—Tidak baik baik saja.
•••
“Dad.”
“Hmm?”
“Gak enak ya ternyata jadi orang gede, cape, tapi gak boleh ngeluh terus nanti semesta ngira aku gak bersyukur.”
Telapak tangan besar milik sang ayah perlahan mulai mengelus rambut panjang gadis berusia dua puluh lima tahun itu dengan perasaan sayang luar biasa.
“Dad, kamu tuh hebat ya, bisa menghidupi aku sama Papa dengan cukup, gak pernah kurang kalau soal aku sama Papa. Tapi kamu pasti pernah ya nahan keinginan dan kebutuhan kamu buat aku.”
“Lolly minta maaf ya, maafin pas masih kecil banyak permintaannya, maafin pas remaja sering ngelawan sama kamu, maafin pas udah dewasa belum bisa ngebahagiain kamu.”
“Lollita.”
Gadis cantik itu menyerka dengan cepat air mata jatuh tanpa permisi membasahi pipi.
“Aku lagi aneh, Dad. Bawaannya mau nangis.”
“Kamu mirip sekali sama Papa Thi.”
“Memang anak bapak Thitipoom banget ya aku ini.”
Lelaki paruh baya yang berada di sebelahnya itu terkekeh pelan, tangan kanannya bergerak melepas kacamata yang bertengger di hidung mancungnya.
“Anak Daddy sudah dewasa, jadi wanita cantik yang mandiri, udah bisa berdiri di atas kakinya sendiri tanpa bantuan Daddy ya kak.”
“Tapi masih suka minta jajan sama kamu.” Lolly menjawab.
Yang tua hanya memberi sebuah senyum.
“Papa udah sampai di mana Daddy?”
“Kejebak macet.”
“Hahaha pasti mukanya Papa Thi cemberut.”
“Cantik.”
“Iya Cantik sekali Papa Thi, kamu sama Papa semoga di kasih umur yang panjang sama semesta ya, biar bisa nemenin aku wisuda lagi, pergi liburan bareng, foto studio sama-sama,”
“Daddy, pas Lolly bilang aku kadang gak mau jadi anak kamu itu, jangan di ingat lagi ya, Lolly minta maaf banget sama kamu, aku selalu mau jadi anak kamu, gak pernah enggak.”
“Lolly sayang sekali sama kamu sama Papa Thi, sama Momma, sayang sekali. Ternyata gak seenak yang aku kira tinggal sendirian, gak ada omelan Papa Thi itu sunyi banget ya Daddy, pulang kerja buka pintu apartement sunyi.”
“Jadi orang dewasa tuh tanggung jawabnya besar banget ya ternyata, gak boleh bilang gak bisa, gak boleh nangis di depan orang banyak, gak ada yang peluk.”
“Aku mau jadi anak kecilnya kamu aja, tapi gak bisa ya. Aku gak mau berdiri di atas kaki ku sendiri, aku mau mengandalkan kamu aja, aku mau apa apa sama kamu aja.”
“Daddy, kaka cape.”
Tangis sedari di tahan itu tumpah ruah, raganya tak lagi bisa menahan semua beban yang ada di pundak, hingga jalan terakhir yang wanita itu ambil adalah mengadu—menangis di pelukan sang ayah.
“Nangis sampai kamu puas, nak.” Suara bernada lembut itu masuk kedalam indera pendengarannya, bahunya semakin bergetar pun dengan isak tangis menggema di ruang tengah.
Telunjum kiri Tawan vihokratana bergerak tepat di depan bibirnya, mengisyaratkan agar sang suami Cantik yang baru tiba itu tak menimbulkan suara.
Tawan benar-benar membiarkan gadis kecilnya menangis sepuas yang ia mau, di dalam rengkuhannya.
Hingga beberapa saat setelahnya Lollita menyudahi semua yang ia mulai, perlahan menjauh dari sang ayah, kepalanya menoleh ke kanan—menatap sang Papa dengan mata sembab memerah.
“Anak aku kenapa sayang.” Thi baru bersuara, melangkah mendekat pada anak sematawayangnya.
“Ada yang jahatin kamu? Bilang aja sama Papa biar Papa samperin orangnya.”
Lolly menggeleng.
“Cape anaknya.” Tawan membalas.
“Sayang anak Thi sayang, cuti kamu sisa berapa nak? Liburan yuk kita?”
“Thi.”
“Tetaa gak gaul, anak jaman sekarang tuh kalau cape butuh healing.”
“Aku cuma mau tidur sama Daddy sama Papa.”
“Iya, kak.”
“Ayo anak Papa Thi jangan lama-lama sedihnya, kita masak bareng mau? Papa tadi tuh dapet resep cara bikin sup buntut anti gagal ala Momma.”
“Itu resep dari jaman aku kuliah tapi kamu tetap gagal.” Lolly menjawab.
Pria paruh baya berkulit putih itu tampak cemberut, “Ya namanya Papa masih belajar, iyakan Tetaa kalau gagal gak apa-apa kan Tetaa kamu tetap sayang Thi kan?”
“Sayang.”
“Tuh dengerin suami aku.”
“Doain aku ya biar dapet pasangan hidup yang kayak kamu sama Daddy.”
“Lollita, masih kecil jangan bahas nikah.”
“Tetaa anak kamu udah dua puluh lima tahun bukan anak kecil lagi.”
Selanjutnya, Lolly hanya diam menyaksikan perdebatan tiada henti dari kedua orang tuanya dengan seulas senyum tipis menghiasi wajah, ia sadar bahkan di saat dunianya sedang tidak baik-baik saja, dirinya selalu punya tempat untuk berpulang, tempat mengadu, tempat membagi pilu, dan tempat ternyaman untuk ia menangis keras-keras tanpa ada siapapun yang melarang.
•••
—Joyana.