[Sendiri]

•••

Pelukannya pada boneka besar bergambar minuman kekinian itu semakin erat, wajah yang bersembunyi di balik boneka itu tak kunjung menampakkan diri.

Tangisannya terdengar, namun tetap pelan, bahunya bergetar hebat, seharusnya, setelah kata usai terucap Thitipoom tak boleh menangis, karena yang meminta sebuah usai di antara dirinya dan Tawan adalah dia sendiri.

Tapi, mengapa hilang begitu terasa, dalam kurun waktu kurang dari satu jam, Thitipoom sudah merindukan Tawan-nya.

Perlahan, pemuda berkulit putih itu mengubah posisinya menjadi meringkuk di ranjang dinginnya, tak jua melepas boneka pemberian Tawan pada saat hari jadi satu tahun yang lalu.

Kedua kelopak matanya mengerjap sayu, isakannya perlahan mereda bersamaan dengan beralihnya ia kealam bawah sadar.

•••

Jika tadi tentang Thitipoom, sekarang mari melihat sudut pandang dari Tay tawan vihokratana.

Pemuda berkuli tan dengan kaos hitam yang bersembunyi di balik parka hijau army-nya itu tengah menyesap sebatang rokok yang berada di sela jemarinya.

Kepulan asap keluar dari mulut dan hidung pemuda tampan itu, dia hanya diam, karena sejujurnya Tawan juga tak tau harus melakukan apa.

Memarahi Thitipoom habis-habisan? Tidak mungkin bisa dia lakukan.

Ibaratnya, Thitipoom itu, pemuda berkulit seputih susu itu adalah kelemahannya seorang Tay tawan.

Kalau di tanya bingung, sudah pasti jawabannya iya. Tawan masih heran mengapa Thi bisa dengan mudahnya mengakhiri hubungan yang sudah mereka jalin. Mengapa Thi dengan gampangnya mengatakan kata usai padanya?

Tangan kirinya menggenggam erat pembatas besi balkon kamarnya hingga buku-buku jemari pemuda itu terlihat begitu jelas.

Helaan napas panjang terdengar bersamaan dengan habisnya sebatang rokok yang di sesap dengan nikmat sedari tadi. Tay membuang puntung rokok itu kebawah, lantas kedua tangannya perlahan menyisir rambutnya dengan kesepuluh jemari.

“Salah aku sama kamu apasih Thi?”

•••

-Joya-