benaknya terus berucap jika dirinya benar-benar mencintai orang yang tengah berada di satu ruangan bersamanya.
Entah bagaimana alurnya yang jelas mencintai Thi adalah hal yang selalu ia gemari, pemuda itu akan selalu jadi perjuangan yang ia usahakan mati-matian, seperti di lembar kisah mereka sebelumnya, jika bukan kamu, aku gak mau.
“Kok diem mulu?”
Lamunan pria itu langsung buyar, hilang entah kemana. Sebagai gantinya ia hanya menggeleng dua kali.
“Makasih, Thi.” Ujarnya dengan begitu lembut.
“Ini baru pemanasan Tetaa, kamu pikir aku pake baju kayak begini buat apa kalau bukan buat bikin kamu senang?”
“Aku lebih seneng kamu gak pake baju.”
Entah apa yang lucu dari jawaban Tay tawan barusan, namun kedua anak manusia itu sama-sama tertawa.
“Oke, fuck me till the sun comes up again.”
“Then, i'll fuck you till you scream my name.”
•••
“Ingin sekali aku robek baju sialan ini.” Umpatan dari pria berkulit tan itu terdengar.
“Awas aja kalau kamu berani ngerobeknya!”
Dia sudah tak ingin merobek pakaian yang melekat di tubuh indah sang kekasih.
“Kamu mau di sini atau di ranjang?”
“Tetaa maunya di mana?”
“Kamu dulu, mau di mana?” Tay kembali melempar sebuah pertanyaan.
“Aku di mana aja mau asal sama kamu.”
“Thi, jawab mau di mana atau enggak sama sekali.”
Kedua mata yang muda membelalak sempurna, “Kok jadi kamu yang ngancam aku?”
Pemilik netra hitam pekat itu hanya memberikan sebuah tatapan pada kekasihnya, “Jangan galak! Aku mau kita di sini.”
Final.
Bibir keduanya kembali menyapa satu dengan yang lain, gerakan seirama mereka laksanakan hingga kesepuluh jemari pemuda berkulit putih bersih itu meremat rambut sang kekasih dengan sesuka hati, cumbuan yang mereka lakukan semakin menghilangkan kewarasan yang tersisa. Bilah bibir saling menyesap, melumat, dan sesekali mengigit secara bergantian menimbulkan suara desah tak lagi bisa ditahan.
Kedua tangan pria berkulit tan itu tak henti mengusap dua buah bongkahan yang amat ia suka, menyibakkan pakaian yang membungkus tubuh molek kekasihnya, suara erotis yang keluar begitu pasrah dari mulut kekasihnya adalah melodi paling indah yang pernah ia dengar, dan Tay tawan menginginkan lebih.
Ia menginginkan lebih dari sekedar ciuman memabukkan.
“Jangan di buka, aku mau kamu tetap pake baju begini aja.”
Tak ada alasan untuk pria tan itu membantah.
Ringisan yang muda teredam oleh cumbuan yang diberikan Tay tawan, matanya tak sanggup terbuka begitu ia tahu jika Tay sudah berada di dalam dirinya dengan begitu sempurna, mengisi kekosongan dirinya dengan begitu pas hingga cumbuan mereka terlepas.
Sepasang kelopak sedari tadi menyembunyikan iris berkilau bak sinar rembulan itu memamerkan keindahannya. Tatapan sayu, bibir bawah ia gigit dengan sengaja, dan bando kucing menambah kesan cantiknya semakin menjadi-jadi.
Jika mencintai Thi memang semenggilakan ini, Tay ingin jadi gila sepenuhnya.
“Tawan...” Melodi itu kembali menjamah indera pendengarannya.
Jemari-jemari lentik yang tak henti meremas erat lengan kekasihnya begitu gerakan di percepat, ia memberikan semua cintanya pada Tay tawan secara percuma, membiarkan yang tua melakukan sesukanya, Thi tak akan membantah karena ia benar-benar menyukai apa yang tengah lelaki itu lakukan.
Titik-titik keringat membasahi dahi namun mereka tak peduli, Tay membenamkan keseluruhan dirinya pada seseorang yang selalu ia jadikan apa-apa di urutan paling pertama, pusat kehidupannya, bulannya, Thitipoom-nya.
Hingga dihentakkan kesekian yang diberikan oleh Tay tawan membuat sisa-sisa kewarasannya mengawang, matanya terpejam nikmat, tak lagi sanggup menahan tubuhnya hingga ia hanya bisa bertumpu pada pria yang tengah memangkunya.
Deru napas saling berkejar-kejaran masih terdengar, penyatuan kedua anak manusia itu pun belum jua terlepas, Tay masih setia berada di tempat ternyamannya, pada Thi.
Yang muda menyandarkan kepalanya di bahu sang kekasih, Tay dengan senang hati menerimanya, kedua tangan kekar itu mulai memeluk tubuh lemas yang muda, mendekapnya dengan rasa sayang.
“Terima kasih, sayang.”
“Aku tau kamu masih mau lagi,” Pemuda itu mengambil napas panjang sebelum benar-benar melanjutkan ucapannya yang belum selesai, “Tapi beri aku waktu beberapa menit, aku masih lelah.”
“Kamu, luar biasa Thi.”
•••
-Joya-