—Sebentar pagi.
•••
“Kamu kenapa ngeliatin aku terus?”
“Gak ada.”
Lelaki manis dengan poni rapi menutupi dahi itu mengangkat kedua bahu—mengabaikan yang tua, mulai sibuk pada kegiatan sebelum tidurnya, menggunakan skincare.
Bermenit-menit mendiamkan sang suami hingga ia melangkah mendekat, “kamu itu hampir 24 jam di dalam ruangan ber-AC, pake pelembab.”
Yang diberitahu hanya diam membiarkan jemari-jemari sang lelaki manis bergerak pada wajahnya.
“Cantik.”
“Makasih udah puji Thi, kamu tadi gimana harinya?”
“Gak gimana-gimana.”
Decakan sebal itu keluar dari mulut yang muda setelah mendengar jawab Tawan, “Apa gak ada yang lain jawaban kamu? Hampir 10 tahun nikah jawabannya gak pernah diganti.”
“Mbul gimana harinya?”
“Hmmm baik, tadi Thi pas jemput Lolly makan siang di monsieur spoon nyobain yang lagi viral, kamu tau gak Taa makanan yang lagi naik daun?”
“Enggak.”
“Nanti deh aku ajakin kamu.”
Thi melangkah meninggalkan yang tua sendirian di ujung ranjang mereka untuk meletakkan pelembab wajah yang ia pakaikan pada Tawan barusan.
Iris kelabunya melirik jam dinding di sudut kamar, dan berjalan, dan kembali mendekat, dan mendaratkan bokongnya tepat dipangkuan si dia.
Perlakuan tanpa alasan yang Thi lakukan itu membuat si pria tan mendesis lengkap dengan tangan kanannya meremas paha yang muda.
“Thi, ngapain?”
“Menurut kamu ini ngapain?”
“Kamu lagi pengen ya sayang?”
“Seharusnya aku yang nanya gitu? Kamu kenapa ditahan-tahan terus coba.”
“Besok harus kerja.”
“Gak mau jadinya?”
Ada menit-menit dimana Tawan tak bersuara namun jemarinya bergerak menggerayangi paha dalam si manis dalam bungkam yang dirinya berikan.
“Tangannya gak sopan ya, Tawan.”
“Boleh Thi?”
Yang ditanya mengembangkan senyumnya—bangkit dari pangkuan Tawan vihokratana untuk sekedar membalikkan tubuh agar bisa saling tatap, saling pandang, dan berujung saling melumat, mengecap bibir sang pasangan, mengigit kecil bilah bawah yang muda dengan lidah sesekali ikut serta didalam kegiatan yang keduanya lakukan.
Tangan Tawan itu tak bisa diam sepanjang cumbuan dilakukan—menyelinap masuk masuk tanpa izin kedalam baju tidur yang dikenakan Thi.
Dia meraba, mengelus, memilin, hingga desis dari yang muda dirinya dapatkan.
“Kamu maunya aku gimana?” Thi memberi sebuah begitu cumbuan keduanya terlepas.
“Kamu nyamannya gimana Thi, lakuin aja.”
Thi tak pernah merasa dirinya benar-benar puas dengan jawaban Tawan ketika mereka melakukan hubungan seks, lelaki itu terus-menerus menempatkan Thi kedalam urutan pertama dan mengabaikan keinginan dirinya yang sesungguhnya.
“Gak boleh aku terus, kamu, maunya gimana?”
“Kamu gimana aja aku suka.”
“Gak ada jawaban kayak gitu Tawan.”
“Kulum dong.”
Thi kembali mengembangkan senyumnya mendengar jawaban yang Tawan berikan, setelahnya ia berlutut di depan kepunyaan sang suami.
Ada tangan bergerak menciptakan friksi lebih banyak di sana, membiarkan napas berat yang tua masuk dengan begitu merdu kedalam indera pendengarannya—ia memberikan Tawan nikmat tiada dua malam itu.
Si dia itu tak sepenuhnya dapat mengontrol diri begitu netra hitam pekat miliknya mulai terbuka secara perlahan—mulai berani menatap apa yang tengah Thi kerjakan di bawah sana, mulai berani mengikutsertakan jemari untuk meremat rambut yang muda, menekan semakin dalam, menuntut semakin cepat, mengabaikan barang sebentar rengekan yang muda.
“Aku udah mau keluar sayang.”
Memangnya apa yang bisa Thi lakukan selain mengangguk dan setuju ketika sang suami akan sampai pada titik terpuasnya.
“Jangan ditelan.”
“Telat banget ngelarangnya, rahang aku mau lepas deh.”
Tawan terkekeh pelan mendengarnya, mengelus sisi-sisi wajah yang muda dengan begitu pelan, “Maaf ya, sakit gak?”
“Kamu mau dilanjutin yang tadi apa engga?”
“Aku tanya apa tadi Thi.”
“Jangan marah.”
“Aku gak marah, cuma bertanya dan kamu belum menjawab.”
“Enggak sakit, mas.”
“Yaudah.”
“Yaudah apa?”
“Ayo dilanjut.”
Dan malam ini Thi tak perlu memutar otak lebih banyak untuk mendapatkan jawaban persetujuan dari suaminya.
Tawan itu adalah sebenar-benarnya tepat berpulang, tempat mengadu yang siap menyedia bahu, tempat tertawa berbagi bahagia bersama.
“Ahhhh.”
Satu desahan tak dapat dirinya samarkan begitu dua jemari sang suami berada di dalam dirinya.
“Cantik.”
“Cantik banget Thitipoom.”
Thi ingin menangis.
Dirinya sudah menangis mendengar kalimat dari yang tua, dirinya sudah menangis mengais putih yang akan datang, sebentar lagi, sedikit lagi.
Dan Tawan, tak sampai hati untuk mengentikannya.
Titik-titik keringat itu disapu pelan-pelan, diberi pula kecup lembut penuh kasih dan sayang yang semoga dapat dirasa oleh Thi, pun dengan kalimat-kalimat manis yang terucap—memuja paras ayu sang bulan terang-terangan.
“Terima kasih Thi, sudah menjadi suami aku.”
Yang muda napasnya masih satu-satu, belum sepenuhnya sadar akan apa yang Tawan ucapkan sedari tadi, ia masih bergelung pada sisa-sisa nikmatnya.
“Aku udah gak tahan banget, ayo dong.”
“Aku minta izin dan maaf ya kalau sekiranya nanti ada perlakuan diluar kendali yang membuat kamu gak nyaman, tolong dibilang aja ya sayang.”
Dan Thi menangis.
Dan ia terharu.
Dan dirinya merasa disayang.
Tak ada balasan kalimat yang bisa Thi berikan sebagai jawaban atas apa yang Tawan katakan, maka dari itu ia memberikan sebuah ciuman paling romantis sebagai bentuk bahasa cintanya.
“Aku buka bajunya boleh, Thi?”
Dan apalah Thi untuk menolak tawaran manis itu.
Satu persatu kancing baju tidurnya dibuka menampilkan kulit telanjangnya pada yang tua, membiarkan bibir sang pria menjelajahi seisi tubuhnya—memberi tanda, mengingit pelan, atau sesekali lidah nakalnya meliuk-liuk pada puting susu pasangannya.
“Masukin, please.”
“Apanya?”
“Kamu.”
Tawan benar-benar menyukai bagaimana wajah putus asa Thitipoom-nya saat ini, bagaimana si dia bergerak gelisah di atas ranjang berisikan mereka berdua, bagaimana mulutnya terbuka lengkap dengan desahan merdu yang terdengar, pun jua bagaimana jemarinya menarik apa yang bisa ia raih sebagai bentuk pelampiasan atas apa yang Tawan berikan.
Nikmat, sangat.
“Cantik.”
“Mas, kamu besar banget.”
Dan Tawan bergerak cepat, membenamkan keseluruhan dirinya pada sang tercinta, menimbulkan racauan tak jelas dari pria di bawahnya.
Hingga dihentakan terakhir yang diberikan oleh Tawan membuat seluruh kewarasannya mengawang entah kemana, kedua matanya terpejam erat membiarkan deru napas yang saling berkejar-kejaran.
“Makasih ya Thi.”
“Aku minta maaf ya Tetaa kalau tadi ada salah-salah sama tubuh kamu.”
“Kamu gak ada salah, kan udah bikin enak.”
“Cukup memangnya sekali?”
“Cukup Thi, makasih ya, udah jadi suami aku, makasih udah menerima kelebihan dan kekurangan aku, tetap sama aku sampai lama-lama.”
“Sama-sama ya Tawan, kembali kasih atas semuanya, kembali kasih karena udah sayang aku, perasaannya terasa sampai sini....” Thi berucap dengan tangan kanan memegang dadanya, “Kembali kasih karena kamu gak kemana-mana dan tetap sama aku, mari hidup yang sehat, bahagia, dan sampai lama-lama.”
•••
—Joyana.