[Semua]

•••

Tiga puluh menit setelahnya salju turun dengan derasnya, membuat yang lebih muda mengusulkan jika Tay bermalam di aprtemennya, karena jujur saja ia tak tega membiarkan lelaki itu pulang dalam keadaan badai salju seperti sekarang.

Keduanya duduk di perapian yang berada di ruang tengah untuk menghangatkan diri masing-masing, mereka sama-sama diam, lebih tepatnya Newwiee yang benar-benar bungkam.

Kedua telapak tangan lelaki berkulit putih itu saling bergesekan berulang kali, hingga akhirnya membuat Tay memegang kedua tangan New, menghangatkan lelaki itu dengan caranya.

“Kamu, gak apa-apa gak balik ke hotel?” meski ragu, namun New tetap memutuskan bertanya membuat pria yang berada di sebelahnya tersenyum simpul.

“Tawan ja-”

“Hari ini belum berakhir Newwiee, jadi biarin kita bahagia dulu.” potong Tay.

“Kalau terus begini kamu menyiksa aku namanya, apa tujuan kamu kesini? Buat apa nemuin aku lagi kalau kamu sudah punya istri?”

“Udah?” pertanyaan itu terdengar begitu santai lengkap dengan sebuah senyum manis yang ia tunjukkan.

“Harusnya setelah baca surat itu kamu gak usah lagi temui aku, kita udah lama usai, kata kita udah lama gak ada tapi kenapa kamu tiba-tiba datang menawarkan kebahagiaan dengan waktu semalaman saja, terus besok-besoknya aku harus bisa melupakan kamu dari awal, lagi. Sedangkan aku aja belum sepenuhnya bisa melupakan sosok kamu.”

“Kamu memang berniat balas dendam sama aku?”

“Masih ada lagi? Keluarin aja semua, marahin aku sepuas kamu.”

New melepaskan kedua tangan Tay yang menggenggam tangannya, “Seharusnya kamu yang marah-marah sama aku, tapi kenapa nada kamu gak berubah juga?”

“Aku belum bisa melupakan kamu dan sekarang kamu ada di depan aku, tapi aku harus nerima fakta bahwa kamu udah milik orang lain.”

“Kata siapa?”

Keduanya sama-sama diam setelah ucapan Tay tawan terdengar, iris kelabu itu mulai menelisik wajah yang lebih tua, “Maksud kamu apa?” ia bertanya.

Seulas senyum simpul Tay tampilkan, ibu jarinya terulur kembali menyerka air mata New. “Kata siapa aku udah milik orang lain? Jangan ngarang kamu.”

“Gak usah pura-pura Tay tawan.”

“Siapa yang pura-pura sayang?”

Yang lebih muda terdiam mendengar kata itu kembali terucap, hingga kekehan Tay terdengar mengusik lamunannya.

“Kamu tuh terlalu menerka-nerka, bukan nanya langsung aja sama aku. Coba aku tanya, tau dari mana aku udah beristri?”

“Cincin kamu, kata Gun, dan orang yang pergi kesini sama kamu.”

“Yah, Cantik-nya aku nangis lagi.” ucap Tay kembali menghapus air mata si manis.

“Jadi kamu mau tau yang mana dulu tentang aku?” sambungnya.

“Buat apa aku tau tentang kamu?”

“Masih aja gengsi, perkara cincin ini?” pria berkulit tan itu memamerkan tangan kanan di depan New sembari menggerak-gerakkan kelima jemarinya, “Lucu juga sih, alasan aku pake cincin ini tuh supaya di kira udah nikah jadi gak ada yang berani ganggu-ganggu aku selama gak ada kamu.”

“Bohong.”

“Jujur Newwiee, kalau gak percaya tanya aja sama Jumpol, aku belinya sama dia.” balas Tay.

“Cincin selesai ya? Sekarang ucapan Gun yang bilang aku menikah?”

“Gun gak salah, memang betul aku bakal menikah saat itu, tapi malamnya aku singgah kerumah Ibu kamu setelah nanya ke Gun gak nemuin jawaban kamu tuh sebenarnya ada dimana.”

“Mungkin Ibu juga iba kali ngeliat aku yang udah kayak orang gila nyariin kamu.” Tay terkekeh pelan lalu melanjutkan ucapannya, “Jangan marah sama Ibu lho karena ngasih tau aku, setelah aku tau kamu ternyata ada disini, ini bagian paling serunya memperjuangkan kamu.”

“Apa?” New bertanya begitu polos.

Yang lebih tua menyunggingkan senyum miring, bukannya menjawab ucapan New ia malah langsung beranjak dari duduknya menuju ke sofa, mendaratkan bokongnya disana. Tay menepuk-nepuk kedua pahanya dengan gerakan pelan, “Kalau mau tau, duduknya di pangku sama aku.”

“Kamu gila?!”

“Iya.” Tay menjawab dengan begitu santai, “Sayang, sini.” ia kembali bersuara.

Si manis tentu saja menolak lengkap dengan gelengan kepala, “Yaudah kalau gitu aku gak mau ngasih tau.” Tay kembali berujar.

“Aku malu Tay.”

“Yaudah duduk di samping aku aja, sini.” Tay mengalah, membiarkan New mengambil tempat kosong yang berada di sampingnya.

“Kamu dengar baik-baik karena ini drama abis.” Tay berucap dan anggukan dari New langsung ia terima sebagai jawaban.

“Pulang dari rumah Ibu, aku kerumah Papa, langsung masukin pakaian kedalam koper, berdebat lama banget sama Papa yang emang wataknya keras.”

“Aku udah capek banget sama semua tuntutan beliau, karena sesudah aku tau kamu ada dimana niatku buat pasrah nerima pernikahan itu udah gak ada, saat itu yang ada di pikiran aku cuma aku harus ketemu kamu gimananpun caranya.”

“Lagi-lagi aku kalah debat sama Papa, sampe akhirnya aku nunjukin pisau buat bunuh dir-”

“Kamu ngarang?!” New langsung memotong ucapan panjang Tay.

“Enggak, ini serius emang drama banget. Tapi gara-gara ancaman itu Papa sadar kalau terlepas dari kata anaknya, aku ini juga manusia yang gak bisa diatur hidupnya sama manusia lain.”

“Dan disitu juga Mama ngingatin ke Papa kalau mereka dapetin aku itu susah. Tapi ada kalimat Mama yang sampe sekarang ngena banget di aku.”

“Alasan dia keluar dari rumah dan gak makai nama Vihokratana karena dia gak pernah ngerasain bahagia dari orang tuanya.”

“Setelah aku pikirin, dari dulu emang gak ada bahagianya, semuanya udah di atur sama Papa, lulus sd aku harus smp disini begitu seterusnya. Kata harus itu udah pasti keluar dari mulut beliau.”

“Jika malam itu Papa tetap keukeh sama kemauannya, ya mau gak mau aku harus bunuh diri sesuai apa yang aku bilang tadi, tapi entah gimana ceritanya Papa nangis, Papaku nangis di depan aku sama Mama, New.”

“Hal yang gak pernah aku duga sebelumnya, beliau minta maaf sama aku, singkatnya ya aku sampai disini sekarang.”

Kerutan di bagian dahi Tay langsung terlihat begitu netranya menangkap bahu yang lebih muda bergetar hebat, kepalanya menunduk dalam-dalam.

“Newwiee.”

“Kenapa segitunya buat aku?”

“Karena kamu memang pantas aku perjuangkan, aku gak bakal menikahi orang yang gak pernah aku cintai. Dan aku kesini juga bukan untuk nemuin kamu doang.”

“Seperti yang aku bilang tadi, kata harus memang akan tetap keluar dari mulut bapak Vihokratana.”

“Aku harus bawa pulang kamu secepatnya.”

Seulas senyum tipis di tampilkan oleh lelaki berkulit tan itu, kedua tangannya merentang lebar beserta anggukan agar New mau menerima pelukannya.

Tak ada alasan dirinya untuk menolak lelaki itu lagi, karena sepuluh detik selepasnya yang muda langsung masuk kedalam pelukan hangat pujaan hatinya.

“Jangan pergi lagi, jangan tinggalin aku sendiri.” Tay berbisik.

“Minta maaf Tawan.”

Kelima jemari yang terus mengelus punggung si manis perlahan bertehenti, beralih ke pipi sebelah kiri lelaki berponi, “Gak ada yang salah dan gak ada yang perlu di maafkan. Aku sayang banget sama kamu Cantik.”

“Jadi, Olp-”

“Aku cuma mau ada kita aja malam ini, gak ada orang lain.” Tay memotong ucapannya.

•••

Entah bagaimana jalan cerita setelahnya, karena ucapan terakhir yang di lontarkan Tay tawan, pria berkulit putih bersih itu menarik pujaan hatinya mendekat, menyatukan dua bibir yang sudah lama tak menemukan pasangannya.

Dan tanpa diduga, seorang Tay tawan vihokratana meneteskan air matanya di sela cumbuan yang mereka lalukan, memagut lelakinya dengan begitu mesra, tangan kanannya masuk kedalam sweater rajut yang New kenakan—mengelus pinggang mulus kekasihnya dengan begitu halus.

Ibu jari New menyerka bekas air mata mulai mengering di wajah pria berkulit tan yang berada di atasnya, “Bawa aku ke kamar.”

Ucapan New barusan sontak membuat Tay membelalakkan matanya, lalu ia berucap. “Newwiee kamu yang benar aja.”

“Tawan aku gak bercanda.” ia menjawab mantap, menatap manik sang kekasih perlahan mulai menggelap, memajukan wajahnya untuk kembali menyatukan kedua bibir mereka, letupan-letupan didada terasa sangat nyata, kedua tangan kekar yang sedari tadi mengelus sisi wajah si manis mulai beralih kebawah, mengangkat kekasihnya menuju ke kamar tanpa melepaskan ciumannya, menyetujui apa yang New inginkan, Tay tawan tak akan menolak ataupun membantah.

“Nakal.” ujar Tay ketika pria yang berada di dalam gendongannya itu mulai beralih menyesap kulit lehernya, memberikan satu tanda merah disana seakan ingin mengatakan pada dunia jika lelaki di depannya itu diciptakan hanya untuknya saja.

Tangan kanan Tay memutar knop pintu kayu bercat coklat muda yang berada di depannya, masuk kedalam kamar tidur sang pujaan hati, kembali menutup pintu kamar dengan gerakan kaki sebelah kiri. Yang lebih tua lantas menidurkan kekasihnya di atas ranjang dengan sangat perlahan, mencium kedua pipi gembul New setelahnya.

“Aku mau ciuman.” pinta si manis.

“Iya ini lagi aku cium pipinya.”

“Kamu ngerti maksud aku kemana, aku mau kamu malam ini.”

“Kamu jangan mancing aku terus.” Tay berucap tepat ditelinga lelaki yang berada di bawah kukungannya.

“Aku mau kamu, Tawan.”

Pertahanan lelaki itu rubuh begitu telinganya mendengar lirihan kekasihnya, tatapan keduanya kembali bertemu, saling menatap begitu dalam, membiarkan ribuan kupu-kupu menggelitik perut, kedua kelopak yang lebih muda perlahan menyembunyikan iris kelabu sang empu tak kala Tay tawan menghapus habis jarak diantara keduanya.

Kembali bercumbu untuk beberapa waktu, saling memanggut tanpa perasaan takut-takut, mencurahkan rindu yang akhirnya berujung dengan temu, rasanya tak berubah malah semakin bertambah, bisa di bilang Tay tawan hanya mau New seorang.

Ia hanya mau New untuk terus ada di hidupnya, untuk terus ada di sampingnya, tak lagi pergi kemana-mana, tak lagi meninggalkannya.

Tatanan rambut rapi yang lebih tua sudah berganti menjadi berantakan akibat kesepuluh jemari putih yang meremasnya dengan gerakan tak konstan, seakan memberi tahu jika Tawan selalu unggul dalam hal apapun, termasuk ciuman yang sedang mereka lakukan.

Kesepuluh jemari New meremat semakin erat, membuat pria yang berada di atasnya melepas pagutan yang tercipta, deru napas saling bersahut-sahutan, mata saling terpejam, dan kening yang saling bersinggungan.

“Bukan cuma malam ini, aku mau selamanya. Aku mau kita selamanya bahagia bersama. Menghabiskan waktu berdua.”

“Dari awal aku memang gak pernah keliru tentang rumahku, karena aku yakin semesta punya caranya buat mempertemukan aku dan kamu.” Tay berucap dengan sungguh-sungguh dengan ibu jari yang menghapus titik-titik keringat didahi kekasihnya, melupakan fakta jika diluar tengah hujan salju.

New kehilangan kata-katanya, tak bisa membalas ucapan kepalang manis yang Tay tawan lontarkan dalam keadaan sedekat ini, seintim ini, maka dari itu ia menghadiahkan sebuah ciuman mesra untuk kekasihnya. Orang yang selalu jadi urutan pertama tentang apa-apa yang berharga di hidupnya, apa-apa yang ia cinta.

•••

“Kok ditutup mukanya?” Tay bertanya.

“Malu.”

Kekehan pria berkulit tan itu terdengar, untuk yang kesekian kalianya ia menunduk, memberikan banyak tanda cinta dileher yang lebih muda hingga secara perlahan kedua telapak tangan itu mulai merenggang, menampilkan wajah indah yang menjadi candu di lihat lama-lama.

New memejamkan matanya tak kala kulit telanjang itu saling bergesekan, bersentuhan dengan mesranya, entah siapa yang lebih dulu menanggalkan pakaiannya, karena mereka sama-sama lupa.

“Matiin aja lampunya.” Cicit si manis.

“Aku mau lihat wajah kamu.”

“Tawan matiin aja lampunya aku malu kamu liatin begitu.”

Rasa salah tingkah itu hadir akibat sepasang iris hitam pekat sang empu sedari tadi menatapnya begitu dalam, penuh damba, terlihat begitu jelas bagaimana cara Tay benar-benar mencintainya.

Rona merah di pipi lelaki putih bersih itu terlihat dengan jelas karena lampu kamar tak kunjung dimatikan, “Aku gak tau lagi harus memuji kamu pake kata-kata apa Newwiee.”

“Matiin lampunya, ya? Pake lampu tidur aja.”

Bagaimana cara New meminta, lengkap dengan iris kelabu yang mulai terlihat sayu, Tawan sudah kalah, dan kembali menuruti apa kemauan sang kekasih.

Keadaan kamar langsung temaram begitu lampu utama dimatikan yang lebih tua, namun penglihatannya masih begitu jelas, netranya masih bisa menangkap wajah orang yang tengah berbaring di depannya.

“Newwiee...” Lelaki itu memanggil, nadanya memberat.

“Lakuin aja, apapun yang kamu mau.”

Usai kalimat persetujuan dari pria manisnya terucap, keraguan tiada lagi di dalam dirinya, ringisan New langsung terdengar bersamaan dengan kesepuluh jemarinya meraih kain sprei untuk ia remat kuat-kuat, kedua kakinya langsung terasa lemas, napasnya putus-putus begitu ia tau Tay sudah ada di dalamnya, mengisi kekosongan dirinya dengan begitu pas.

Tay kembali menciumnya, memberinya sebuah pengalihan tentang apa-apa yang masih asing dirasa. Mencurahkan segala cinta yang ada untuk lelaki dibawahnya. Pria berkulit tan itu berkerja dengan gerakan lamban namum tepat, malam ini mereka menyatu, berbagai semuanya bersama, berdua.

“Kamu diciptakan memang untuk aku, dan gak ada yang bisa ngubah itu.” Tay berucap pelan.

Yang lebih muda mengalungkan kedua tangannya dileher kekasihnya, ia melenguh, mendesah, mengerang dengan sesukanya, membiarkan Tay mengambil alih dirinya.

“Tawan...”

“Feels good?” Tay bertanya namun New hanya bisa mengangguk sebagai jawaban.

Sebuah seringaian tercipta menghiasi wajah tampan pria berkulit tan, gerakannya dipercepat, begitu gagah, menghasilkan bunyi kulit saling bersinggungan membuat New semakin memejamkan matanya, merasa semakin tak karuan di bawah kuasa Tay tawan.

Tepat di hentakan terakhirnya lenguhan keduanya terdengar bersahut-sahutan, Tay menjatuhkan tubuhnya diatas New ketika kedua tangan tak lagi punya tenaga untuk menopang tubuhnya.

“Kamu bilang disurat itu kalau nama kita gak ada di catatan semesta mereka bersama hingga tua, kamu kurang teliti ngeliatnya.” Tay berujar pelan.

“Nama TayNew memang gak tertulis disana, tapi bukan berarti kita gak ada.” Lanjutnya.

“Terus yang ada disana apa?”

“Tawan-Thitipoom.”

•••

-Joya-