Sebentar lagi.

•••

“Kalau kita hidup gak butuh uang, kamu mau ngapain?” Sebuah tanya diberikan sang buah hati pada pria paruh baya berkulit seputih salju yang berada di hadapannya.

“Hmmm.” Ia tampak menimang-nimang jawaban yang akan diberikan, hingga setelahnya kata ini terucap, “Aku mau punya toko bunga, yang ada tempat ngopinya juga karena aku suka kopi, nanti setiap paginya aku mau ngasih orang-orang yang lewat satu tangkai bunga, satu cangkir kopi berserta satu kue kering.” Thi menjawab dengan binar tampak jelas sebelum kembali melanjutkan ucap yang belum selesai.

“Aku mau pergi sama kamu dan Daddy, kemana aja asal kita bersama tanpa perlu ngatur jadwal karena kita bertiga punya kesibukan sendiri.”

“Kalau Daddy?” Kini, netra coklelat yang termuda menoleh pada pria tan yang berada tepat disebelah sang Papa.

“Punya waktu lebih banyak untuk Papa Thi dan kakak Lolly.

Singkat, setelahnya pria berkepala enam itu tak lagi bersuara, hanya diam dengan kedua tangan yang sibuk memotong buah naga untuk suami dan anaknya.

“Kalau kamu sendiri?” Thi bersuara setelahnya.

“Apa ya, belum ada jawabannya.” Lolly menjawab dengan tangan kanan meraih satu potong buah naga.

“Yaudah, Lolly jawabnya nanti aja, pas jawabannya udah ada, gak perlu sekarang.”

“Oke, nanti kalo udah ada jawabannya aku kasih tau Papa Thi sama Daddy.”

“Anak Thi apa yang kurang? Bahan makanan masih ada kah? Peralatan mandi sudah ada yang habis?”

“Masih ada semua kok.”

“Nanti kalo ada yang habis atau mau diganti baru, bilang Papa atau Daddy aja.”

“Kamu sama Daddy tidur di sini malam ini?”

“Pulang deh, sebentar lagi.”

“Tidur di sini aja ya, Pa.”

Thi menoleh kesamping hingga yang tua menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, persetujuan.

“Bapak Tawan udah approved, jadi iya.” Si putih salju kembali bersuara lengkap dengan ibu jari yang ia pamerkan pada sang buah hati.

“Kalau Lolly gak keterima di perusahaan ini, gak apa-apa kan?” Cicit yang dapat di dengar sepasang orang tua di sana, nada ragu yang sayup-sayup masuk ketelinga Thi dan Tawan, kepala yang menunduk dalam-dalam dari sang gadis berkepala dua.

“Gak apa-apa banget.”

“Gak apa-apa, Kak. Berarti rezekinya kamu bukan di sana.”

“Papa sama Daddy gak kecewa kan?”

“Anak Thi, kamu itu kan lagi usaha, dan setiap usaha gak selalu serta merta sesuai sama apa yang kamu inginkan, gak apa-apa kalau bukan di perusahaan itu, kamu bisa usaha lagi di tempat lain, kami akan selalu dukung kamu, akan ikut di setiap usaha kamu, jangan takut sendirian Lolly, Papa sama Daddy ada buat kamu.”

“Tapi Lolly belum bisa bahagiaan kamu sama Daddy.”

“Kakak Lolly, bahagia kami bukan tanggung jawab kamu, gagal kamu pun bukan sebuah kesalahan. Gak apa-apa kalau yang ini gagal, coba lagi di tempat yang lain, gak usah buru-buru karena kami nunggu kamu selalu.” Tawan ambil suara.

“Daddy bener banget tau, kamu tuh gak perlu gimana-gimana untuk buat kami bahagia, Lolly cukup bahagiain diri sendiri, sayang sama diri sendiri, aku sama Daddy ikut bahagia.”

“Aku udah bahagia sejak kamu mau jadi anakku, udah sayang sama aku, udah mau di peluk sama aku, udah mau berantem sama aku, Papa Thi udah bahagia, kamu gak perlu usaha terlalu keras untuk kebahagian aku dan Daddy.”

“Anak Thi kalau mau nangis jangan ditahan-tahan, keluarin aja karena kami akan peluk kamu setelahnya.”

Kesepuluh jemari gadis itu bergerak menyembunyikan wajah sedunya, isak tangisnya terdengar jua, air matanya pun keluar dengan sendirinya.

“Lolly takut.”

Pemilik netra hitam pekat itu bergerak dari tempatnya, menarik sang anak sematawayang untuk masuk kedalam rengkuhan.

Telapak tangan besar yang selalu bisa menenangkan, usapan pelan yang selalu bisa mengusir segala hal buruk yang ada di kepala, dan kedua orang tuanya yang selalu siap pasang badan untuk segala hancur yang terasa.

“Perasaan yang sedang kamu rasakan itu wajar, kak, gak apa-apa.”

Tangisnya mulai mereda, rengkuhan sang ayah mulai melerai, dan wajah sembab mulai terlihat m, tak lagi bersembunyi di dada Tawan.

“Anak Thi, malam ini nyerah dulu sama dunia, nangis semaunya, capek sepuasnya, besok pagi kita berjuang lagi ya, pelan-pelan aja.” Thi ikut memeluk anak gadisnya, ikut mengusap rambut panjang yang tergerai indah.

“Lolly mau makan roti bakar keju.” Sang gadis berucap setelah tangis panjangnya.

“Lihat Mbul, kamu versi wanita.”

•••

—Joyana.