[Thi-Tayta]

•••

Langkahnya terlihat begitu tergesa-gesa, sesekali berlari kecil agar mempersingkat waktu. Lantas langsung mendobrak pintu kelas yang tadinya tertutup rapat.

Rahang pemuda itu mengeras tak kala netranya menatap sang pujaan hati tengah menangis tersedu-sedu di pelukan Gun.

Tatapan tajamnya mulai menelisik satu-persatu anak manusia yang berada di dalam ruangan ini, lalu dengan perlahan melangkah mendekati Thitipoom.

“Siapa?” tanya Tawan pada Namtan.

Gadis dengan rambut rapi di kuncir kuda itu menunjuk ke arah seorang murid dengan senyum tengilnya. Tawan diam, namun napasnya memburu, lantas melangkah cepat dan memukul manusia yang menyepelekan ketakutan manusia lain.

Thitipoom itu sangat takut pada kucing, dan bodohnya orang yang berada di depannya ini malah menjadikan ketakutan itu sebagai bahan bercandaan.

“Anjing Tay marah serem banget.” ceplos Gun smile sembari melangkah mendekati temannya, bermaksud untuk memisahkan mereka.

Tawan masih terus memukul lawannya yang sudah terkapar lemas, hingga tarikan dari Bright membuatnya menjauh dari sang pelaku. Tawan lantas melirik Bright dengan tatapan tajam, menepis tangan cowok blasteran itu darinya.

Ia berjongkok, tak memperdulikan banyak pasang mata yang tengah menaruh perhatian padanya, “Habis lo sama gue anjing.”

Setelah berkata, pemuda berkulit tan itu lantas berjalan mendekati Thitipoom, menatap iris kelabu itu dengan tatapan begitu teduh, membawa kekasihnya pergi dari sini, dan kali ini Thitipoom menurut.

•••

Mini cooper milik Tawan menepi bersamaan tengan rintikan hujan yang mulai membasahi bumi, isakan dari sang kekasih masih terus terdengar di telinganya.

“Thi.” panggilan itu membuat yang lebih muda menoleh ke kiri, lantas menerima pelukan Tawan dengan senang hati.

“Aku takut Tawan, gak bohong.”

“Iya tau.” jawab Tawan masih terus mengelus kepala Thitipoom-nya.

Setelah beberapa menit sama-sama diam, saling memeluk satu sama lain, akhirnya Thitipoom terlebih dahulu melepasnya. Menyerka air matanya yang terus mengalir membasahi pipi, Tawan masih diam, namun dengan tatapannya yang begitu dalam.

“Tadi aku balik deluan dari kantin, kelas sepi. Cuma aku sama dia yang lagi gendong kucing.”

“Tawan aku takut.”

Ibu jari Tawan perlahan menyerka air mata Thitipoom, lalu ia berucap dengan begitu lembut “Kalau ada yang begitu lagi bilang ke aku, ya Thi?”

“Tawan kenapa baik banget sama aku?” cicit Thitipoom dengan kepala menunduk, tak berani menatap Tawan-nya.

“Karena aku sayang sama kamu, Thitipoom.”

Jemari yang lebih tua perlahan memegang dagu Thitipoom agar menatap matanya, “Thi, salah aku sama kamu itu apa?”

“Thi yang salah Tawan, Thi yang jahat sama kamu.” si manis menjawab.

Helaan napas dari Tawan terdengar “Thi masih mau gak berjalan beriringan sama aku?”

“Kenapa kamu masih begini sama aku, Tawan? Kenapa kamu gak marahin aku? Kenapa kamu masih begitu baik?”

“Aku sayang sama Thitipoom.”

“Kenapa? Kenapa sayang sama aku?”

“Karena Thitipoom itu, Thitipoom, bukan orang lain.”

“Marahin aku, jangan begini, aku tuh udah jahat sama kamu.”

Tawan terkekeh pelan mendengarnya “Gimana bisa marah? Kamunya begini.”

“Thi, aku gak mau lagi ngabulin ucapan kamu tentang aku yang cocoknya sama Mild. Aku gak bisa Tipum.”

“Thi minta maaf ya Tawan, Thi salah sama kamu, Thi udah jahat, Thi gak jelas, Thi kekanak-kanakan, Thi bikin kamu capek, Thi maunya di ngertiin terus, Thi minta maaf.”

Kedua ujung bibirnya melengkung, membentuk senyuman manis, ibu jari Tawan perlahan mengelus pipi gembul kekasihnya.

“Thi, apa masih mau berjalan beriringan sama aku? Apa Thi masih mau jadi tempat aku mengadu? Apa Thi masih mau jadi pacarnya aku?”

“Bohong kalo aku bilang enggak, Tawan.”

“Thitipoom, dari masalah ini kita belajar bareng buat saling jujur ya, buat saling terbuka satu sama lain.”

“Ya, Thi?”

Anggukan yang lebih tua terlihat, senyum Tawan merekah sempurna, menatap Thitipoomnya dengan bahagia, sebenarnya sederhana saja, mereka perlu memperbaiki komunikasi satu sama lain, mereka harus belajar terbuka, dan harus saling percaya.

“Thi, aku tau kamu sedang tidak percaya pada diri mu sediri, tapi kamu harus tau ya sayang, kamu itu sempurna buat aku.”

“Thi, jangan pernah mikir aku bakalan berpaling dari kamu, tolong kata-kata aku ini di rekam aja takutnya kamu lupa.”

“Thi, aku sayang banget sama kamu.”

“Tawan mau berhenti disini sampai kapan?”

“Sampai kamu nge-iyain untuk berjalan beriringan sama aku.”

Thitipoom menarik Tawan untuk saling memeluk, senyum keduanya terukir indah di wajah masing-masing, “Aku mau kita tetap sama-sama, berjalan beriringan, aku masih mau sama kamu Tawan.” Thi berbisik pelan.

“Terimakasih ya, cantik.”

“Maaf ya, Tawan.”

Lagu milik Bon jovi berjudul thank you for loving me mengalun indah, sontak Thitipoom beralih menatap Tawan dengan senyum manisnya “Bisa aja gombalnya pake lagu.”

“Makasih ya, Thi, aku sayang banget sama kamu.”

“Aku juga sayang banget sama Tawan.”

Ibu jari itu terus mengelus pipi kekasihnya, mata keduanya terkunci, menciptakan sepi yang terasa begitu berarti, hujan semakin deras, lagu masih terus berputar, Tawan perlahan semakin mendekatkan wajahnya pada Thitipoom, membiarkan debaran jantungnya yang menggila.

“Thi, boleh?” yang lebih tua berbisik dengan napas beratnya.

Thitipoom mengulas senyum tipis, lantas mengangguk, mengalungkan kedua tangannya pada leher sang kekasih. Hembusan napas hangat Tawan menerpa wajahnya, perlahan namun pasti bibir keduanya menyatu, bergerak seirama, ciuman pertama ini menjadi candu untuk mereka berdua.

Hujan dan ciuman, memang perpaduan tiada dua.

Thitipoom semakin bersandar pada pintu mobil karena Tawan semakin mengikis habis jarak yang tercipta, membuka dua kancing teratas kekasihnya di sela cumbuan mereka, ciuman itu terlepas tak kala remasan tangan dari Thitipoom terasa di tengkuk Tawan, yang lebih muda menengadah, memberi akses lebih pada Tawan-nya, pemuda berkulit tan itu menyesap leher putih mulus milik kekasihnya dengan nikmat, memberi tanda disana, hingga satu desahan dari Thitipom lolos begitu saja.

Seakan sadar, Tawan langsung menjauh, lantas mengancing kembali seragam Thitipoom “Maaf Thi, aku minta maaf.”

Thitipoom tersenyum saja sembari merapikan rambut Tawan yang terlihat acak-acakan akibat ulahnya, “Gak apa-apa, kita sama-sama mau.”

“Maaf ya sayang, gak harusnya aku begitu.” lirih yang lebih tua, mengecup dahi, kedua mata, hidung, kedua pipi, dagu, dan terakhir bibir bengkak kekasihnya, hanya kecupan ringan bertanda ia benar-benar sayang pada pemuda bernama Newwiee thitipoom.

“Tawan, aku sayang kamu.”

•••

-Joya-