—Semoga ada tempat di mana dirimu untuk mengadu.
•••
Perempuan berusia dua puluh lima tahun itu membenarkan sekali lagi kacamata yang dikenakannya, senyum manis itu langsung menghiasi wajah cantiknya begitu netranya menangkap range rover melaju kearahnya.
Lollita semakin mengembangkan senyumnya ketika pintu mobil ia buka menampilkan pria tan paruh baya yang menatapnya dengan teduh, “Makasih Dad udah jemput kakak.”
Tawan hanya mengangguk, setelah anaknya duduk dengan nyaman di kursi penumpang barulah ia kembali melajukan kendaraan beroda empat itu membelah jalanan malam kota jakarta di guyur hujan deras.
“Papa kok gak ikut?”
“Daddy tinggal di starbucks ada om Nattawin, papa nunggu di sana katanya. Kakak mau langsung balik ke apartemen atau ikut Daddy?”
“Ikut Daddy dong! Aku mau nyamperin papa Thi sama mau ketemu om Aponat.”
Lelaki tan itu kembali mengangguk, tangan kirinya terulur mengelus pucuk kepala sang buah hati, “Gimana harinya?” Ia bertanya.
“Good, Daddy gimana hari ini?”
“Baik-baik aja.”
“Dad, kenapa kamu gak pernah lagi aku perhatiin ganti-ganti jam tangan?”
“Ini yang bagus.”
Perempuan vihokratana itu mendengus, “Jam tangan kamu banyak yang lebih mahal dari itu juga ada, harus di pake juga dong.”
“Tapi ini kakak yang beli, pake uang kamu.”
Lollita tak bisa menjawab, benar-benar kehilangan kata-katanya setelah mendengar ucapan yang keluar dari mulut sang ayah, jam tangan itu ia beli dua tahun yang lalu begitu gaji pertamanya ia terima, jam yang melingkar di pergelangan tangan sang empu itu tak semahal milik Tawan yang berjejer apik di lemari kaca kamarnya.
“Nanti aku beliin yang lebih bagus ya.”
“Gak usah, kamu pake uangnya buat keperluan kamu sendiri aja, bahagiakan diri kamu ya, mana tau pas tinggal sama Daddy ada keinginan kakak yang gak tercapai.”
“Permintaan aku yang gak kamu turutin itu apa coba? Gak ada Dad.”
“Sudah makan?”
“Udah, tadi di gojekin Papa nasi bebek.”
“Cokelatnya udah di makan?”
“Kamu belinya banyak banget padahal aku cuma minta satu, udah aku makan tapi ya masih banyak di kulkas.”
“Patah hati itu sembuhnya gak sehari, Lollita.”
Sang anak kembali terdiam, kedua kelopak matanya mengerjap berulang kali hingga suara sang ayah kembali terdengar.
“Bukan Papa yang bilang, kak, Daddy tau pas kamu telepon malam itu minta cokelat bukan karna kamu lagi kepengen, Daddy tau suara kamu gemetar nahan nangis.”
“Kamu sekarang beneran udah gede, nangisnya bukan lagi karena gak di izikan Papa untuk ikut Momma arisan, udah ada orang lain yang buat air mata kamu jatuh.”
“Daddy gak bisa cegah sakit hati kamu nak. Jadi Daddy akan bantuin kamu untuk sembuh dari patah hati itu, gak apa-apa sedih, gak apa-apa kakak nangis tengah malam, gak apa-apa juga kalau mau nangis sambil Daddy peluk, Daddy akan buat kamu bahagia lagi.”
“Daddy pernah bilang ke kamu kan pas kamu gagal kuliah hukum, kalau satu jalan ketutup jalan-jalan yang lain bakal kebuka, jalan yang lebih baik.”
“Sama kayak jatuh cinta, kalau kamu gagal sama yang ini itu mungkin pertanda dari semesta kalau dia memang bukan yang terbaik buat anak Daddy.”
“Dan semesta akan ganti sama yang lebih baik lagi. Semesta akan kasih kamu bahagia.”
“Kamu kalau nangis mirip sekali sama Papa.” Sang Ayah melirik sembari menyerahkan tisu pada anaknya.
“Aku kenapa gak dapet yang kayak kamu aja?”
“Kamu harus dapat yang lebih dari Daddy, tapi jangan cepat-cepat ya nak.”
Lollita terkekeh di sela tangisnya, mengangguk dua kali menyetujui ucapan Tawan vihokratana, “Aku masih mau jadi anak kecilnya kamu sama Papa Thi.”
“Makasih ya Daddy, makasih udah sayang sama aku, masih udah mau nganterin aku cokelat malam-malam, makasih banyak-banyak.”
“Sama-sama Lollita.”
“Kamu lagi nyetir jadi gak bisa minta peluk, nanti peluk aku ya di depan papa Thi.”
•••
—Joyana.