[Selaras]
•••
Ini cerita pertama yang berani saya bagi untuk kalian para jomblowan dan jomblowati, tapi buat kamu yang sudah punya kekasih juga boleh aja sih baca cerita ini, mana tau bisa jadi referensi tapi tidak bermaksud menggurui hahaha. Pertama kali saya bertemu manusia sok akrab namun sialnya punya senyum paling memikat, untung juga kala itu saya sedang sendiri, niatnya kan mau jalan-jalan di sore hari, siapa sangka malah bertemu sama lelaki yang membuat saya berhenti mencari orang yang pas di hati.
Dulu waktu saya tanya namanya siapa dia bilang “Percuma juga saya kasih tahu nama saya kalau ujung-ujungnya nanti kamu panggil sayang.” aneh kan, saya dulu ingin sekali cepat-cepat pulang untuk menghindari lelaki dengan parka hitam ini.
Dua hari setelah kejadian, saya datang lagi, sama sekali tidak mengharapkan bertemu dengan manusia aneh itu, namun ya namanya juga semesta yang suka bercanda, ketika sepasang sepatu usang milik saya berada di ambang tempat yang di tuju, lelaki dengan parka hitam itu malah berdiri beberapa meter dari saya, lengkap dengan senyum yang begitu candu di pandang lama-lama.
Saya mau putar balik, namun kayaknya dia memang punya seribu satu cara untuk membuat saya terus sama dia aja sore itu, dia bilang “Anggap saja kalau saya ini tour guide-nya kamu.” padahal saya sudah hapal sekali apa saja yang ada disini, namun karena senyuman manisnya itu, saya kalah untuk pertama kali.
“Selamat datang di pasar antik jalan surabaya, kamu mau kita kemana dulu? Asal jangan minta saya kerumah kamu bawa orang tua saja, tapi kalau kamu mau boleh juga sih.” ucapan kepalang panjang itu keluar dari mulutnya, saya masih begitu ingat bagaimana gaya dia berbicara dan gestur tubuhnya.
Tapi entah mendapat keberanian dari mana saya malah menjawab, “Emang kamu siapa sampai harus repot-repot bawa keluarga datang kerumah saya?'
Dia tersenyum begitu manis waktu itu, dia menjawab dengan santai namun kenapa jantung saya berdebar-debar tak karuan, begini jawabannya. “Bisa jadi saya adalah orang untuk kamu berpulang.”
Dari ketidakjelasan dan bicaranya yang asal keluar, dia benar-benar menemani saya sore itu, benar-benar menjadi seorang tour guide (abal-abal) untuk saya. Dia mengajak saya untuk melihat apa saja yang ada di tempat ini, mulai dari melihat berbagai macam barang antik seperti pajangan logam, telepon jaman dari tahun 70-an, kamera kuno, lukisan, dan lainnya.
Lalu setelah itu dia mengajak saya untuk berfoto bersama, katanya untuk kenang-kenangan, dia kayaknya memang tau banyak soal kamera, karena pada saat itu saya terlampau malas berdebat, ya akhirnya hanya mengikuti saja arahan yang dia berikan, tanpa bantahan sama sekali, saya masih ingat bagaimana wajah bingungnya melihat deretan kios, lalu dia berucap. “Kita tuh bisa dapet foto dengan background yang vintage banget lho, saya jadi bingung mau dimana kita fotonya, bagus-bagus semua.”
Saya pikir berfoto sama dia itu gak ada seru-serunya, ternyata saya salah, malah di saat itulah saya bisa tertawa hanya karena cara dia berpose sangat tak di duga, lucu sekali. Selesai mengabadikan yang katanya akan menjadi kenangan itu dia mengajak saya kembali masuk pada sebuah toko, pemuda dengan parka hitam itu bertanya begini pada saya, “Menurut kamu kalau saya mau ngasih untuk orang yang di anggap istimewa bagusan kacamata yang mana ya?”
Iris kelabu saya mengamati berbagai macam kacamata yang berada di depan mata. Sampai akhirnya pilihan saya jatuh pada kacamata berwarna cokelat gelap bebahan kayu jati, kata penjualnya begitu. Tanpa menimang-nimang pilihan saya pria itu langsung setuju, membeli kacamata pilihan saya sambil berkata. “Pasti orang itu suka sama kacamata ini.”
Saya ya diam saja, hingga tepat di pukul lima sore seluruh toko sudah tutup semua, tapi itu belum menjadi akhir dari pertemuan saya dan dia, pria beriris hitam pekat lengkap dengan bulu mata lentik dan alis tebal rapi itu mengajak saya untuk berjalan-jalan lagi, tapi kali ini katanya tanpa tujuan yang pasti.
Entah bagaimana alurnya, saya bisa jadi banyak bicara sama dia, di sepanjang perjalanan kami tak berhenti bertukar cerita, dan banyak tertawa bersama. Dari pertemuan kedua itu saya memutuskan untuk meng-iyakan ajakan dia agar kami punya pertemuan-pertemuan berikutnya.
•••
Aneh gak sih seminggu setelah kejadian itu saya selalu ingin bertemu sama dia, kami tak bertukar nomor telepon, pun tak tau nama satu sama lain, yang saya ingat dia bilang dia mau di panggil sayang.
Kesepuluh jemari saya menyisir rambut agar terlihat rapi, tak lupa memakai parfum agar wangi, sepasang sepatu usang yang selalu saya pakai sudah melekat dengan pas di kedua kaki. Senyum manis milik saya terukir tanpa sadar, karena hari ini adalah pertemuan ketiga saya dengan dia.
Kali ini kami tak lagi bertemu di pasar antik, melainkan di Taman Suropati, salah satu taman yang cukup menarik yang berada di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Pemilik iris kelabu berkilau itu mulai melirik jam yang melingkar di tangan kirinya, angka empat sore tertera disana, Langkah saya terhenti tak kala pandangan kami bertemu.
Kala itu seulas senyum simpul saya berikan padanya, dia lantas berkata. “Kamu tuh kalau senyum bukan main indahnya.” tapi untung saja dulu pipi saya tidak bersemu, kalau iya kan bukan main malunya.
Pria itu masih mengenakan parka hitamnya, namun kali ini ada tulisan kecil sebagai pemanis di bagian dada sebelah kiri, tulisannya Memento mori, saya sendiri gak tau artinya apa.
“Manis, kali ini saya gak mau jadi tour guide-nya kamu.” ia berucap, namun saya hanya menaikkan sebelah alis, lantas pria itu kembali melanjutkan katanya, “Saya mau jadi teman, teman yang bisa memberi kenangan indah kalau tiba-tiba kamu ingat saya.”
“Iya terserah aja mau gimana, sekarang kita mau ngapain?”
Seusai saya bertanya, pria dengan parka hitam itu mulai mengajak saya untuk memberi makan merpati, katanya kalau kesini itu lebih cocok bawa anak kecil, tapi dia bilang karena dia belum punya anak pun dengan dia anak satu-satunya di keluarga jadi dia mengajak saya, katanya lagi muka saya kayak anak kecil.
“Tadi malam saya cari di google apa aja yang bisa di lakuin disini, dan saya dapet tujuh aktivitas yang bisa kita lakuin berdua, tapi kayaknya mending kita ngikutin enam saja, soalnya di nomor lima tuh di suruh olahraga.”
“Kamu sampai searching di google untuk ini?” Saya bertanya, karena merasa tak habis pikir saja sama jalan pikiran pria yang berada di depan mata saya ini, aneh-aneh saja kelakuannya.
Sebuah anggukan dia berikan lengkap dengan senyuman manis yang di tampilkannya, “Iya, yang pertama itu memberi makan merpati. Kan itu sudah kita lakukan tadi, yang kedua adalah menghirup udara segar.”
Mendengar tiga kata di akhir kalimat yang dia lontarkan, gelak tawa saya tak bisa di tahan, apaan itu? Dia memang aneh, namun kenapa keanehannya dia malah bikin saya suka?
“Ayo manis, hirup udara segar sebanyak-banyaknya.” dia berkata dengan begitu santai saat itu.
“Udara segar itu adanya di pa-”
“Ikutin aja ya petunjuk dari google-nya.” potong pemuda berkulit tan itu dengan cepat.
Lagi-lagi, kekoyolan itu kami lakukan berdua, setelah menghirup udara yang katanya segar, dia mengajak saya untuk melihat monumen ASEAN, tak lupa mengabadikan moment lewat kamera yang selalu di bawanya kemana-mana. Hingga tanpa sadar matahari sudah hilang, di gantikan dengan bulan dan hamburan bintang yang menghiasi langit malam.
“Dua aktivitas berikutnya adalah, wisata kuliner sambil menikmati malam hari di taman Suropati.”
Saya kembali menyetujui, dia bilang kalau kesini tak lengkap jika tidak makan nasi gila, di karenakan ini adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di taman ini, jadi saya lagi-lagi meng-iyakan ucapan pria itu. Ternyata semakin malamnya hari semakin banyak orang yang datang kesini, apa mungkin karena ini malam minggu? iris kelabu milik saya menyapu keseluruh tempat, area taman cukup banyak di hiasi lampu-lampu bernyala kuning, angin malam yang berhembus membuat taman Suropati kian terasa syahdu.
“Nanti uang kamu saya gant-”
“Kita bertemu hari ini karena ajakan saya minggu lalu, jadi biarin aja ya pake uang saya.” dia memotong ucapan saya dengan cepat.
“Jadi, kalau minggu depan saya yang ngajak kamu untuk bertemu, jajannya pakai uang saya, ya?”
“Jadi kamu mau ngajak saya untuk melakukan pertemuan tanpa ujung?”
Pertanyaan yang dia lemparkan tak bisa saya jawab, berakhir dengan sebuah senyum manis yang terpantri di wajah lelaki itu.
Tepat di jam delapan malam saya dan dia berakhir duduk di kursi besi dengan es krim yang berada di tangan masing-masing, awalnya sama-sama bungkam, hanya mengamati orang-orang yang berlalu lalang, hingga akhirnya suara dari pemuda yang berada di samping saya terdengar. “Kita belum kenalan sama sekali, perkenalkan, nama saya Tawan vihokratana.”
“Saya kira nama kamu benar-benar sayang.” Saya menjawab.
Kekehan ringan pria itu terdengar, lantas saya menerima uluran tangannya, “Saya Newwiee thitipoom techaapaikhun. Bukan manis yang seperti kamu panggil sebelumnya.”
“Tapi kamu itu benar-benar manis, apalagi kalau lagi tertawa, matanya hilang.”
“Terima kasih pujiannya, Tawan.”
“Gak di panggil sayang?” dia bertanya dengan alis terangkat satu lengkap sebuah senyum menyebalkan miliknya yang tersungging.
“Memento mori, itu tulisan yang ada di parka kamu, artinya apa kalau boleh tau?” si manis bertanya.
“Ingat mati, dari bahasa latin, saya cuma pengen ngingetin diri sendiri aja agar selalu berbuat baik sebelum mati haha, aneh ya?”
Saya menggeleng, “Kali ini kamu gak aneh.”
“Kamu memang suka jalan-jalan sendirian Newwiee?”
Saya saat itu langsung mengangguk dua kali, “Iya, karena saya terlalu malas punya teman kali ya? Gak tau juga, saya lebih nyaman sendiri.”
“Oh begitu, kalau saya sebenarnya suka jalan-jalan bareng temen, bisa saya jadikan buat objek foto juga sih, dan dia dapet foto bagus dari saya, semacam simbiosis mutualisme.”
“Tapi kenapa kita seringnya selfie?” Saya bertanya, karena sepanjang kami bersama pria bernama Tawan ini selalu mengajaknya untuk foto berdua.
“Gak tau, tapi yang saya mau saya harus foto bareng kamu terus.”
“Kamu memang terbiasa gombal ya?”
“Saya bahkan belum pernah pacaran haha, ini gak tau kenapa bisa tertarik sama kamu.”
Kala itu di Jakarta, tepatnya di taman Suropati, pukul delapan malam, 23 desember 2012 semburat merah di pipi Newwiee hadir tanpa permisi sama sekali.
•••
Joya's point of view.
Bandung, 22 mei 2021.
Sebuah senyum manis masih terpantri di wajah tampan namun juga cantik miik pria berumur dua puluh sembilan tahun itu. Iris kelabunya mengamati puluhan photo card yang berada di genggamannya. Hingga sebuah usapan di bagian lengan tertutup kemeja longgar berwarna cokelat susu yang ia kenakan membuatnya menoleh ke kanan.
“Kamu ngapain?” Yang lebih tua bertanya, nadanya lembut sekali.
“Ngeliatin foto-foto kita, liat deh Mas ini tuh pas kita di Banda neira.” Si manis berucap sembari memperlihatkan sebuah photo card pada orang terkasihnya.
Yang lebih tua tersenyum, lalu perhatiannya teralih pada sebuah foto mereka yang tengah tersenyum bahagia, “Ini pertemuan kita yang kedua kali di pasar antik, Newwiee.” ia berujar.
Iris kelabu itu mulai teralih pada photo card yang berada di genggaman suaminya, iya, manusia yang awalnya ia angap aneh itu sekarang malah menjadi teman hidupnya, bercanda sekali memang semesta bekerja.
“Ini di Kelimutu, aku jadi pengen liburan ke Marauke deh Newwiee, kita kan udah tuh ke Sabang.”
“Kita cari waktu ya Mas.”
Keduanya duduk bersila di lantai laminate berdua, dengan setumpuk photo card yang berserakan di depan mata, Tawan meraih ponsel yang berada di saku celananya, lalu mulai menyalakan lagu yang dulu sering sekali mereka dengarkan di kala sedang menghabiskan waktu bersama. Sebuah lagu lama milik Monica berjudul Angel of mine.
Netra keduanya bertemu, saling melempar senyuman manis, Newwiee mulai asik pada kegiatannya memandangi Tawan yang tengah sibuk melihat-lihat kembali kenangan yang pernah mereka lalui bersama-sama, berdua.
Semakin hari, Newwiee merasa jika cintanya pada manusia yang berada di depan mata ini malah semakin besar saja, debaran-debaran ketika ia bersama Tawan masih terasa begitu jelas, tidak mengada-ngada karena memang begitu nyatanya.
Terhitung sembilan tahun bersama membagi segalanya berdua, Newwiee masih begitu senang ketika suaminya memanggil namanya, cara pria berumur tiga puluh dua tahun itu memanggil nama Newwiee memang sempurna, tak di singkat menjadi New, Nuwi, Uwi, ataupun Nunu. Tawan selalu memanggilnya dengan Newwiee, secara utuh.
Berbicara tentang Tawan membuatnya mengingat sesuatu yang pernah Ibunya sampaikan, “Jangan pernah cari pasangan yang kaya, tapi temukanlah dia yang membuat mu merasa bahagia.” Namun sepertinya semesta sangat berbaik hati sekali pada Newwiee, pria berkulit putih bersih itu malah di pertemukan oleh orang yang bisa membuat bahagia dan kaya pula hahaha.
“Newwiee.”
Lamunannya seketika buyar ketika namanya di panggil, Newwiee memajukan tubuhnya lengkap dengan alis terangkat satu, “Saya Mas.”
“Kenapa senyum-senyum begitu?”
“Kamu tampan.” Newwiee menjawab.
pria berkulit tan itu hanya menggelengkan kepalanya sembari tersenyum geli mendengar ucapan Newwiee-nya. “Ini di photo card-nya ada tulisan, Tawan dan cuci piring.” yang lebih tua berucap.
Newwiee tertawa mendengarnya, “Ah aku jadi ingat, kan dulu kamu pernah bahas pas kita lagi duduk berdua di halte-”
“Newwiee kalau kita bertengkar masalah besok siapa yang cuci piring kayaknya keren juga. Aku bilang begitu, kan?” Potong Tawan yang langsung mendapat dua acungan jempol dari pria manis yang berada di depannya.
“Kamu harus tau kalau setelah pertama kali kita bertemu, aku setiap sore datang ke pasar antik buat nemuin kamu.” Tawan berucap, sembari menyusun kembali photo card yang berserakan, meletakkannya di sebuah kotak berwarna abu gelap.
“Aku udah nebak, makanya gak mau datang.” Newwiee menjawab.
Yang lebih tua tampak mencibir tak terima, “Bohong banget, kamu aja selalu meng-iyakan ajakan dari aku setelahnya.”
“Itu biar kamu gak patah hati sebelum berjuang aja.”
Kalau kamu mengangap kami itu akur, itu salah besar, nyatanya semu merah di pipi sering tercipta karena bertengkar.
“Iya, aku iya-kan saja. Yang penting sekarang kalau di tanya nama lengkap kamu siapa, jawabannya Newwiee thitipoom vihokratana.” Tawan kembali ambil suara.
“Mas.”
“Hmm?”
Perlahan, yang lebih muda memutar tubuhnya, menyenderkan dirinya di dada bidang milik Tawan, lalu mengamit dan memainkan jemari suaminya dengan begitu santai, Tawan tersenyum melihat tingkah manja Newwiee padanya.
“Ternyata lirik lagunya Kunto aji itu beneran lho Mas.”
“Lirik yang mana?”
“Dari yang sudah-sudah, hanya kau lah arti rumah.”
“Udah bisa gombal sekarang?”
Yang lebih muda berdecak sebal, “Aku gak gombal, itu kenyataan.”
“Rumah itu bukan perkara atap dan bangunannya, rumah adalah siapa yang ada di dalamnya.” Newwiee kembali berucap.
“Ternyata pertengkaran kita perkara besok siapa yang mencuci piring benar-benar keren ya Newwiee, buktinya sekarang aku benar-benar sama kamu, ujung-ujungnya juga mau siapapun namaku kalau sebelum tidur kamu panggil sayang.”
Newwiee mengangguk, tak mau membantah yang berujung mereka akan berdebat, dia mau berduan, bermesra-mesraan di minggu pagi yang mendung, mungkin sebentar lagi hujan akan turun.
Iris kelabunya berhenti mencari, menatap sebuah kacamata berwarna cokelat gelap dari kayu jati yang terpajang begitu rapi di rak kayu ruang tamu.
“Ternyata kaca mata buat orang spesial itu, buat aku haha.” yang lebih muda bersuara di susul dengan kekehan ringannya.
“Kamu kira buat siapa?”
“Orang spesial-nya kamu.”
“Orang spesial-nya aku ya Newwiee.”
—Kisah ditutup.
•••
-Joya-