•••

Perkara dekat yang tak mempunyai status apa-apa memang acap kali terjadi di bumi, dan itulah yang sedang rasakan oleh pemilik iris kelabu yang tengah menyesap es kopi yang berada di genggaman tangan kanannya.

Sepasang netra berkilau itu berkali-kali melirik kearah pintu kamarnya, terlihat jelas jika ia sedang menanti kehadiran seseorang sedari tadi, hingga sebuah helaan napas panjang terdengar memecah kesunyian, “Awas aja sampe jam sepuluh gak dateng juga, gue susulin.” ia berucap setelahnya.

Kesepuluh jemarinya mulai membereskan kekacauan yang ia perbuat ketika sedang mengerjai tugas kuliahnya, begitu banyak kertas berserakan di bawah ranjang, laptop yang di biarkan menyala sejak tiga jam yang lalu, dan dua gelas kopi yang berada di atas nakas, tak lupa berbungkus-bungkus camilannya.

“Gue dari sore di kamar niatnya mau nyelesain tugas, selesai enggak ngeberantakin kamar iya.” Ia bergumam, meletakkan bungkus-bungkus camilan ke dalam tempat sampah berbentuk beruang berwarna putih yang berada di samping meja belajarnya.

Usai membereskan kekacauan yang ia perbuat, pemuda berkulit seputih salju itu meraih benda pipih di depannya, ia mendengus memandangi ponselnya yang tak ada pesan dari orang yang begitu di nanti hadirnya.

“Ini gue beneran di diemin dari tadi pagi?” pemuda bernama lengkap Newwiee thitipoom techaapaikhun itu bermonolog untuk kesekian kalinya.

“Gak sanggup lagi gue, anjir nih orang tua.”

•••

Langkahnya memelan begitu sepasang sneakers melekat di kakinya memasuki rumah berlantai dua yang begitu luas, sepasang netranya menyapu kesegala arah mencari seseorang yang sedari tadi tak kunjung menampakkan diri.

“Ngapa rame amat sih, sumpek gue.” Thitipoom bersuara sembari menerima segelas minuman dari pelayan yang berlalu lalang menjalankan tugasnya di tengah acara berlangsung.

“Oh itu yang ulang tahun, Loh-loh itu laki gue anjrit.”

Thitipoom lantas melangkah cepat menghampiri pria berkulit tan yang tengah asik berbincang dengan teman-temannya, namun langkahnya perlahan memelan ketika jarak ia dan Tay semakin dekat saja.

“Eh New.”

Thitipoom langsung menoleh ke kanan begitu namanya di sebut, ia mengulas senyum manis ke arah Off jumpol “Bang Jum.” sapanya.

“Thi?”

Senyum manis yang terpantri di wajahnya langsung berubah masam begitu suara dari Tay terdengar di telinganya, pria berkulit tan itu tampak berusaha melepaskan tangan seorang gadis cantik bergelayut manja di lengannya.

“Oh ini yang namanya Newwiee.” gadis bergaun merah itu bersuara, kedua tangannya tak lagi bertaut pada lengan Tay tawan, seulas senyum manis di tunjukkannya bersamaan dengan uluran tangan pada Thitipoom.

“Hai Newwiee, kenalin gue Namiee pacarnya T-”

“Mantan Nam, kalo lo lupa.” suara dari pria bermata sipit yang berada di samping Thitipoom memotong ucapan gadis itu, Off jumpol tersenyum santai setelahnya.

Thitipoom tersenyum manis, sangat manis. Menyambut uluran tangan gadis cantik itu dengan senang hati, “Newwiee, tunangan Tay tawan.”

Tay dan Off langsung tersedak minumannya sendiri ketika mendengar penuturan begitu percaya diri dari Thitipoom barusan.

•••

Kedua anak manusia yang tengah mengasingkan diri dari bisingnya acara pesta ulang tahun gadis cantik bernama lengkap Namtan tipnaree itu masih diam dan saling pandang, “Kamu masih mau diam-diam begini? tangan aku udah bentol-bentol di gigitin nyamuk.” Yang lebih muda bersuara.

Berada di taman komplek pada pukul sebelas bukanlah pilihan yang tepat, namun mau bagaimana lagi tempat ini yang sepi dan jaraknya tak jauh.

Pria berpakaian formal itu menanggalkan jas hitamnya, lalu memakaikannya pada pemuda berwajah manis yang berada di depannya, “Kenapa cuma pake kaos Thi?” Ia bertanya.

“Buru-buru nyariin yang katanya udah di apartemen jam sepuluh tapi sampe jam sebelas kurang masih asik gandengan sama yang punya acara.” Thitipoom menjawab.

“Thi, belum ada yang pulang.” Pria berkemeja hitam itu menggantungkan kalimatnya, perlahan tangan kanannya merapikan poni yang lebih muda agar tak menusuk mata. “Gak enak dong aku langsung pulang sedangkan yang lain belum ada yang beranjak dari sana.” Tay melanjutkan kalimatnya, memberi pengertian.

“Tapi Teta tadi pagi janjinya apa ke Thi?”

“Maaf, ya Cantik.”

Thitippom mendengus lengkap dengan wajah kesal yang ia tampilkan, “Aku gak suka kamu deket-deket sama Dia.”

“Dia yang kamu maksud punya nama Thi.” Tay berucap, nadanya begitu lembut.

“Gak kenal.”

“Tadi kamu baru aja kenalan kan.”

“Tetaaa....” pemuda berkulit putih itu merengek membuat yang lebih tua tak tahan untuk tidak meledakkan tawanya.

“Aku gak suka Teta kaya tadi sama Dia, aku gak suka berbagi perihal perhatian, kasih sayang, semuanya, aku gak suka berbagi. Apalagi tentang Teta.”

“Thitippom cemburu?” Tay bertanya dengan senyum manisnya.

Ekspresi kesal si manis kembali hadir menghiasi wajah tampan namun juga cantiknya, ia memicingkan matanya lalu berucap “Masih berani nanya kalau kamu udah tau jawabannya iya?”

Pria berkulit tan itu tertawa kecil mendengarnya.

“Teta lama banget nyatain suka sama aku, Thi rasa tiga bulan itu udah cukup buat kita cuma sekedar dekat, aku mau lebih, aku mau hati Teta jadi milik aku, aku mau kita punya status yang jelas.”

“Teta mau gak jadi pacar Thi?”

Pemilik iris kelabu itu langsung putar arah setelah menyelesaikan kalimatnya, hendak melangkah jauh-jauh meninggalkan Tay seorang diri, jantungnya benar-benar menggila di tempat, pipinya memanas-menjalar ketelinga. Hingga sebuah cekalan tangan menghentikan langkahnya, namun yang muda belum ada tanda-tanda untuk berbalik dan menatap lawan bicaranya.

“Habis nembak aku kok kabur?” Tay bertanya, tidak, lebih tepatnya ia ingin menggoda pemuda berwajah manis itu habis-habisan sekarang.

“Thi, kalau mau tau jawabannya liat mata aku dong.”

Thitipoom masih diam ditempat, tak kunjung berbalik melihat wajah tampan menahan tawa yang sebentar lagi akan meledak karena ulahnya.

“Gak usah di jawab aku mau pulang, lepasin tangannya Thi.”

“Tadi siapa yang dengan percaya dirinya bilang tunangannya Tay tawan? Dan juga, kemana Thitipoom yang baru aja nembak Tay tawan?”

“Udah pergi, Thitipoom yang itu emang gak jelas.” Yang muda menjawab cepat.

“Thi, coba liat mataku.”

“Gak mau.”

“Kali ini serius, Thitipoom.”

Entah bagaimana ceritanya, pemuda berkulit putih itu membalikkan tubuhnya, netra keduanya kembali bertemu, “Coba liat mataku, ada siapa?” Tay bersuara.

Thitipoom memajukan wajahnya, mengamati netra hitam pekat itu dengan begitu serius, “Gak liat siapa-siapa, disini kan gelap Teta, lampunya aja cuma satu-satu.”

Yang lebih tua menggaruk kepala bagian belakang, “Iya juga sih, kamu bener Thi.” Lalu ia terkekeh sendiri, “Thitipoom, sejak pertama kali aku ngeliat kamu fokus-ku cuma ada di kamu, sampai saat ini kamu adalah orang yang akan ku ajak kemana-mana bersama, berdua.”

“Aku pikir tiga bulan masih belum cukup untuk aku nyatain suka sama kamu, aku pikir kamu masih butuh waktu lebih buat kita punya status yang jelas. Ternyata aku ini salah ya Thi.”

“Sejak tiga bulan yang lalu, untuk menjadi pacar Tay tawan itu ada satu syarat mutlak.”

“Kok pake syarat segala?” Thitipoom bertanya, begitu polos.

Pria berkulit tan itu mengangguk dua kali, lalu tersenyum manis, “Iya, harus ada syaratnya.” ia menjawab.

“Apa syarat kalau mau jadi pacar kamu?”

“Harus Newwiee thitipoom techaapaikhun.”

•••

-Joya-