[Rain]

•••

Sebelah alis pemuda berkulit seputih susu itu terangkat tak kala seluruh perhatiannya terfokus pada seorang yang duduk di depannya.

“Kamu kenapa senyum-senyum gitu ngeliatin hape?”

Tawan menoleh ke sumber suara, lalu meletakkan ponselnya di atas meja. Perlahan tangan kanannya meraih tangan kiri Thitipoom -menggenggamnya.

“Anak-anak ngajak ngumpul, untung Off pinter ngibul.” Tawan bersuara, memberitahu.

“Kamu sama Off tuh kayak anak kembar, ya.”

Kekehan dari yang lebih tua terdengar, “Udah kenyang? Apa mau jajan lagi? Mau beli cake?” tawar Tawan.

Thitipoom lantas saja menggeleng cepat “Ini aja jajanan di meja banyak banget masih.”

“Mana tau kamu mau jajan lain, Thi.”

“Tawan, keliling-keliling yuk, sebelum pulang.”

•••

Vespa matic milik Thitipoom melaju dengan kecepatan sedang, yang lebih tua mengendarai motor sang kekasih sembari tersenyum tipis tak kala dagu Thitipoom bersandar di bahunya.

Kedua mata Thitipoom perlahan memejam, menikmati terpaan angin malam, lalu ia menengadah, menatap langit yang menyendiri, tak di temani bintang atau pun bulan.

Malam ini, sang langit benar-benar seorang diri.

“Kayaknya mau hujan deh Tawan.” yang lebih muda berucap pelan.

Tawan mengangguk membenarkan, tangan kirinya mengelus punggung tangan Thitipoom yang melingkar nyaman di perutnya.

Keduanya sama-sama diam setelahnya, hingga suara merdu Tawan kembali terdengar.

Takkan pernah berhenti.

Untuk selalu percaya.

Walau harus menunggu, seribu tahun lamanya.

“Suara kamu bangus banget lho, Tawan.”

Gelak tawan dari Tawan membuat Thitipoom ikut tertawa pelan.

“Masa sih Thi?”

“Bener, sayang.”

“Thi, Tipum, sayang.”

“Saya, Tawan.”

“Aku gak bakal ngelepasin kamu, itu mutlak.”

“Tawan, aku malu.”

Senyum keduanya saling terukir di wajah masing-masing, kupu-kupu menggelitik perut itu terasa begitu nyata adanya.

Tanpa aba-aba, semesta tanpaknya memang punya rencana lain, air turun dari langit dengan bergitu deras.

Tawan lantas membelokkan motornya, menepi di depan ruko. Melepas kemeja flanel yang di kenakannya, lalu memakaikannya agar menutupi tubuh sang kekasih.

“Dingin ya.” Tawan berucap.

New mengulas senyum manis, menggeleng pelan “Kan ada Tawan yang ngengetin.” balas Thitipoom membuat yang lebih tua melepaskan tawa ringannya.

Tawan menarik New kedalam pelukannya, menunggu hujan sedikit reda agar bisa pulang, masalahnya, Thi itu tak bisa lama-lama di bawah hujan, dia akan demam dan Tawan tentu saja tak ingin itu terjadi.

“Bibir kamu udah pucat.” Tawan berkata, mengelus bibir ranum kekasihnya.

“Sayang banget aku sama kamu Thi cantik.”

“Thi juga sayang sama Tay-ta.”

•••

-Joya-