•••

Tangan kanan sang empu bergerak melepas kacamata yang dikenakannya, langkahnya berhenti di depan kursi panjang yang berada di luar ruang rawat inap sang kekasih.

“Mirip kodok.” Off jumpol membuka suara, berusaha mencairkan suasana agar tak membahas kejadian satu jam yang lalu.

“Ntar dia cepu tabungan lu kenapa-napa ege.” Arm bersuara.

“Ntar lo nangis kejer kalo anak lo nikah sama orang lain Jum.” Alice menambahi.

“Gun pacar gue anjir, ngehe lu semua.”

Tay terkekeh pelan menyaksikan perdebatan tak punya ujung ketiga temannya, “Makasih ye, lu bertiga pulang sono.”

“Buset harus banget begini cara ngusirnya?”

“Buat lu sama Arm begitu, kalo buat Alice beda.” Tay menjawab.

“Kalo buat gue gimana Wan?”

“Pulang gih Nyai, tuh ada Arm yang mupeng nganterin elu.”

•••

Sepuluh menit setelah semuanya pulang meninggalkan ia bersama Thitipoom-nya berdua, yang dilakukan Tay tawan sedari tadi hanyalah berdiam diri menatap kekasihnya tertidur pulas.

Sesekali mengamati pergerakan perut Thi lalu beralih lagi menatap wajah damai kakasihnya, orang yang punya kuasa tertinggi di hatinya, orang yang namanya selalu ada dalam doa agar tak pergi kemana-mana, agar tidak meninggalkannya.

Karena demi apapun, Tay tak akan pernah sanggup untuk kehilangan lagi.

Tangan kanannya menarik kursi besi yang berada tak jauh darinya langsung mendaratkan bokongnya di sana. Sepasang netra hitam pekat itu tak kunjung mengalihkan perhatian dari yang muda, tangan kirinya perlahan terulur menyerka titik-titik keringat di dahi si manis, menyingkirkan poni panjang sang empu agar tak mengganggu lelapnya.

“Lekas sembuh, kamu mau jalan-jalan kan.” Tay berujar begitu pelan.

“Kamu mau apa aja aku turutin semuanya, asal sembuh ya, sayang.”

Kilas balik memori masa lalu berputar terus-menerus di kepala bak kaset rusak, air matanya kembali jatuh tanpa permisi membasahi kedua pipi, ketakutannya hadir kembali, genggaman pada tangan si manis mengerat seakan sang kekasih akan pergi jika tak ia pegangi.

Selepas kepergian sang Ibu, Tay tawan memang selalu begini jika orang terdekatnya sedang jauh dari kata baik-baik saja, kekhawatiran berlebihannya akan kehilangan terus membelenggu dirinya.

Karena sejatinya tak pernah ada manusia yang baik-baik saja jika dihadapkan dengan kehilangan.

Kepalanya menengadah ketika sebuah ibu jari mengelus punggung tanggannya dengan gerakan begitu halus, Tay menampilkan senyum manis pada kekasihnya.

“Tidur lagi.” Tay berujar.

“Teta aku gak apa-apa, aku gak bakal pergi kemana-mana.” Si manis angkat suara.

“Sebelumnya Ibu juga bilang gitu, Thi.” Tay kembali menjawab.

Yang muda tersenyum tipis, Tay emang acap kali seperti ini dan dia juga memaklumi, tangan kiri pemuda beriris kelabu itu perlahan mengelus rambut halus lelakinya dengan perasaan sayang mendominasi, berniat menenangkan kegelisahan Tay tawan.

“Sini tidur di samping aku.”

“Kamu tidur aja, biar besok bisa pulang.”

“Teta juga harus peduliin diri kamu, tubuhnya capek kan. Sini tidur sama aku.”

“Thi-”

“Teta jangan ngajak berdebat, kepala Thi pusing.”

Yang lebih muda menghela napas panjang, lalu mengalah. Ia bangkit dari tempatnya dan langsung menuruti keinginan kekasih hatinya, membekap tubuh ramping si manis, mengecup kepala sang empu beberapa kali, lengkap dengan mengelus punggung Thitipoom-nya.

“Kalo gini besok aku sembuh deh kayaknya.” Si manis berujar.

“Ntar habis sembuh siap-siap aku mau ngomong.”

“Yang tepatnya, kamu mau marahin aku.” Thi menjawab.

Thi tertawa renyah saat Tay mencium kedua pipinya secara bergantian, seseorang yang di tunggu kehdirannya sudah berada di sampingnya, membekap tubuhnya secara lengkap, hal-hal yang hilang beberapa hari ini sudah pulang.

“Thi kangen banget sama kamu.”

Tay semakin mengeratkan pelukannya, tak henti-henti menghadiahkan kecupan di seluruh wajah si manis, “Dulu, sebelum hati kamu atas nama aku, setiap malam aku minta tolong sama semesta agar meng-iyakan jika aku sama kamu pantas untuk punya cerita.”

“Sekarang, aku sedang merayunya, agar semesta berbaik hati sama manusia bernama Tay tawan.”

“Teta ngerayu apa?”

“Merayu semesta agar kita bisa punya waktu lebih lama berdua, agar kita bisa punya kenangan lebih banyak bersama.”

Yang muda menengadahkan kepalanya sembari tersenyum manis, hingga suara Tay kembali terdengar “Jangan senyum centil Mbul, kamu lagi sakit.”

Thi kembali tersenyum lalu memajukan bibir merah mudanya beberapa senti, “Bibirnya Thi mau ketemu sama pasangannya.”

“Tidur.”

“Ketemuin dulu bibirnya aku sama pasangannya.”

“Besok, sekarang ayo tidur.”

“Tetaa jangan pelit, ayo cium aku sekarang juga.”

Sepasang iris hitam pekat itu menatap kekasihnya dalam-dalam, hingga beberapa menit setelahnya ia mulai memajukan wajahnya, mengikis habis jarak diantara mereka, mempertemukan bibir masing-masing dengan pemiliknya, dengan pasangannya.

Pria berkulit tan itu melepas pagutan keduanya terlebih dahulu, menikmati sepasang hidung mancung yang saling beradu tanpa malu-malu, saling melempar senyum manis untuk satu sama lain, menikmati moment ini berdua, melupakan jika di bumi bukan hanya ada mereka saja.

“Kalau dulu aku bilang ke kamu, mau ya aku perjuangin kalau sekarang udah beda lagi Thi.”

“Kalau sekarang, Thi mau ya nikah sama aku hahaha.”

“Bukan,” Yang tua menjawab bersamaan dengan menyentil dahi si manis.

“Jadi kamu gak mau nikahin aku? Yaudah aku aja yang nikahin Teta.”

“Itu nanti, untuk sekarang ak-”

“Sekarang apa Ta?”

“Mau ya berjuang bareng-bareng?”

Thi tersenyum manis sekali, sejenak melupakan jika kepalanya terasa berputar, “Teta lupa?”

“Lupa apa Mbul?”

“Kalau Teta selalu jadi perjuangan yang amat sangat aku suka.”

Yang tua terkekeh pelan, “Gausah ngegombal kamu kucing.”

“Karena kalau bukan Teta, kalau bukan kamu, aku gak mau.”

•••

-Joya-