—Sayang, Thi.

•••

Pria manis dengan poni menutupi dahi itu menyerka air mata yang terus menerus jatuh membasahi pipinya dengan kasar, setelahnya ia bergerak—beranjak dari kasur besar yang tadinya ia duduki.

Langkah gontai membawa dirinya ke lemari besar berada, menggeser daun pintu secara perlahan dan mengambil semua susunan baju rapi bagiannya.

“Gausah pegang-pegang aku.” Thi menepis tangan kanan yang tua.

“Kamu udah usir aku, kamu emang udah gak sayang sama aku. Cara marah kamu tadi itu mirip sekali gimana cara ayah marahin Ibu, bahkan aku lebih takut sama kamu.”

“Meledaknya kamu tadi bikin aku sadar kalau emang punya orang untuk menghabiskan waktu berdua, bersama-sama, itu gak ada.”

“Iya ini rumah kamu, semuanya pake uang kamu, kamu gak nge-izinin aku sama sekali buat ikut bantu, biar apa? Biar lebih enak ngusir aku, iya kan.”

Lelaki manis itu menyelesaikan semua kalimatnya bersamaan dengan baju yang sudah ia kemas rapi-rapi di dalam sebuah koper abu-abu.

Pria berkepala empat itu hanya diam membiarkan yang muda mengeluarkan segala keluh yang ada di kepala, setelahnya Tawan benar-benar menarik Thi untuk masuk kedalam pelukan yang dirinya ciptakan.

Tangis yang muda pecah seketika, tak lagi ia tahan-tahan.

“Badan kamu panas.” Yang tua berucap dengan begitu lembut sembari mengelus rambut halus kekasih hatinya.

“Tetaa udah gak sayang Thi.”

“Sayang.”

“Enggak, tadi usir aku.”

“Enggak, Thi.”

“Iya, kamu marah-marah, aku takut sama kamu.”

“Maaf, ya. Aku khawatir, aku takut kamu kenapa-napa, aku gak bilang sama aku kalau kamu sakit, Thi.”

“Karena kamu masih gak mau ngomong sama aku, tapi tadi Tetaa marahnya serem, Thi takut.”

“Engga marah lagi, aku sayang-sayang kamu sekarang.”

“Tetaa suruh aku pulang ke rumah Ibu sendirian, Tetaa udah gak sayang kan sama Thi.”

“Sayang, sayang sekali Mbul.”

“Tetaa marahin Thi.”

Netra hitam pekat yang tua menjatuhkan pandangannya pada Thi, lelaki manis itu menyandarkan kepalanya di dada Tawan dengan kedua mata terpejam.

“Mana yang sakit, Mbul?”

“Kepala aku pusing.”

“Ayo baring, aku temenin.”

“Mau sama Ibu, Tetaa marahin Thi.”

Tawan memapah lelakinya untuk berbaring ke atas ranjang, menyerka dengan hati-hati kedua sudut mata Thi yang berair, “Maaf, Cantik.”

Pemilik netra hitan gelap itu kembali pada posisi semula begitu pergerannya ingin mengambil air hangat untuk mengompres Thi ditahan oleh yang muda.

Si Cantik menyembunyikan wajahnya pada ketiak yang tua, “Emang dari dulu gak ada yang sayang sama Thi.”

“Ayah gak sayang, Tetaa juga gak sayang aku.”

“Gak ada yang sayang aku.”

“Kookiee sayang sama Thi, cuma dia udah pergi.”

“Tetaa, katanya sayang aku, tapi tadi bikin Thi takut sekali.”

Lelaki berkulit putih bersih itu terus bersuara, bergumam tanpa henti yang membuat rasa bersalah Tawan semakin menjadi-jadi.

Seharusnya ia lebih bisa menahan diri agar tak meledak di depan suaminya, seharusnya ia diam saja, terusnya tadi ia menghentikan ucapannya begitu netra mereka bertemu.

“Maafin aku, Thitipoom.

•••

—Joya.