Joya.

Ibunya Newwiee.

[Deeper]

•••

Sebuah lengkungan manis masih setia menghiasi wajah pemuda berkulit bersih seputih salju tengah mengunyah kentang goreng yang berada di depannya, iris kelabunya tak pula mau beralih dari seorang lelaki berkulit tan yang berada di seberang barang sekejap saja.

“Tawan makannya dikit banget, ntar habis sama aku semua nih.” Ia bersuara.

“Aku beli buat kamu Thi, jadi kalau kamu habisin aku yang seneng. Makasih ya udah meng-iyakan ajakan aku.”

Sebuah anggukan terlihat dari si manis, semilir angin di sore hari menerpa wajahnya pula berhasil menyingkirkan poni rapi yang begitu sempurna menutupi dahinya, “Tawan duduk di samping aku, sini, kita liat danau berdua.” Thi menepuk alas yang berada di sebelahnya.

Tak ada protesan apapun yang keluar dari mulut pria berkulit tan itu, ia benar-benar menurut—bangkit dari tempatnya dan langsung mendaratkan bokongnya di samping si manis.

“Aku tuh terakhir piknik pas SD deh, udah lama banget.”

“Oh ya?”

Thi mengangguk sembari menoleh ke kanan, menatap yang lebih tua dengan seulas senyum tipis, “Iya, pas aku masih punya keluarga lengkap.”

“Kalau Thi gak nyaman, gausah diceritain juga gak apa-apa.” Tay berujar dengan tutur begitu lembut.

“Teta gak mau dengerin cerita aku, ya?”

Ditanya seperti itu membuat yang lebih tua langsung gelagapan sendiri, sontak saja ia menggelengkan kepalanya cepat-cepat, “Bukan gitu Thi, aku gak mau maksa kamu untuk cerita hal yang gak ingin kamu bagi ke aku.”

“Tapi aku mau bagi ceritaku sama Tetaa, boleh?”

“Boleh banget, tapi...” yang lebih tua menggantungkan ucapannya, menatap si manis dengan kedua mata memicing, “Kamu manggil aku apa tadi? Teta?”

Thi terkekeh kecil, “Lucu gak?” Ia bertanya, “Teta.”

“Di mana bagian yang lucunya?” Tay bernar-benar bertanya membuat lelaki manis yang berada di sampingnya langsung memajukan bibir lima senti lengkap dengan sinisan tajam.

“Lucu banget.”

“Kamu manggil aku Thi, itu aja udah beda dari yang lain.”

“Jadi kamu manggil aku Teta karena mau beda juga?”

“Iya! karena kata kita diantara aku dan kamu bentar lagi bakalan ada.” Thi menjawab dengan santai.

“Kamu jadi lanjutin ceritanya, gak?”

Sepasang mata yang menyipit sedikit menyembunyikan iris kelabu paling cantik yang pernah ia lihat, kekehan dari yang muda terdengar. “Jadi lupa gara-gara nama Teta.”

“Pas aku masih kecil sampe SD kelas lima deh kalau gak salah, setiap Ayah punya waktu luang, beliau bakalan ngajakin aku sama Ibu untuk piknik atau sekedar jalan-jalan aja.”

“Hidup aku tuh dulu sempurna banget pokoknya, apa yang aku mau akan dengan begitu mudahnya bisa aku dapetin, kayak aku baru bilang mau ini beberapa jam kemudian aku udah punya apa yang aku minta tadi.”

“Sampai kesempurnaan yang aku rasain itu tiba-tiba hilang entah kemana, pergi tanpa aba-aba sebelumnya, kebahagiaan yang aku rasain itu benar-benar lenyap gak bersisa. Bahkan orang yang dulu selalu aku jadikan tempat mengadu perlahan mulai hilang.”

“Gak benar-benar hilang, maksud aku Ayah ku yang dulu dan yang sekarang itu kayak dua orang dengan kepribadian yang super berbeda. Sejak malam di mana pertama kali aku liat Ibu nangis kenceng banget aku ngerasa kalau aku sejak itu cuma tinggal berdua sama Ibu.”

“Aku ngerasa kalau aku emang udah gak punya sosok Ayah.”

Kedua kelopak mata si manis berkedip beberapa kali, pandangannya benar-benar lurus ke depan, memandangi pemandangan danau yang begitu indah di pandang mata.

“Aku dari dulu udah keseringan nangis jadi sekarang stock air mataku tinggal dikit banget. Tapi, dari semua hal buruk yang pernah beliau lakuin ke aku dan Ibu, yang paling membekas di ingatan aku adalah saat Ayah marah sampai neriakin Ibu di depan banyak orang.”

“Padahal niatnya mau makan malam di luar karena malam itu hari ulang tahun aku, menurutku gak ada hal paling bangsat selain makan sambil nahan tangis, sesak banget rasanya sampe mau ngunyah makanan yang di dalam mulut aja tuh kayak gak sanggup.”

“Sampai lambat laun aku mulai paham tentang masalah di keluarga ku, aku mulai tau apa yang terjadi.”

“Kalau Teta mau tau, temen aku tuh cuma Gun. Bener-bener cuma Gun karena aku memang terlalu menutup diri sama orang baru, terlalu berlebihan gak kalau aku bilang Gun satu-satunya hal yang aku syukuri saat aku masuk ke SMP negeri.”

“Aku bisa berteman sama siapa aja, tapi aku gak bisa atau lebih tepatnya gak mempersilahkan mereka untuk bisa benar-benar kenal aku.”

“Sebelum pindah di rumah yang sekarang, aku bahkan gak pernah ngajak satu orang pun teman sekolahnya aku untuk main kerumah, termasuk Gun. Karena aku gak mau mereka tau bagaimana sifat Ayahku.”

“Aku durhaka gak sih Ta karena semenjak kejadian di malam ulang tahun itu aku gak pernah lagi manggil beliau Ayah di depannya. Karna dulu aku tuh kesel, aku marah, aku kecewa, kenapa harus marah di luar padahal setiap hari udah marahin Ibu di rumah.”

“Malu banget rasanya udah kayak gak ada muka. Pun dengan sampai sekarang aku gak pernah mau lagi menginjakkan kaki aku di restaurant itu.”

Usapan dibagian bahu si manis membuatnya menoleh ke samping, “Teta kasihan sama aku?”

“Enggak, aku gak mengasihani kamu. Kamu bisa berhenti sampai di sini kalau kamu mau.”

“Kenapa? Cerita aku banyak dramanya ya?”

“Kamu boleh lanjut, kamu boleh bagiin ke aku apa yang ingin kamu bagi.” Yang lebih tua bersuara, lagi.

“Gak jelas banget kamu, tadi nyuruh berhenti sekarang nyuruh lanjut.” Omel Thitipoom sembari terkekeh pelan.

“Aku lanjut ya?”

Setelah anggukan dari Tay terlihat, pemuda berkulit seputih salju itu kembali bersuara, “Aku tuh dulu heran banget kenapa Ibu masih mau bertahan sama Ayah, sampai aku tau alasannya kenapa.”

“Ibu mikirin anaknya, Ibu mikirin aku. Seharusnya sebelum Ibu mikirin aku, Ibu terlebih dahulu harus memikirkan dirinya sendiri. Ibu bilang Kalau Ibu sama Ayah udah gak sama-sama, nanti kamu kehilangan arti dari kata keluarga padahal dengan mereka memaksakan diri untuk tetap bersama pun aku udah gak tau arti keluarga itu kayak gimana.”

“Maaf banget ya Thi, jadi Ibu sama Ayah kamu tuh pisah kan?”

Thi langsung mengangguk dua kali, membenarkan ucapan lelaki yang berada di sebelah kirinya. “Bener-bener pisah itu aku kelas dua SMA.”

“Sekarang aku udah berdamai sama masalalu, makanya aku bisa nyeritain semuanya ke kamu, aku udah gak lagi nyalahin Ayah, tapi buat ketemu sama beliau rasanya canggung banget.”

“Tujuanku dulu tuh cuma untuk nyenengin Ibu, tapi sekarang kayaknya bakalan nambah satu.”

“Nyenengin Ibu dan kamu.”

•••

“Thi coba liat aku.”

Yang muda langsung memutar sedikit posisinya agar mereka saling berhadapan satu sama lain, iris kelabu itu langsung bertemu dengan pasangannya.

“Kamu sadar gak kalau kamu tuh aneh, bukan aneh sih lebih ke unik.”

Kerutan di dahi si manis langsung terlihat, benar-benar tak mengerti maksud dari Tay tawan. “Kamu mau ngegombal lagi?”

“Enggak, kali ini aku mau serius.”

“Kalau Teta mau serius datengin Ibu aku.”

“Yang ada aku di kejar pake parang sama mas Rendra nikahin kamu tahun ini.”

“Lho, kenapa?”

“Karena pas aku ngasih liat foto kamu, mas Rendra langsung ngamuk ngiranya aku petrusin anak SMA.”

Tawa si manis langsung memasuki indera pendengaran Tay tawan.

“Cantik banget ini manusia.”

“Awet muda ya aku ini.”

“Kan kamu emang masih muda Thi?”

“Oh iya, yang udah tua kan Teta.”

Lagi-lagi gelak tawa itu tercipta bersamaan dengan menyipitnya kedua mata.

“Gue mau marah juga gak bisa kalau begini anjir.”

“Lagian kamu udah bahas nikah segala, kita aja belum pacar-”

“Ya makanya pacarin aku.” Potong Thi dengan santai sembari mengunyah salah satu makanan yang di belikan Tay tawan untuknya.

“Emang kalau sekarang banget, mau?”

Thi hanya mengulas senyum manis.

“Thi masi penasaran kenapa kamu bilang aku aneh.” Ia bersuara.

“Matahari udah turun nih, ayo pulang.”

“Tetaaa....” Si manis meringik membuat Tay terkekeh pelan, “Jawab dulu ih kenapa aneh? Aku kemal.”

“Kemal siapanya kamu?” Kamu deket sama Kemal tapi juga lagi deket sama aku? Iya Thi?”

Thi menghela napas panjang, “Dasar orang tua ketinggalan jaman, kemal itu artinya kepo maksimal.”

“Ooh hahahaha, kirain kamu juga lagi deket sama si Kemal.”

“Jadi, kenapa Thi aneh?”

“Unik.”

“Iya, kenapa unik?”

Sepasang netra hitam pekat itu menelisik wajah yang lebih muda, tak jua bersuara untuk beberapa menit lamanya, “Kamu tuh ganteng tapi kenapa cantik juga?”

“Apaansih, mana ada!”

Thi salah tingkah.

“Thi cantik.”

“Enggak.” Ia masih membantah.

Kini giliran tawa Tay yang meledak melihat wajah Thitipoom-nya semerah tomat-menjalar ke kedua telinganya.

“Cantik banget ya Tuhan.”

“Thitipoom cantik, aku boleh nanya?”

“Aku gak cantik, mau nanya apa?”

“Mau ya aku perjuangin?”

Jika biasanya Tay tawan yang acap terdiap karena ucapan pujaan hatinya, maka kini Thi gilirannya, pemuda berkulit putih bersih itu benar-benar mematung setelah mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut manusia yang berada di depannya.

“Thi?”

“Kenapa aku?”

“Kalau bukan kamu, siapa lagi yang aku perjuangin?”

Yang muda menganggukkan kepalanya beberapa kali, hingga akhirnya ia menjawab, dan Tay tawan langsung kehilangan seluruh kata-katanya.

“Gimana kalau kita berjuang sama-sama?”

•••

-Joya-

•••

Sebuah lengkungan manis masih setia menghiasi wajah pemuda berkulit bersih seputih salju yang tengah mengunyah kentang goreng yang berada di depannya, iris kelabunya tak pula mau beralih dari seorang lelaki berkulit tan yang berada di seberangnya barang sekejap saja.

“Tawan makannya dikit banget, ntar habis sama aku semua nih.” Ia bersuara.

“Aku beli buat kamu Thi, jadi kalau kamu habisin aku yang seneng. Makasih ya udah meng-iyakan ajakan aku.”

Sebuah anggukan terlihat dari si manis, semilir angin di sore hari menerpa wajahnya pula berhasil menyingkirkan poni rapi yang begitu sempurna menutupi dahinya, “Tawan duduk di samping aku, sini, kita liat danau berdua.” Thi menepuk alas yang berada di sebelahnya.

Tak ada protesan apapun yang keluar dari mulut pria berkulit tan itu, ia benar-benar menurut-bangkit dari tempatnya dan langsung mendaratkan bokongnya di samping si manis.

“Aku tuh terakhir piknik pas SD deh, udah lama banget.”

“Oh ya?”

Thi mengangguk sembari menoleh ke kanan, menatap yang lebih tua dengan seulas senyum tipis, “Iya, pas aku masih punya keluarga lengkap.”

“Kalau Thi gak nyaman, gausah diceritain juga gak apa-apa.” Tay berujar dengan tutur begitu lembut.

“Teta gak mau dengerin cerita aku, ya?”

Ditanya seperti itu membuat yang lebih tua langsung gelagapan sendiri, sontak saja ia menggelengkan kepalanya cepat-cepat, “Bukan gitu Thi, aku gak mau maksa kamu untuk cerita hal yang gak ingin kamu bagi ke aku.”

“Tapi aku mau bagi ceritaku sama Tetaa, boleh?”

“Boleh banget, tapi...” yang lebih tua menggantungkan ucapannya, menatap si manis dengan kedua mata memicing, “Kamu manggil aku apa tadi? Teta?”

Thi terkekeh kecil, “Lucu gak?” Ia bertanya, “Teta.”

“Di mana bagian yang lucunya?” Tay bernar-benar bertanya membuat lelaki manis yang berada di sampingnya langsung memajukan bibir lima senti lengkap dengan sinisan tajam.

“Lucu banget.”

“Kamu manggil aku Thi, itu aja udah beda dari yang lain.”

“Jadi kamu manggil aku Teta karena mau beda juga?”

“Iya! karena kata kita diantara aku dan kamu bentar lagi bakalan ada.” Thi menjawab dengan santai.

“Kamu jadi lanjutin ceritanya, gak?”

Sepasang mata yang menyipit sedikit menyembunyikan iris kelabu paling cantik yang pernah ia lihat, kekehan dari yang muda terdengar. “Jadi lupa gara-gara nama Teta.”

“Pas aku masih kecil sampe SD kelas lima deh kalau gak salah, setiap Ayah punya waktu luang, beliau bakalan ngajakin aku sama Ibu untuk piknik atau sekedar jalan-jalan aja.”

“Hidup aku tuh dulu sempurna banget deh pokoknya, apa yang aku mau akan dengan begitu mudahnya bisa aku dapetin, kayak aku baru bilang mau ini beberapa jam kemudian aku udah punya apa yang aku minta tadi.”

“Sampai kesempurnaan yang aku rasain itu tiba-tiba hilang entah kemana, pergi tanpa aba-aba sebelumnya, kebahagiaan yang aku rasain itu benar-benar lenyap gak bersisa. Bahkan orang yang dulu selalu aku jadikan tempat mengadu perlahan mulai hilang.”

“Gak benar-benar hilang, maksud aku Ayah ku yang dulu dan yang sekarang itu kayak dua orang dengan kepribadian yang super berbeda. Sejak malam di mana pertama kali aku liat Ibu nangis kenceng banget aku ngerasa kalau aku sejak itu cuma tinggal berdua sama Ibu.”

“Aku ngerasa kalau aku emang udah gak punya sosok Ayah.”

Kedua kelopak mata si manis berkedip beberapa kali, pandangannya benar-benar lurus ke depan, memandangi pemandangan danau buatan yang begitu indah terawat.

“Aku dari dulu udah keseringan nangis jadi sekarang stock air mataku tinggal dikit banget. Tapi, dari semua hal buruk yang pernah beliau lakuin ke aku dan Ibu, yang paling membekas di ingatan aku adalah saat Ayah marahin sampai neriakin Ibu di depan banyak orang.”

“Padahal niatnya mau makan malam di luar karena malam itu hari ulang tahun aku, menurutku gak ada hal paling bangsat selain makan sambil nahan tangis, sesak banget rasanya sampe mau ngunyah makanan yang di dalam mulut aja tuh kayak gak sanggup.”

“Sampai lambat laun aku mulai paham tentang masalah di keluarga ku, aku mulai tau apa yang terjadi.”

“Kalau Teta mau tau, temen aku tuh cuma Gun. Bener-bener cuma Gun karena aku memang terlalu menutup diri sama orang baru, terlalu berlebihan gak kalau aku bilang Gun satu-satunya hal yang aku syukuri saat aku masuk ke SMP negeri.”

“Aku bisa berteman sama siapa aja, tapi aku gak bisa atau lebih tepatnya gak mempersilahkan mereka untuk bisa benar-benar kenal aku.”

“Sebelum pindah di rumah yang sekarang, aku bahkan gak pernah ngajak satu orang pun teman sekolahnya aku untuk main kerumah, termasuk Gun. Karena aku gak mau mereka tau bagaimana sifat Ayahku.”

“Aku durhaka gak sih Ta karena semenjak kejadian di malam ulang tahun itu aku gak pernah lagi manggil beliau Ayah di depannya. Karna aku tuh kesel, aku marah, aku kecewa, kenapa harus marah di luar padahal setiap hari udah marahin Ibu di rumah.”

“Malu banget rasanya udah kayak gak ada muka. Pun dengan sampai sekarang aku gak pernah mau lagi menginjakkan kaki aku di restaurant itu.”

Usapan dibagian bahu si manis membuatnya menoleh ke samping, “Teta kasihan sama aku?”

“Enggak, aku gak mengasihani kamu. Kamu bisa berhenti sampai di sini kalau kamu mau.”

“Kenapa? Cerita aku banyak dramanya ya?”

“Kamu boleh lanjut, kamu boleh bagiin ke aku apa yang ingin kamu bagi.” Yang lebih tua bersuara, lagi.

“Gak jelas banget kamu, tadi nyuruh berhenti sekarang nyuruh lanjut.” Omel Thitipoom sembari terkekeh pelan.

“Aku lanjut ya?”

Setelah anggukan dari Tay terlihat, pemuda berkulit seputih salju itu kembali bersuara, “Aku tuh dulu heran banget kenapa Ibu masih mau bertahan sama Ayah, sampai aku tau alasannya kenapa.”

“Ibu mikirin anaknya, Ibu mikirin aku. Seharusnya sebelum Ibu mikirin aku, Ibu terlebih dahulu harus memikirkan dirinya sendiri. Ibu bilang Kalau Ibu sama Ayah udah gak sama-sama, nanti kamu kehilangan arti dari kata keluarga padahal dengan mereka memaksakan diri untuk bersama pun aku udah gak tau arti keluarga itu kayak gimana.”

“Maaf banget ya Thi, jadi Ibu sama Ayah kamu tuh pisah kan?”

Thi langsung mengangguk dua kali, membenarkan ucapan lelaki yang berada di sebelah kirinya. “Bener-bener pisah itu aku kelas dua SMA.”

“Sekarang aku udah berdamai sama masalalu, makanya aku bisa nyeritain semuanya ke kamu, aku udah gak lagi nyalahin Ayah, tapi buat ketemu sama beliau rasanya canggung banget.”

“Tujuanku dulu tuh cuma untuk nyenengin Ibu, tapi sekarang kayaknya bakalan nambah satu.”

“Nyenengin Ibu dan kamu.”

•••

•••

Sebuah lengkungan manis masih setia menghiasi wajah pemuda berkulit bersih seputih salju yang tengah mengunyah kentang goreng yang berada di depannya, iris kelabunya tak pula mau beralih dari seorang lelaki berkulit tan yang berada di seberangnya barang sekejap saja.

“Tawan makannya dikit banget, ntar habis sama aku semua nih.” Ia bersuara.

“Aku beli buat kamu Thi, jadi kalau kamu habisin aku yang seneng. Makasih ya udah meng-iyakan ajakan aku.”

Sebuah anggukan terlihat dari si manis, semilir angin di sore hari menerpa wajahnya pula berhasil menyingkirkan poni rapi yang begitu sempurna menutupi dahinya, “Tawan duduk di samping aku, sini, kita liat danau berdua.” Thi menepuk alas yang berada di sebelahnya.

Tak ada protesan apapun yang keluar dari mulut pria berkulit tan itu, ia benar-benar menurut-bangkit dari tempatnya dan langsung mendaratkan bokongnya di samping si manis.

“Aku tuh terakhir piknik pas SD deh, udah lama banget.”

“Oh ya?”

Thi mengangguk sembari menoleh ke kanan, menatap yang lebih tua dengan seulas senyum tipis, “Iya, pas aku masih punya keluarga lengkap.”

“Kalau Thi gak nyaman, gausah diceritain juga gak apa-apa.” Tay berujar dengan tutur begitu lembut.

“Teta gak mau dengerin cerita aku, ya?”

Ditanya seperti itu membuat yang lebih tua langsung gelagapan sendiri, sontak saja ia menggelengkan kepalanya cepat-cepat, “Bukan gitu Thi, aku gak mau maksa kamu untuk cerita hal yang gak ingin kamu bagi ke aku.”

“Tapi aku mau bagi ceritaku sama Tetaa, boleh?”

“Boleh banget, tapi...” yang lebih tua menggantungkan ucapannya, menatap si manis dengan kedua mata memicing, “Kamu manggil aku apa tadi? Teta?”

Thi terkekeh kecil, “Lucu gak?” Ia bertanya, “Teta.”

“Di mana bagian yang lucunya?” Tay bernar-benar bertanya membuat lelaki manis yang berada di sampingnya langsung memajukan bibir lima senti lengkap dengan sinisan tajam.

“Lucu banget.”

“Kamu manggil aku Thi, itu aja udah beda dari yang lain.”

“Jadi kamu manggil aku Teta karena mau beda juga?”

“Iya! karena kata kita diantara aku dan kamu bentar lagi bakalan ada.” Thi menjawab dengan santai.

“Kamu jadi lanjutin ceritanya, gak?”

Sepasang mata yang menyipit sedikit menyembunyikan iris kelabu paling cantik yang pernah ia lihat, kekehan dari yang muda terdengar. “Jadi lupa gara-gara nama Teta.”

“Pas aku masih kecil sampe SD kelas lima deh kalau gak salah, setiap Ayah punya waktu luang, beliau bakalan ngajakin aku sama Ibu untuk piknik atau sekedar jalan-jalan aja.”

“Hidup aku tuh dulu sempurna banget deh pokoknya, apa yang aku mau akan dengan begitu mudahnya bisa aku dapetin, kayak aku baru bilang mau ini beberapa jam kemudian aku udah punya apa yang aku minta tadi.”

“Sampai kesempurnaan yang aku rasain itu tiba-tiba hilang entah kemana, pergi tanpa aba-aba sebelumnya, kebahagiaan yang aku rasain itu benar-benar lenyap gak bersisa. Bahkan orang yang dulu selalu aku jadikan tempat mengadu perlahan mulai hilang.”

“Gak benar-benar hilang, maksud aku Ayah ku yang dulu dan yang sekarang itu kayak dua orang dengan kepribadian yang super berbeda. Sejak malam di mana pertama kali aku liat Ibu nangis kenceng banget aku ngerasa kalau aku sejak itu cuma tinggal berdua sama Ibu.”

“Aku ngerasa kalau aku emang udah gak punya sosok Ayah.”

Kedua kelopak mata si manis berkedip beberapa kali, pandangannya benar-benar lurus ke depan, memandangi pemandangan danau buatan yang begitu indah terawat.

“Aku dari dulu udah keseringan nangis jadi sekarang stock air mataku tinggal dikit banget. Tapi, dari semua hal buruk yang pernah beliau lakuin ke aku dan Ibu, yang paling membekas di ingatan aku adalah saat Ayah marahin sampai neriakin Ibu di depan banyak orang.”

“Padahal niatnya mau makan malam di luar karena malam itu hari ulang tahun aku, menurutku gak ada hal paling bangsat selain makan sambil nahan tangis, sesak banget rasanya sampe mau ngunyah makanan yang di dalam mulut aja tuh kayak gak sanggup.”

“Sampai lambat laun aku mulai paham tentang masalah di keluarga ku, aku mulai tau apa yang terjadi.”

“Kalau Teta mau tau, temen aku tuh cuma Gun. Bener-bener cuma Gun karena aku memang terlalu menutup diri sama orang baru, terlalu berlebihan gak kalau aku bilang Gun satu-satunya hal yang aku syukuri saat aku masuk ke SMP negeri.”

“Aku bisa berteman sama siapa aja, tapi aku gak bisa atau lebih tepatnya gak mempersilahkan mereka untuk bisa benar-benar kenal aku.”

“Sebelum pindah di rumah yang sekarang, aku bahkan gak pernah ngajak satu orang pun teman sekolahnya aku untuk main kerumah, termasuk Gun. Karena aku gak mau mereka tau bagaimana sifat Ayahku.”

“Aku durhaka gak sih Ta karena semenjak kejadian di malam ulang tahun itu aku gak pernah lagi manggil beliau Ayah di depannya. Karna aku tuh kesel, aku marah, aku kecewa, kenapa harus marah di luar padahal setiap hari udah marahin Ibu di rumah.”

“Malu banget rasanya udah kayak gak ada muka. Pun dengan sampai sekarang aku gak pernah mau lagi menginjakkan kaki aku di restaurant itu.”

Usapan dibagian bahu si manis membuatnya menoleh ke samping, “Teta kasihan sama aku?”

“Enggak, aku gak mengasihani kamu. Kamu bisa berhenti sampai di sini kalau kamu mau.”

“Kenapa? Cerita aku banyak dramanya ya?”

“Kamu boleh lanjut, kamu boleh bagiin ke aku apa yang ingin kamu bagi.” Yang lebih tua bersuara, lagi.

“Gak jelas banget kamu, tadi nyuruh berhenti sekarang nyuruh lanjut.” Omel Thitipoom sembari terkekeh pelan.

“Aku lanjut ya?”

Setelah anggukan dari Tay terlihat, pemuda berkulit seputih salju itu kembali bersuara, “Aku tuh dulu heran banget kenapa Ibu masih mau bertahan sama Ayah, sampai aku tau alasannya kenapa.”

“Ibu mikirin anaknya, Ibu mikirin aku. Seharusnya sebelum Ibu mikirin aku, Ibu terlebih dahulu harus memikirkan dirinya sendiri. Ibu bilang Kalau Ibu sama Ayah udah gak sama-sama, nanti kamu kehilangan arti dari kata keluarga padahal dengan mereka memaksakan diri untuk bersama pun aku udah gak tau arti keluarga itu kayak gimana.”

“Maaf banget ya Thi, jadi Ibu sama Ayah kamu tuh pisah kan?”

Thi langsung mengangguk dua kali, membenarkan ucapan lelaki yang berada di sebelah kirinya. “Bener-bener pisah itu aku kelas dua SMA.”

“Sekarang aku udah berdamai sama masalalu, makanya aku bisa nyeritain semuanya ke kamu, aku udah gak lagi nyalahin Ayah, tapi buat ketemu sama beliau rasanya canggung banget.”

“Tujuanku dulu tuh cuma untuk nyenengin Ibu, tapi sekarang kayaknya bakalan nambah satu.”

“Nyenengin Ibu dan kamu.”

•••

[Bincang]

•••

Sepasang netra hitam pekat sang empu berhenti mencari ketika pandangannya terjatuh pada pemuda berkaos longgar yang tengah asik dengan makanan di depannya, ujung-ujung bibirnya melengkung ke atas membentuk sebuah senyuman manis ketika pipi kekasihnya menggembung lucu-mengunyah makanannya.

Tay melepas jaket kulit yang melekat di tubuh atletisnya, meletakkan jaket itu di atas kursi meja makan, kehadiran yang lebih tua baru disadari oleh lelaki manis berkulit seputih salju itu, ia meletakkan kembali sebuah cireng yang berada di tangannya tak lupa mengambil beberapa tissue untuk dirinya sendiri.

“Teta kok gak bilang-bilang udah di sini?”

“Kamu aja yang gak denger aku masuk, asik sendiri sih.”

Kekehan renyah terdengar di telinga yang lebih tua, sepasang iris hitam pekat itu tak lepas mengamati wajah indah kekasih hatinya, Tay teramat suka melihat Thititpoom-nya, kedua mata pemuda itu menyipit dengan deretan gigi rapi terlihat ketika gelak tawanya terdengar, atau mengerucutnya bibir merah muda lengkap dengan lirikan sinis ketika ia sedang dalam keadaan merajuknya, Tay suka semua tentang pemuda berpipi gembul yang berada di depannya ini.

“Teta jangan dimakan.”

Terlambat sudah, yang lebih tua memasukkan bola putih itu kedalam mulutnya, Thi menatap sang kekasih dengan eksrpresi harap-harap cemas, “Keras banget, kan?” cicitnya.

Tay mengangguk setuju, cimol goreng buatan pemuda berkulit seputih saljut itu benar-benar keras, rasanya juga cenderung hanya pedas, dan “Kamu kebanyakan bubuk bawang putihnya Thi.” Tay berucap.

“Iya kah?”

Yang lebih tua mengangguk tangan kanannya terulur untuk mengambil cireng kemasan yang sudah di goreng Thi sebelumnya, “Yang ini enak.” Ia kembali bersuara.

Thi mengangguk setuju kali ini, “Emang enak Taa, aku mau marah juga gak bisa.” Jawab yang lebih muda, iris kelabu pemuda itu menatap sebuah mangkok berisikan cimol keras buatannya, ekspresi sedih cenderung menggemaskan itu membuat yang lebih tua tak tahan lagi, ia berjalan beberapa langkah mendekati lelakinya-kedua tangannya langsung menangkup pipi gembul sang empu, meremasnya pelan-pelan, “Gak usah sedih, gagal itu wajar sayang. Ayo kita bikin bareng-bareng.”

•••

“Oh bubuk baputnya segitu aja toh, kalo aku tadi lebih banyak dari kamu sih.” Thi berucap dengan mulut penuh berisikan buah mangga.

Ucapan Tay soal mereka yang akan memasak bersama adalah sebuah hal yang tak benar adanya, karena yang dilakukan pemuda beriris kelabu itu hanyalah mengupas dua buah mangga, memotongnya kecil-kecil lalu duduk di sebelah kompor menemani sang kekasih.

Tay menerima suapan sepotong mangga dari Thitipoomnya, “Manis banget kan Om mangganya.” Thi berucap.

“Mulai Thi mulai.”

Gelak tawa yang muda terdengar, menggoda Tay tawan adalah sebuah keharusan untuk dirinya.

“Teta tuh bisa masak apa aja ya.”

“Aku pernah bikin rendang lho pas Sma.” Tay berujar sembari kedua tangan berbalut sarung plastik itu tak berhenti bergerak-membentuk adonan bulat-bulat sempurna.

“Oh ya? Gimana rasanya?”

“Kata almarhumah Ibu sih enak. Jadi dua bulan setelah bapak meninggal tuh Ibu mulai sakit-sakitan Mbul, Mba Muk kuliah di luar kota, Mas Rendra lagi sibuk-sibuknya sama kerjaannya dia, jadi yang punya waktu kosong lebih banyak tuh cuma aku kan.”

Yang muda menaruh seluruh perhatiannya pada Tay, mendengarkan cerita sang kekasih yang belum pernah ia ketahui, Tay tawan terlalu tertutup tentang keluarganya, dan Thi tak ingin bertanya yang membuat sang kekasih tak nyaman. Thitipoom mau, Tay tawan sendirilah yang bercerita tanpa harus ia tanya kenapa.

“Pulang sekolah sebelum kerumah sakit aku masak dulu buat Ibu, soalnya beliau gak suka makanan rumah sakit, kata Ibu gak ada rasanya, Tapi kadang resep-resep masakannya aku tanya sama Mba Muk sih hahaha. Soalnya dulu Ibu sama sekali gak make orang buat bantu-bantu di rumah.”

“Kamu tuh hebat, mandiri banget.”

“Kepaksa keadaan sih yang.” Tay menyahut.

“Gak lama Ibu nyusul Bapak kan Mbul, mana besoknya pengumuman SBMPTN dan aku gak lolos, ancur banget pas itu. Berakhir aku nganggur setahun.”

“Teta ngapain aja setahun itu?”

“Setahun itu aku pake buat kerja, dulu pernah kerja di minimarket, jadi guru les, apa aja deh, dan sebelum tidur aku usahain buat belajar dikit aja. Jadi uang yang kekumpul selama setahun tuh bisa buat bayar kost-an sama kuliah.”

“Padahal Teta bisa tinggal bareng mas Rendra atau mba Muk.”

“Ibu tuh pernah bilang ke aku, sebaik apapun manusia dia pasti punya waktu gak pas-nya. Tinggal sama orang tuh pasti ada gak enaknya walaupun dia kakakmu sendiri, jadi daripada ada kejadian yang gak di inginkan mending aku ngekost aja, eh malah ketemu si Jumpol.”

“Alasan aku kerja juga biar aku bisa ngehidupi diriku sendiri tanpa minta sama Mba atau Mas, tanpa ngambil uang yang ditinggali bapak sama Ibu, karena kalau seandainya aku kuliah dan gak jadi orang, gak ada yang bisa bilang percuma kuliah tapi gak bisa jadi apa-apa, ngabisin uang orang tua aja karena aku kuliah pake uangku sendiri.”

“Itu pikirannya aku dulu, gak bisa di samain sama orang lain, ini cuma pikiran seorang Tay tawan.” Tay berujar begitu panjang.

“Pas jaman kuliah Teta ada cerita apa aja?”

Tay menoleh kearah kekasihnya dengan tangan kanan tak berhenti mengaduk cimol yang berada di penggorengan.

“Kalo mas atau mba nanya ada uang kan aku selalu bilang ada, padahal mah gak ada hahaha, aku inget deh Thi pas aku sama Jumpol lagi bener-bener miskinnya pas itu sampe beli nasi bungkus enam ribu dibagi dua.”

“Kalau mba sama mas ngirim uangnya kamu pake?”

“Iyalah hahaha, tapi aku gak pernah minta ke mereka. Jumpol tuh kalo habis dapet uang dari Papanya, pulang pasti ada aja tentengannya, mana dia pernah beli sate seratus tusuk malem jumat Mbul.”

Gelak tawa yang lebih muda pecah seketika membayangkan lelaki bermata sipit itu, “Bang Jum emang seaneh itu ya Ta dari dulu.”

“Emang aneh dia makanya kita temenan sampe sekarang, dia tuh juga nganggur setahun sama kayak aku, bukan karena dia gak lolos SBMPTN, tapi dia gak lewat tes polwan.”

“Polisi Teta.”

“Lah salah Jumpol sendiri, dia bilang ke aku Gue gak lewat polwan Tay, nyangkut di kesehatan begitu.”

Yang muda kembali tertawa.

“Jadi sekarang aku boleh nanya sama kamu?” Tay berucap sembari meniriskan cimol gorengnya, melangkah mendekati sang kekasih-berdiri tepat di depan Thitipoom-nya, menatap iris kelabu sang pemilik dalam-dalam, hingga sebuah anggukan dari yang lebih muda terlihat.

“Kenapa mau sama aku?”

Pemuda berkulit cerah itu mengulas senyum begitu manis, perlahan tangan kanannya terulur untuk mengelus pipi lelaki yang berada di depannya dengan penuh perasaan, penuh kasih sayang.

“Kenapa aku harus gak mau sama kamu?” Bukannya menjawab ia melempar pertanyaan.

“Kebiasaan,” Tay menyentil dahi tertutup poni rapi itu hingga sebuah ringisan pelan tercipta dari yang muda, “Kalau ditanya pacarnya tuh dijawab, bukan nanya balik, gembul”

“Kalau kamu tanya kenapa aku mau sama kamu, jawabannya aku gak tau. Aku sendiri aja gak tau alasan kenapa aku jatuh sama manusia sejenis kamu, karena kalau boleh jujur sebelum aku nekat buat nembak kamu dua tahun yang lalu, setiap malamnya aku selalu nanya ke diriku sendiri apa alasan aku jatuh sama pesona kamu, sampai di mana aku kelimpungan atas apa yang ada di kepala.”

“Dan sebenarnya aku gak butuh alasan apa-apa, karna kalau udah jatuh, aku gak lagi mau jauh, dari kamu.”

“Teta mau tau gimana perasaan aku setelah dengar cerita kamu barusan?”

Kedua alis pria berkulit tan itu naik-turun menunggu jawaban yang akan keluar dari mulut kekasihnya, orang yang memiliki tahta tertinggi di hatinya untuk hari ini, esok, seterusnya, dan selamanya.

“Setelah tau cerita kamu tadi, aku malah makin cinta.”

“Dih hahahaha, Mbul-Mbul bahasa mu itu loh.” Tay terkekeh pelan hingga bibir yang lebih muda maju beberapa senti, Thitipoom-nya cemberut.

“Orang bicara jujur juga, Teta tuh emang gak bisa diajakin romantis. Dasar orang tua.” gerutu si manis.

“Gini-gini juga kamu cinta sama aku.”

“Ucapan kamu gak tepat Ta.”

“Terus yang tepat apa? Thi?”

“Cinta mati.”

Usai jawaban Thi terdengar, tawa keduanya kompak meledak memenuhi dapur milik si manis. Kedua tangan Tay menangkup sisi wajah kanan-kiri si manis, sontak membuat gelak tawa Thi mereda berasamaan dengan matanya yang mengerjap lucu berulang kali.

Seulas senyum manis langsung terukir di wajah pemuda berkulit seputih salju itu tak kala sebuah kecupan berdurasi sepuluh detik mendarat di dahinya, lalu turun di kedua mata, hidung, kedua pipi, dagu, dan terakhir di bibir merah mudanya, kali ini yang lebih tua tak hanya mengecupnya saja, di berikannya juga lumat-lumatan kecil di sana, kelopak mata keduanya langsung tertutup tak kala ciuman itu semakin mesra dirasa, kedua tangan Thi langsung bergerak untuk menekan tengkuk yang lebih tua-bermaksud memperdalam pagutan mereka.

Beberapa menit setelahnya pagutan itu terlepas bersamaan dengan saling berkejar-kejarannya deru napas, jemari-jemari lentik si manis kembali mengelus wajah sang kekasih, seulas senyum mengembang sempurna pun kembali ia tampilkan.

“Senyum centil.” Tay bersuara.

“Cimolnya udah dingin Thi.”

Pemilik iris kelabu itu menoleh ke kanan, menatap cimol buatan Tay tawan, “Gak apa-apa Tetaa, ntar tinggal di taro bubuk cabe aja udah enak. Makasih banyak ya.”

“Tetaa.” Thi kembali bersuara setelahnya.

“Saya.”

“Cimolnya emang udah dingin, tapi sekarang aku yang panas.”

•••

-Joya-

•••

“Kak Thi ntar main kerumah aku ya, ya, ya.” Pinta seorang gadis kecil berambut panjang tergerai indah yang tengah menarik-narik tangan kanan Thitipoom agar pemuda itu meng-iyakan ucapannya.

“Gak boleh! Kak Thi harus kerumah Arzetha juga!”

“Zetha kamu main sama bang Abyan aja dong, kan kamu punya abang.”

“Lah kamu sendiri juga punya abang, Keyshi!”

Thitipoom terkekeh pelan mendengarnya, lantas ia berjongkok-mensejajarkan dirinya dengan tinggi keponakan-keponakan sang kekasih, lalu berujar, “Jangan berantem dong, nanti kita main sama-sama, oke?”

Dengan mudahnya dua anak manusia yang sebelumnya bertengkar itu mengangguk bersamaan, melempar senyum manis setelahnya, “Kak Thi janji ya, kalau entar Om Tay kerumah Eyang kak Thi harus ikut ya?” Gadis bernama Keyshi itu kembali berucap namun belum sempat Thitipoom menjawab pria berkulit tan yang tengah duduk santai di atas sofa ruang keluarga itu menjawab, “Iya ntar Om bawa kak Thi, udah malam besok harus sekolah, ayo pulang kerumah masing-masing.”

“Kami berempat gak bakal pulang kalau amplop seperti biasa belum ditangan.”

Tay menghela napas pasrah, lalu berbisik pada kakak perempuannya, “Keponakan gue semuanya mata duitan.”

“Mereka tau sih Om-nya kaya raya, tanggungan lo juga ​belom ada.”

•••

Pemilik netra hitam pekat itu tak melepaskan pandangannya barang sekejap pada pemuda berkulit putih bersig yang tengah memakan es-krimnya dengan begitu santai di meja makan, selepas kepergian keluarga Tay beberapa menit yang lalu dua anak Adam ini benar-benar bungkam.

“Mau lagi es-krimnya?” Tay bertanya, menghapus kesunyian yang sempat tercipta.

“Lho emang bisa ngambil es-krim di kulkas? Orang tadi siang aja kamu makan disuapin mantanmu.”

“Thi.”

“Udah kamu tidur aja gih, aku habis makan es-krim mau pulang.”

“Gak boleh.” Larang yang lebih tua lengkap dengan gelengan kepalanya.

Salah satu alis pemuda berkulit putih bersih itu terangkat, “Kenapa gak boleh?” Ia bertanya.

“Kamu nginap di sini.”

“Kalau aku gak mau gimana?”

“Yaudah aku antar kamu pulang, ya?”

“Ini nih Teta, terlalu baik sama siapa aja. Itu salah satu kelebihan dan kekurangan kamu.” Thitipoom berujar.

“Boleh aku jelasin dari awal?”

“Boleh.”

“Thi mau di kamar aja kah?” Yang lebih tua kembali bertanya, nadanya masih sama, amat-sangat lembut masuk ke indra pendengaran.

“Enggak, kamu kalu habis berantem pasti ujungnya tidak lain dan tidak bukan, jelasin di sini aja.”

Tay terkekeh pelan mendengar jawaban kekasih hatinya, lantas bangkit dari tempat lalu berjalan mendekati pemuda itu, ia mendaratkan bokongnya di kursi sebelah Thitipoom.

“Singkatnya, tadi tuh awalnya yang mau nyuapin aku si Alice, tapi Namiee langsung ngambil alih, tiga curut langsung ngeliatin aku tapi mau gimana Thi aku beneran gak enak kalo ngelarang dia, aku gak mau dia malu di depan banyak orang.”

“Cuma tiga suap, sayang. Terus aku minta piringnya sama Namiee kalo aku bisa sendiri setelah aku perhatiin kalau aku dan Namiee bukan lagi jadi bahan tontonan, aku langsung bilang ke dia kalo aku bisa sendiri.”

“Cuma semalam aja Tetaa, aku cuma semalam sama Singto setelah itu pulang. Marah gak?” Thitipoom bertanya.

“Maaf.”

“Kamu selalu bilang maaf dan besok kamu ulangin semuanya, semuanya Teta. Kamu tau banget aku bukan orang yang gampang bener-bener cemburu, tapi dia pengecualian.”

“Aku bener-bener gak suka, gak suka perhatian kamu diambil sama dia.”

“Sama kayak Teta yang gak suka sama Singto, begitu juga aku yang gak suka sama mantanmu.”

“Kalau kamu sadar, selepas Teta bilang kalau Tetaa gak suka sama Singto, Teta cuma bilang gak suka, gak ada maksud buat ngelarang, tapi aku langsung ngejauh dari Singto. Karena apa? Karena aku tau Teta suka gak percaya diri kalau berhubungan dengan lelaki itu.”

“Tapi, cemburunya aku kamu anggap sepele banget ya.”

“Udah?”

“Teta tuh sebenarnya belum move-on ya sama Namtan?” untuk pertama kali nama seseorang yang tak pernah ia sebut terucap dari mulutnya, pemuda itu menghela napas cukup panjang menatap kekasih hatinya.

“Kalau aku belum melupakan dia, gak mungkin aku macarin kamu.”

“Bisa aja, kenapa gak mungkin? Aku pernah dengar beberapa pendapat temen kuliahku kalau beberapa orang memang butuh orang lain untuk melupakan orang sebelumnya gak menutup kemungkinan kalo Teta salah satu dari orang itu.”

“Mau banget mulut mu itu aku cium biar diem.”

“Coba aja kalau mau bibir kamu besok bengkak karena aku pukul pake gelas ini.” tandas yang muda sembari menggenggam sebuah gelas kaca berisi air putih.

“Thi masih mau marahin aku kah?”

“Masih, biar kamu gak sepele sama cemburunya aku.”

“Aku minta maaf Cantik, maaf udah sepele sama cemburunya kamu, maaf karena bikin Thi jadi cemburu, maaf.”

“Aku maafin, tapi ancaman tadi sore masih berlaku.”

“Iya Mbul.” Tay menjawab patuh.

“Jangan iya-iya aja Teta!”

“Iya ini yang terakhir bikin kamu cemburu sama mantanku, ini terakhir kali aku meng-iyakan apa-apa yang dibilang sama Namiee.”

“Kalau ingkar?” Pemuda berkulit putih itu bertanya dengan kedua tangan berada di depan dada, menunggu kekasihnya itu menjawab.

“Gak bakal nolak kalau kita ada jarak.”

Gelengan yang lebih muda terlihat, “Bukan ada jarak Teta, tapi kita usai.”

Tanpa sadar seulas senyum manis terukir menghiasi wajah tampan yang lebih tua, lantas ia mengangguk setuju dan menarik lelakinya kedalam sebuah pelukan paling nyaman yang ia punya, yang hanya ia berikan pada Thitipoom seorang.

“Aku gak suka kamu deket-deket sama dia.”

“Iya Mbul, gak akan deket-deket lagi.”

Pemilik iris kelabu berkilau itu menengadah-mengamati wajah tampan kekasihnya dari bawah, sebuah lengkungan indah perlahan-lahan hadir, manis sekali.

“Mulai senyum centilnya.”

“Sialan banget, gak bisa aku ngambek lama-lama sama kamu, Tetaa.”

Keduanya tertawa, mendadak melupakan segala pertikaian yang baru saja terjadi, si manis sudah asik kembali pada semangkok es-krim di meja, sedangkan yang lebih tua memutuskan untuk mengamati segala gerak-gerik lelaki tercintanya.

“Teta coba deketan deh, mataku kayaknya kelilipan.”

Tay langsung menurut, mengikis jarak diantara keduanya, mengamati iris kelabu sebelah kiri kekasihnya dengan seksama, namun sebuah kecup mesra di bibir diberikan oleh yang lebih muda, untuk Tawan-nya.

“Jangan nakal Mbul.” peringtan dari yang lebih tua membuat si manis mengangguk patuh, lantas melanjutkan kegiatan menyantap es-krimnya.

“Teta gak mau cium aku?”

Tay menaikkan salah satu alisnya lengkap dengan seringaian bibir yang terukir, “Kamu lagi pengen ya?”

Lelaki manis itu hanya mengulas senyum manis sebagai jawaban atas pertanyaan yang diberikan oleh Tay tawan. Ia beranjak dari tempatnya, beralih duduk di atas pangkuan kekasihnya.

“Kamu ganteng banget, tapi suka bikin aku ngambek.”

“Thi lagi mau ya?”

“Kalau iya emang kamu mau apa?” Thitipoom bertanya bersamaan dengan jemari telunjuknya yang bermain-main di wajah yang lebih tua.

“Kamu mau-nya aku gim-”

Ucapan Tay tak selesai karena seseorang yang tengah berada di pangkuannya mulai menyatukan kedua bibir mereka. Tay tersenyum di sela cumbuannya, terlihat jelas jika yang lebih tua sedang berupaya mendominasi dirinya.

Pagutan keduanya terlepas, deru napas saling berkejar-kejaran bersamaan dengan terbukanya kelopak mereka dengan bersamaan, sepasang netra itu saling menemukan pemiliknya, jatuh dalam tatap.

Kekehan renyah si manis terdengar ketika Tay mulai mengangkat tubuhnya, mendudukkannya di atas meja makan, sebuah geraman tertahan langsung terdengar di telinga tak kala tangan kanan begitu nakal milik Thitipoom mulai mengusap bagian paling privasi yang lelakinya miliki.

“Kamu nakal.”

Usai dua kata itu terucap, Tay kembali memagut kekasihnya, dan Thitipoom dengan senang hati menerima segala perlakuan matahari-nya. Hingga pagutan itu terlepas Tay telihat jelas tak ingin jauh dari Thitipoom, hingga sebuah dorongan dari si manis membuat kedua alis yang lebih tua terangkat sempurna.

“Aku mau pulang.”

“Are you fuckin kidding me, Thitipoom?”

Pemuda bernama Thitipoom itu menggeleng pelan bersamaan dengan beranjaknya ia dari tempatnya, berdiri tepat di depan sang kekasih hati, membenarkan pakaiannya agar kembali rapi, “Apa aku keliatan bercanda Teta? Aku beneran mau pulang.”

“Tapi aku udah-”

Perlahan tangan milik yang muda mengelus pipi kiri Tay dengan begitu lembut lalu menepuknya dua kali dengan perlahan, “Kamu udah gede Tetaa, punya dua tangan pula, mandiri dong.” Potong Thitipoom lalu berjalan menuju pintu utaman dari apartemen milik kekasihnya.

Sebelum benar-benar pergi ia kembali bersuara lengkap dengan sebuah senyum paling manis yang ia tampilkan untuk mataharinya itu, “Makanya lain kali Teta jangan bikin aku kesel, selamat malam, Ganteng.”

•••

-Joya-

[Syarat mutlak]

•••

Perkara dekat yang tak mempunyai status apa-apa memang acap kali terjadi di bumi, dan itulah yang sedang rasakan oleh pemilik iris kelabu yang tengah menyesap es kopi yang berada di genggaman tangan kanannya.

Sepasang netra berkilau itu berkali-kali melirik kearah pintu kamarnya, terlihat jelas jika ia sedang menanti kehadiran seseorang sedari tadi, hingga sebuah helaan napas panjang terdengar memecah kesunyian, “Awas aja sampe jam sepuluh gak dateng juga, gue susulin.” ia berucap setelahnya.

Kesepuluh jemarinya mulai membereskan kekacauan yang ia perbuat ketika sedang mengerjai tugas kuliahnya, begitu banyak kertas berserakan di bawah ranjang, laptop yang di biarkan menyala sejak tiga jam yang lalu, dan dua gelas kopi yang berada di atas nakas, tak lupa berbungkus-bungkus camilannya.

“Gue dari sore di kamar niatnya mau nyelesain tugas, selesai enggak ngeberantakin kamar iya.” Ia bergumam, meletakkan bungkus-bungkus camilan ke dalam tempat sampah berbentuk beruang berwarna putih yang berada di samping meja belajarnya.

Usai membereskan kekacauan yang ia perbuat, pemuda berkulit seputih salju itu meraih benda pipih di depannya, ia mendengus memandangi ponselnya yang tak ada pesan dari orang yang begitu di nanti hadirnya.

“Ini gue beneran di diemin dari tadi pagi?” pemuda bernama lengkap Newwiee thitipoom techaapaikhun itu bermonolog untuk kesekian kalinya.

“Gak sanggup lagi gue, anjir nih orang tua.”

•••

Langkahnya memelan begitu sepasang sneakers melekat di kakinya memasuki rumah berlantai dua yang begitu luas, sepasang netranya menyapu kesegala arah mencari seseorang yang sedari tadi tak kunjung menampakkan diri.

“Ngapa rame amat sih, sumpek gue.” Thitipoom bersuara sembari menerima segelas minuman dari pelayan yang berlalu lalang menjalankan tugasnya di tengah acara berlangsung.

“Oh itu yang ulang tahun, Loh-loh itu laki gue anjrit.”

Thitipoom lantas melangkah cepat menghampiri pria berkulit tan yang tengah asik berbincang dengan teman-temannya, namun langkahnya perlahan memelan ketika jarak ia dan Tay semakin dekat saja.

“Eh New.”

Thitipoom langsung menoleh ke kanan begitu namanya di sebut, ia mengulas senyum manis ke arah Off jumpol “Bang Jum.” sapanya.

“Thi?”

Senyum manis yang terpantri di wajahnya langsung berubah masam begitu suara dari Tay terdengar di telinganya, pria berkulit tan itu tampak berusaha melepaskan tangan seorang gadis cantik bergelayut manja di lengannya.

“Oh ini yang namanya Newwiee.” gadis bergaun merah itu bersuara, kedua tangannya tak lagi bertaut pada lengan Tay tawan, seulas senyum manis di tunjukkannya bersamaan dengan uluran tangan pada Thitipoom.

“Hai Newwiee, kenalin gue Namiee pacarnya T-”

“Mantan Nam, kalo lo lupa.” suara dari pria bermata sipit yang berada di samping Thitipoom memotong ucapan gadis itu, Off jumpol tersenyum santai setelahnya.

Thitipoom tersenyum manis, sangat manis. Menyambut uluran tangan gadis cantik itu dengan senang hati, “Newwiee, tunangan Tay tawan.”

Tay dan Off langsung tersedak minumannya sendiri ketika mendengar penuturan begitu percaya diri dari Thitipoom barusan.

•••

Kedua anak manusia yang tengah mengasingkan diri dari bisingnya acara pesta ulang tahun gadis cantik bernama lengkap Namtan tipnaree itu masih diam dan saling pandang, “Kamu masih mau diam-diam begini? tangan aku udah bentol-bentol di gigitin nyamuk.” Yang lebih muda bersuara.

Berada di taman komplek pada pukul sebelas bukanlah pilihan yang tepat, namun mau bagaimana lagi tempat ini yang sepi dan jaraknya tak jauh.

Pria berpakaian formal itu menanggalkan jas hitamnya, lalu memakaikannya pada pemuda berwajah manis yang berada di depannya, “Kenapa cuma pake kaos Thi?” Ia bertanya.

“Buru-buru nyariin yang katanya udah di apartemen jam sepuluh tapi sampe jam sebelas kurang masih asik gandengan sama yang punya acara.” Thitipoom menjawab.

“Thi, belum ada yang pulang.” Pria berkemeja hitam itu menggantungkan kalimatnya, perlahan tangan kanannya merapikan poni yang lebih muda agar tak menusuk mata. “Gak enak dong aku langsung pulang sedangkan yang lain belum ada yang beranjak dari sana.” Tay melanjutkan kalimatnya, memberi pengertian.

“Tapi Teta tadi pagi janjinya apa ke Thi?”

“Maaf, ya Cantik.”

Thitippom mendengus lengkap dengan wajah kesal yang ia tampilkan, “Aku gak suka kamu deket-deket sama Dia.”

“Dia yang kamu maksud punya nama Thi.” Tay berucap, nadanya begitu lembut.

“Gak kenal.”

“Tadi kamu baru aja kenalan kan.”

“Tetaaa....” pemuda berkulit putih itu merengek membuat yang lebih tua tak tahan untuk tidak meledakkan tawanya.

“Aku gak suka Teta kaya tadi sama Dia, aku gak suka berbagi perihal perhatian, kasih sayang, semuanya, aku gak suka berbagi. Apalagi tentang Teta.”

“Thitippom cemburu?” Tay bertanya dengan senyum manisnya.

Ekspresi kesal si manis kembali hadir menghiasi wajah tampan namun juga cantiknya, ia memicingkan matanya lalu berucap “Masih berani nanya kalau kamu udah tau jawabannya iya?”

Pria berkulit tan itu tertawa kecil mendengarnya.

“Teta lama banget nyatain suka sama aku, Thi rasa tiga bulan itu udah cukup buat kita cuma sekedar dekat, aku mau lebih, aku mau hati Teta jadi milik aku, aku mau kita punya status yang jelas.”

“Teta mau gak jadi pacar Thi?”

Pemilik iris kelabu itu langsung putar arah setelah menyelesaikan kalimatnya, hendak melangkah jauh-jauh meninggalkan Tay seorang diri, jantungnya benar-benar menggila di tempat, pipinya memanas-menjalar ketelinga. Hingga sebuah cekalan tangan menghentikan langkahnya, namun yang muda belum ada tanda-tanda untuk berbalik dan menatap lawan bicaranya.

“Habis nembak aku kok kabur?” Tay bertanya, tidak, lebih tepatnya ia ingin menggoda pemuda berwajah manis itu habis-habisan sekarang.

“Thi, kalau mau tau jawabannya liat mata aku dong.”

Thitipoom masih diam ditempat, tak kunjung berbalik melihat wajah tampan menahan tawa yang sebentar lagi akan meledak karena ulahnya.

“Gak usah di jawab aku mau pulang, lepasin tangannya Thi.”

“Tadi siapa yang dengan percaya dirinya bilang tunangannya Tay tawan? Dan juga, kemana Thitipoom yang baru aja nembak Tay tawan?”

“Udah pergi, Thitipoom yang itu emang gak jelas.” Yang muda menjawab cepat.

“Thi, coba liat mataku.”

“Gak mau.”

“Kali ini serius, Thitipoom.”

Entah bagaimana ceritanya, pemuda berkulit putih itu membalikkan tubuhnya, netra keduanya kembali bertemu, “Coba liat mataku, ada siapa?” Tay bersuara.

Thitipoom memajukan wajahnya, mengamati netra hitam pekat itu dengan begitu serius, “Gak liat siapa-siapa, disini kan gelap Teta, lampunya aja cuma satu-satu.”

Yang lebih tua menggaruk kepala bagian belakang, “Iya juga sih, kamu bener Thi.” Lalu ia terkekeh sendiri, “Thitipoom, sejak pertama kali aku ngeliat kamu fokus-ku cuma ada di kamu, sampai saat ini kamu adalah orang yang akan ku ajak kemana-mana bersama, berdua.”

“Aku pikir tiga bulan masih belum cukup untuk aku nyatain suka sama kamu, aku pikir kamu masih butuh waktu lebih buat kita punya status yang jelas. Ternyata aku ini salah ya Thi.”

“Sejak tiga bulan yang lalu, untuk menjadi pacar Tay tawan itu ada satu syarat mutlak.”

“Kok pake syarat segala?” Thitipoom bertanya, begitu polos.

Pria berkulit tan itu mengangguk dua kali, lalu tersenyum manis, “Iya, harus ada syaratnya.” ia menjawab.

“Apa syarat kalau mau jadi pacar kamu?”

“Harus Newwiee thitipoom techaapaikhun.”

•••

-Joya-

•••

Perkara dekat yang tak mempunyai status apa-apa memang acap kali terjadi di bumi, dan itulah yang sedang rasakan oleh pemilik iris kelabu yang tengah menyesap es kopi yang berada di genggaman tangan kanannya.

Sepasang netra berkilau itu berkali-kali melirik kearah pintu kamarnya, terlihat jelas jika ia sedang menanti kehadiran seseorang sedari tadi, hingga sebuah helaan napas panjang terdengar memecah kesunyian, “Awas aja sampe jam sepuluh gak dateng juga, gue susulin.” ia berucap setelahnya.

Kesepuluh jemarinya mulai membereskan kekacauan yang ia perbuat ketika sedang mengerjai tugas kuliahnya, begitu banyak kertas berserakan di bawah ranjang, laptop yang di biarkan menyala sejak tiga jam yang lalu, dan dua gelas kopi yang berada di atas nakas, tak lupa berbungkus-bungkus camilannya.

“Gue dari sore di kamar niatnya mau nyelesain tugas, selesai enggak ngeberantakin kamar iya.” Ia bergumam, meletakkan bungkus-bungkus camilan ke dalam tempat sampah berbentuk beruang berwarna putih yang berada di samping meja belajarnya.

Usai membereskan kekacauan yang ia perbuat, pemuda berkulit seputih salju itu meraih benda pipih di depannya, ia mendengus memandangi ponselnya yang tak ada pesan dari orang yang begitu di nanti hadirnya.

“Ini gue beneran di diemin dari tadi pagi?” pemuda bernama lengkap Newwiee thitipoom techaapaikhun itu bermonolog untuk kesekian kalinya.

“Gak sanggup lagi gue, anjir nih orang tua.”

•••

Langkahnya memelan begitu sepasang sneakers melekat di kakinya memasuki rumah berlantai dua yang begitu luas, sepasang netranya menyapu kesegala arah mencari seseorang yang sedari tadi tak kunjung menampakkan diri.

“Ngapa rame amat sih, sumpek gue.” Thitipoom bersuara sembari menerima segelas minuman dari pelayan yang berlalu lalang menjalankan tugasnya di tengah acara berlangsung.

“Oh itu yang ulang tahun, Loh-loh itu laki gue anjrit.”

Thitipoom lantas melangkah cepat menghampiri pria berkulit tan yang tengah asik berbincang dengan teman-temannya, namun langkahnya perlahan memelan ketika jarak ia dan Tay semakin dekat saja.

“Eh New.”

Thitipoom langsung menoleh ke kanan begitu namanya di sebut, ia mengulas senyum manis ke arah Off jumpol “Bang Jum.” sapanya.

“Thi?”

Senyum manis yang terpantri di wajahnya langsung berubah masam begitu suara dari Tay terdengar di telinganya, pria berkulit tan itu tampak berusaha melepaskan tangan seorang gadis cantik bergelayut manja di lengannya.

“Oh ini yang namanya Newwiee.” gadis bergaun merah itu bersuara, kedua tangannya tak lagi bertaut pada lengan Tay tawan, seulas senyum manis di tunjukkannya bersamaan dengan uluran tangan pada Thitipoom.

“Hai Newwiee, kenalin gue Namiee pacarnya T-”

“Mantan Nam, kalo lo lupa.” suara dari pria bermata sipit yang berada di samping Thitipoom memotong ucapan gadis itu, Off jumpol tersenyum santai setelahnya.

Thitipoom tersenyum manis, sangat manis. Menyambut uluran tangan gadis cantik itu dengan senang hati, “Newwiee, tunangan Tay tawan.”

Tay dan Off langsung tersedak minumannya sendiri ketika mendengar penuturan begitu percaya diri dari Thitipoom barusan.

•••

Kedua anak manusia yang tengah mengasingkan diri dari bisingnya acara pesta ulang tahun gadis cantik bernama lengkap Namtan tipnaree itu masih diam dan saling pandang, “Kamu masih mau diam-diam begini? tangan aku udah bentol-bentol di gigitin nyamuk.” Yang lebih muda bersuara.

Berada di taman komplek pada pukul sebelas bukanlah pilihan yang tepat, namun mau bagaimana lagi tempat ini yang sepi dan jaraknya tak jauh.

Pria berpakaian formal itu menanggalkan jas hitamnya, lalu memakaikannya pada pemuda berwajah manis yang berada di depannya, “Kenapa cuma pake kaos Thi?” Ia bertanya.

“Buru-buru nyariin yang katanya udah di apartemen jam sepuluh tapi sampe jam sebelas kurang masih asik gandengan sama yang punya acara.” Thitipoom menjawab.

“Thi, belum ada yang pulang.” Pria berkemeja hitam itu menggantungkan kalimatnya, perlahan tangan kanannya merapikan poni yang lebih muda agar tak menusuk mata. “Gak enak dong aku langsung pulang sedangkan yang lain belum ada yang beranjak dari sana.” Tay melanjutkan kalimatnya, memberi pengertian.

“Tapi Teta tadi pagi janjinya apa ke Thi?”

“Maaf, ya Cantik.”

Thitippom mendengus lengkap dengan wajah kesal yang ia tampilkan, “Aku gak suka kamu deket-deket sama Dia.”

“Dia yang kamu maksud punya nama Thi.” Tay berucap, nadanya begitu lembut.

“Gak kenal.”

“Tadi kamu baru aja kenalan kan.”

“Tetaaa....” pemuda berkulit putih itu merengek membuat yang lebih tua tak tahan untuk tidak meledakkan tawanya.

“Aku gak suka Teta kaya tadi sama Dia, aku gak suka berbagi perihal perhatian, kasih sayang, semuanya, aku gak suka berbagi. Apalagi tentang Teta.”

“Thitippom cemburu?” Tay bertanya dengan senyum manisnya.

Ekspresi kesal si manis kembali hadir menghiasi wajah tampan namun juga cantiknya, ia memicingkan matanya lalu berucap “Masih berani nanya kalau kamu udah tau jawabannya iya?”

Pria berkulit tan itu tertawa kecil mendengarnya.

“Teta lama banget nyatain suka sama aku, Thi rasa tiga bulan itu udah cukup buat kita cuma sekedar dekat, aku mau lebih, aku mau hati Teta jadi milik aku, aku mau kita punya status yang jelas.”

“Teta mau gak jadi pacar Thi?”

Pemilik iris kelabu itu langsung putar arah setelah menyelesaikan kalimatnya, hendak melangkah jauh-jauh meninggalkan Tay seorang diri, jantungnya benar-benar menggila di tempat, pipinya memanas-menjalar ketelinga. Hingga sebuah cekalan tangan menghentikan langkahnya, namun yang muda belum ada tanda-tanda untuk berbalik dan menatap lawan bicaranya.

“Habis nembak aku kok kabur?” Tay bertanya, tidak, lebih tepatnya ia ingin menggoda pemuda berwajah manis itu habis-habisan sekarang.

“Thi, kalau mau tau jawabannya liat mata aku dong.”

Thitipoom masih diam ditempat, tak kunjung berbalik melihat wajah tampan menahan tawa yang sebentar lagi akan meledak karena ulahnya.

“Gak usah di jawab aku mau pulang, lepasin tangannya Thi.”

“Tadi siapa yang dengan percaya dirinya bilang tunangannya Tay tawan? Dan juga, kemana Thitipoom yang baru aja nembak Tay tawan?”

“Udah pergi, Thitipoom yang itu emang gak jelas.” Yang muda menjawab cepat.

“Thi, coba liat mataku.”

“Gak mau.”

“Kali ini serius, Thitipoom.”

Entah bagaimana ceritanya, pemuda berkulit putih itu membalikkan tubuhnya, netra keduanya kembali bertemu, “Coba liat mataku, ada siapa?” Tay bersuara.

Thitipoom memajukan wajahnya, mengamati netra hitam pekat itu dengan begitu serius, “Gak liat siapa-siapa, disini kan gelap Teta, lampunya aja cuma satu-satu.”

Yang lebih tua menggaruk kepala bagian belakang, “Iya juga sih, kamu bener Thi.” Lalu ia terkekeh sendiri, “Thitipoom, sejak pertama kali aku ngeliat kamu fokus-ku cuma ada di kamu, sampai saat ini kamu adalah orang yang akan ku ajak kemana-mana bersama, berdua.”

“Aku pikir tiga bulan masih belum cukup untuk aku nyatain suka sama kamu, aku pikir kamu masih butuh waktu lebih buat kita punya status yang jelas. Ternyata aku ini salah ya Thi.”

“Sejak tiga bulan yang lalu, untuk menjadi pacar Tay tawan itu ada satu syarat mutlak.”

“Kok pake syarat segala?” Thitipoom bertanya, begitu polos.

Pria berkulit tan itu mengangguk dua kali, lalu tersenyum manis, “Iya, harus ada syaratnya.” ia menjawab.

“Apa syarat kalau mau jadi pacar kamu?”

“Harus Newwiee thitipoom techaapaikhun.”

•••

-Joya-

[Serasi]

•••

Netra hitam pekat itu mendengus pelan tak kala menangkap sesosok pemuda berwajah manis yang tengah duduk di atas motornya dengan sebuah cup es-krim yang berada di genggaman tangan kiri.

“Anjir Wan pacar lu malah nyantai dimari.” celetuk pria bermata sipit yang duduk santai di bangku penumpang.

Tay tawan langsung membuka pintu mobilnya, melangkah mendekati sang kekasih, disusul oleh Off jumpol yang berada di belakangnya.

Senyum manis terpantri di wajah pemuda berkulit putih bersih itu, “Tetaa mau es-krim?”

Tay masih bungkam menatapnya, membuat yang lebih muda terdiam lengkap dengan memudarnya senyuman cerah di wajah manis pria di balut hoodie merah muda itu.

“Wan bawa pulang aja New-nya, biar gue yang nunggu anak buah Oab.” Off ambil suara tak kala mula sadar dengan raut wajah teman sejawatnya yang mulai berubah.

“Ayo, pulang.”

Hanya dua kata yang terucap dari mulut kekasihnya, langsung membuat Thitipoom menurut namun langkahnya berhenti tepat di depan pintu mobil, lalu ia menggeleng pelan.

“Aku pulang sendiri aja.” Thitipoom berujar pelan.

“Masuk.”

“Gak mau, aku pulang sendiri aja.”

“Masuk kedalam mobil New.”

•••

Suara pintu tertutup terdengar, sepasang kekasih itu masih sama-sama bungkam, di sepanjang perjalanan menuju pulang tadi keduanya pun tetap senyap, yang muda tak berani bersuara dan yang lebih tua tak kunjung mengeluarkan kata.

Thitipoom melangkah masuk kedalam kamarnya, ia tak ingin menatap netra hitam pekat yang menjadi lebih menyeramkan ketika pemiliknya sedang dalam keadaan tak baik-baik saja. Namun langkahnya terhenti ketika sebuah suara menginstrupsi.

“Thi.”

“Tetaa kalau mau marah-marah pulang aja, aku gak suka.”

“Gimana gak marah kalau kamu bohong.” timpal yang lebih tua.

Thitpoom membalikkan tubuhnya, perlahan iris kelabu itu bersinggungan dengan iris kekasihnya, “Aku gak bohong.”

“Kamu bilang ke minimarket deket sini, tapi kenapa bisa motor kamu mogok di tempat sejauh itu?”

Ia bungkam.

“Kamu mikir gak sih gimana paniknya aku begitu buka pintu gak ada kamu? Pesan gak di balas, telepon gak kamu angkat, dan begitu ngeliat kamu disana, di tempat sepi malah asik makan es-krim, emang gak ada niat buat ngehubungin aku, iya Thi?” Tay kembali berucap, lebih panjang.

“Thitipoom.”

“Minta maaf Tawan.”

Setelah ucapan kekasihnya terdengar di telinga, Tay tak lagi berucap, perlahan tangan kanannya mulai mengendurkan ikatan kain yang berada di leher, menghela napas panjang dengan sepasang netranya terus memandangi Thitipoom yang masih menunduk dalam-dalam.

Yang lebih tua perlahan melangkah dan menarik kekasihnya kedalam sebuah pelukan hangat, mengelus rambut halus Thitipoom dengan begitu pelan.

“Udah gak marah?” pria berponi lucu itu angkat suara.

“Masih.

Thitipoom hendak melepaskan kedua tangan Tay yang tengah memeluknya, namun yang lebih tua semakin mengeratkan pelukannya, tampak jelas tak ingin melepaskan Thitipoom-nya.

“Lain kali kasih kabar, kalau kamu kenapa-napa aku yang gila mbul.”

“Aku tadi mau ngehubungin kamu, tapi aku ingat kamu masih nulis somasi, aku makan es-krim karna laper banget, maaf udah bohong sama kamu.”

“Tapi aku gak niat bohong Taa, aku emang muter-muter naik motor karna aku bosan sendirian di kamar, taunya mogok.”

“Tetaa kalau masih marah sama aku pulang aja dulu gih, kalau mau marahin aku besok aja.

“Aku gak boleh nginep nih?”

Pelukan mereka perlahan merenggang bersamaan dengan gelengan kepala yang lebih muda terlihat, “Enggak kalau masih marah.”

“Aku marah karna sayang.”

“Tapi kalau sayang gak boleh marah-marah.”

“Ngejawab mulu.” ucap Tay sembari menyentil dahi yang bersembunyi di balik poni kekasihnya itu.

Ringisan dari yang lebih muda terdengar, bibir merah mudanya mengerucut kesal, “Usapin dahinya aku, di sayang-sayang.” Thitipoom meminta.

Tay tak tahan untuk tidak terkekeh pelan melihat ekspresi lucu yang ditampilkan kekasih hatinya ini, dengan perlahan tangan kanannya mengelus dahi yang lebih muda-menyingkirkan poni rapinya.

“Minta maaf Tetaa.” Thitipoom berujar, kedua tangannya perlahan melingkar di pinggang yang lebih tua.

“Di maafin, tapi aku gak suka kamu manggil Tawan kayak tadi.”

“Kamu juga tadi manggil aku New, mana serem banget lagi mukanya.” jawab si manis.

“Salah siapa?”

“Iya Tetaa, salah Thi.”

Seulas senyum tipis di tampilkan oleh yang lebih tua lengkap dengan mengecup pipi kiri kekasihnya, “Masih lapar kah, Cantik?”

“Masihlah, kamu pikir es-krim bisa bikin aku kenyang? Mana abis kena semprot kamu jadi laper dua kali lipat nih aku.” Thitipoom menjawab bersamaan dengan kekehan Tay yang terdengar.

“Aku ada bawa Pizza tuh.”

“Cinta banget sama Om Tetaa.”

Usai menyelesaikan ucapannya Thitipoom langsung berlari ke dapur, lagi-lagi yang lebih tua terdiam dengan sebuah senyuman yang masih terukir di wajahnya, Thitipoom tak lupa mengecup dirinya, tepat di bagian bibir.

•••

“Enak?”

Pemilik iris kelabu itu menoleh kekiri, lalu mengangguk dengan mulutnya yang mengembung mengunyah makanannya, sangat lucu.

“Sini aku keringin rambutnya.”

Tay langsung saja menurut, duduk di atas karpet bulu menyandarkan punggungnya di sofa yang tengah diduduki sang kekasih, kedua tangan pemuda berkulit putih bersih itu mulai mengambil alih handuk yang berada di genggaman kekasihnya.

Wangi segar Tay sehabis mandi masuk ke indra penciumannya tanpa permisi, Thitipoom menyukai wanginya.

“Ini film apa Thi?” yang lebih tua bertanya.

“Me before you”

“Tetaa besok ada sidang kah?”

“Ada jam sepuluh, kenapa Mbul?”

“Selesai aku makan kita langsung tidur biar kamu gak kesiangan.” Thitipoom menjawab.

Tay lantas bangkit dari duduknya, mendaratkan bokongnya di samping sang kekasih, “Thi duduk.”

“Iya ini kalo bukan duduk aku ngapain? Kayang” Jawab yang muda.

“Duduk disini, di pangkuan aku.”

Kerutan dahi si manis terlihat setelah meletakkan gelas kosong di atas meja kaca yang berada di depannya, “Gak mau, kamu jangan macam-macam besok kerja.”

“Padahal yang macam-macam itu bikin aku semangat kerja.” Tay menjawab.

Thitipoom mendengus sebal, namun mendekatkan dirinya pada sang kekasih, mengikis jarak diantara mereka berdua, mempertemukan bibirnya dengan pasangannya, saling menyesap dengan begitu lembut namun memabukkan. Ciuman itu tak lama, yang lebih muda mengulas senyum tipis setelahnya.

“Besok jaksanya siapa Taa?”

“Singto.”

Thitipoom mengangguk-anggukkan kepalanya sembari tersenyum geli melihat perubahan ekspresi sang kekasih.

“Kenapa kamu kesenyum-senyum?” Tay bertanya.

“Gak apa-apa, emang gak boleh senyum doang?”

“Senyumnya centil, kenapa gitu?”

“Ih apaan sih Tetaa ini, orang senyum doang.

“Kamu senyum begitu aku bilang Singto.” tandas Tay.

“Ya emang gak boleh aku senyum?”

Pria berkulit tan itu diam, menelisik wajah cantik kekasihnya, beberapa detik setelahnya pekikkan dari yang lebih muda terdengar begitu terkejut karena Tay yang langsung menggendongnya menuju ke kamar.

“Tetaa besok kamu kerja.”

“Iya besok aku kerja, bikin aku semangat buat besok ya cantik.”

•••

-Joya-

[Pulang]

Hyde park winter wonderland

•••

Senyum manis masih terukir dengan indah menghiasi wajahnya, sebuah pena yang berada di genggaman menari-nari diatas sebuah buku harian yang selalu ia bawa kemana-mana.

Kata demi kata terulis menjadi sebuah kalimat, sembari menyesap cokelat hangat yang Tay belikan untuknya tadi, lelaki itu melarang New ketika ia akan membeli kopi.

Tay tawan benar, dari awal pria itu tak pernah salah tentang rumahnya. Dia tak keliru tentang siapa tempatnya untuk mengadu. Dan dia tak pernah ragu berjuang untuk orang yang dia sayang.

Cerita indah yang dulu hanya ada di kepala kini benar-benar bisa saya rasakan. Ternyata punya hubungan bukan sebuah hal yang mengerikan, bukan sebuah hal yang harus saya takutkan. Dan lagi-lagi saya dibuat tersadar jika semesta memang punya caranya sendiri dalam bekerja.

Teman-teman yang dulunya meremehkan saya ternyata salah, mereka salah tentang saya yang gak akan pernah bisa bahagia. Bahkan kalau dikaji sekarang, hidup saya satu langkah lebih maju dari mereka. Tapi terlepas dari itu semua, kini sedikit demi sedikit ucapan-ucapan buruk mereka mulai hilang dari ingatan saya.

Kalau ditanya gimana dengan Olphie, saya sendiri juga tidak tau pasti. Karena tampaknya Tay memang tak ingin membicarakan wanita cantik itu. Dan saya juga gak punya hak untuk memaksa agar dia mau membagi ceritanya yang tak ingin ia bagi.

Pada akhirnya semua cerita akan menemukan penikmatnya. Semua kisah pasti punya-

“Sayang, sini.” kepalanya terangkat, iris kelabu berkilau itu menemukan pasangannya, Tay dan New langsung melempar senyum manis satu sama lain.

Tangan lelaki itu menutup bukunya, padahal ia tau jika kalimatnya belum tersusun semua, tapi siapa yang peduli. Setelah memasukkan buku beserta penanya kedalam ransel si manis langsung bangkit dari duduknya, berjalan mendekati kekasih hatinya.

“Topinya dibenerin dong Cantik.” Tay berucap sembari membenarkan topi yang New kenakan.

“Masih mau main? Atau mau nyari tempat makan?” Tay kembali bertanya.

“Nyari makan aja yuk, aku juga udah capek mainin semua wahananya.”

Sebuah anggukan langsung terlihat, senyum keduanya masih ada, masih menghiasi wajah mereka, Tay maju selangkah mendaratkan sebuah ciuman begitu lama di dahi kekasihnya, “Aku sayang sekali sama kamu Newwiee.”

“Aku sayang banget, banget, banget, sama Tawan.” balas lelaki manis itu masuk kedalam pelukan yang lebih tua.

“Gue gak kuat, gue mau pulang, gue capek banget ngadepin kebucinan lo berdua.” omelan Off jumpol terdengar, sontak sebuah tawa bahagia langsung tercipta.

“Jum masih mau main ice skating gak?”

“MALES GUE MAU PULANG.”

•••

-Joya-

[Semua]

•••

Tiga puluh menit setelahnya salju turun dengan derasnya, membuat yang lebih muda mengusulkan jika Tay bermalam di aprtemennya, karena jujur saja ia tak tega membiarkan lelaki itu pulang dalam keadaan badai salju seperti sekarang.

Keduanya duduk di perapian yang berada di ruang tengah untuk menghangatkan diri masing-masing, mereka sama-sama diam, lebih tepatnya Newwiee yang benar-benar bungkam.

Kedua telapak tangan lelaki berkulit putih itu saling bergesekan berulang kali, hingga akhirnya membuat Tay memegang kedua tangan New, menghangatkan lelaki itu dengan caranya.

“Kamu, gak apa-apa gak balik ke hotel?” meski ragu, namun New tetap memutuskan bertanya membuat pria yang berada di sebelahnya tersenyum simpul.

“Tawan ja-”

“Hari ini belum berakhir Newwiee, jadi biarin kita bahagia dulu.” potong Tay.

“Kalau terus begini kamu menyiksa aku namanya, apa tujuan kamu kesini? Buat apa nemuin aku lagi kalau kamu sudah punya istri?”

“Udah?” pertanyaan itu terdengar begitu santai lengkap dengan sebuah senyum manis yang ia tunjukkan.

“Harusnya setelah baca surat itu kamu gak usah lagi temui aku, kita udah lama usai, kata kita udah lama gak ada tapi kenapa kamu tiba-tiba datang menawarkan kebahagiaan dengan waktu semalaman saja, terus besok-besoknya aku harus bisa melupakan kamu dari awal, lagi. Sedangkan aku aja belum sepenuhnya bisa melupakan sosok kamu.”

“Kamu memang berniat balas dendam sama aku?”

“Masih ada lagi? Keluarin aja semua, marahin aku sepuas kamu.”

New melepaskan kedua tangan Tay yang menggenggam tangannya, “Seharusnya kamu yang marah-marah sama aku, tapi kenapa nada kamu gak berubah juga?”

“Aku belum bisa melupakan kamu dan sekarang kamu ada di depan aku, tapi aku harus nerima fakta bahwa kamu udah milik orang lain.”

“Kata siapa?”

Keduanya sama-sama diam setelah ucapan Tay tawan terdengar, iris kelabu itu mulai menelisik wajah yang lebih tua, “Maksud kamu apa?” ia bertanya.

Seulas senyum simpul Tay tampilkan, ibu jarinya terulur kembali menyerka air mata New. “Kata siapa aku udah milik orang lain? Jangan ngarang kamu.”

“Gak usah pura-pura Tay tawan.”

“Siapa yang pura-pura sayang?”

Yang lebih muda terdiam mendengar kata itu kembali terucap, hingga kekehan Tay terdengar mengusik lamunannya.

“Kamu tuh terlalu menerka-nerka, bukan nanya langsung aja sama aku. Coba aku tanya, tau dari mana aku udah beristri?”

“Cincin kamu, kata Gun, dan orang yang pergi kesini sama kamu.”

“Yah, Cantik-nya aku nangis lagi.” ucap Tay kembali menghapus air mata si manis.

“Jadi kamu mau tau yang mana dulu tentang aku?” sambungnya.

“Buat apa aku tau tentang kamu?”

“Masih aja gengsi, perkara cincin ini?” pria berkulit tan itu memamerkan tangan kanan di depan New sembari menggerak-gerakkan kelima jemarinya, “Lucu juga sih, alasan aku pake cincin ini tuh supaya di kira udah nikah jadi gak ada yang berani ganggu-ganggu aku selama gak ada kamu.”

“Bohong.”

“Jujur Newwiee, kalau gak percaya tanya aja sama Jumpol, aku belinya sama dia.” balas Tay.

“Cincin selesai ya? Sekarang ucapan Gun yang bilang aku menikah?”

“Gun gak salah, memang betul aku bakal menikah saat itu, tapi malamnya aku singgah kerumah Ibu kamu setelah nanya ke Gun gak nemuin jawaban kamu tuh sebenarnya ada dimana.”

“Mungkin Ibu juga iba kali ngeliat aku yang udah kayak orang gila nyariin kamu.” Tay terkekeh pelan lalu melanjutkan ucapannya, “Jangan marah sama Ibu lho karena ngasih tau aku, setelah aku tau kamu ternyata ada disini, ini bagian paling serunya memperjuangkan kamu.”

“Apa?” New bertanya begitu polos.

Yang lebih tua menyunggingkan senyum miring, bukannya menjawab ucapan New ia malah langsung beranjak dari duduknya menuju ke sofa, mendaratkan bokongnya disana. Tay menepuk-nepuk kedua pahanya dengan gerakan pelan, “Kalau mau tau, duduknya di pangku sama aku.”

“Kamu gila?!”

“Iya.” Tay menjawab dengan begitu santai, “Sayang, sini.” ia kembali bersuara.

Si manis tentu saja menolak lengkap dengan gelengan kepala, “Yaudah kalau gitu aku gak mau ngasih tau.” Tay kembali berujar.

“Aku malu Tay.”

“Yaudah duduk di samping aku aja, sini.” Tay mengalah, membiarkan New mengambil tempat kosong yang berada di sampingnya.

“Kamu dengar baik-baik karena ini drama abis.” Tay berucap dan anggukan dari New langsung ia terima sebagai jawaban.

“Pulang dari rumah Ibu, aku kerumah Papa, langsung masukin pakaian kedalam koper, berdebat lama banget sama Papa yang emang wataknya keras.”

“Aku udah capek banget sama semua tuntutan beliau, karena sesudah aku tau kamu ada dimana niatku buat pasrah nerima pernikahan itu udah gak ada, saat itu yang ada di pikiran aku cuma aku harus ketemu kamu gimananpun caranya.”

“Lagi-lagi aku kalah debat sama Papa, sampe akhirnya aku nunjukin pisau buat bunuh dir-”

“Kamu ngarang?!” New langsung memotong ucapan panjang Tay.

“Enggak, ini serius emang drama banget. Tapi gara-gara ancaman itu Papa sadar kalau terlepas dari kata anaknya, aku ini juga manusia yang gak bisa diatur hidupnya sama manusia lain.”

“Dan disitu juga Mama ngingatin ke Papa kalau mereka dapetin aku itu susah. Tapi ada kalimat Mama yang sampe sekarang ngena banget di aku.”

“Alasan dia keluar dari rumah dan gak makai nama Vihokratana karena dia gak pernah ngerasain bahagia dari orang tuanya.”

“Setelah aku pikirin, dari dulu emang gak ada bahagianya, semuanya udah di atur sama Papa, lulus sd aku harus smp disini begitu seterusnya. Kata harus itu udah pasti keluar dari mulut beliau.”

“Jika malam itu Papa tetap keukeh sama kemauannya, ya mau gak mau aku harus bunuh diri sesuai apa yang aku bilang tadi, tapi entah gimana ceritanya Papa nangis, Papaku nangis di depan aku sama Mama, New.”

“Hal yang gak pernah aku duga sebelumnya, beliau minta maaf sama aku, singkatnya ya aku sampai disini sekarang.”

Kerutan di bagian dahi Tay langsung terlihat begitu netranya menangkap bahu yang lebih muda bergetar hebat, kepalanya menunduk dalam-dalam.

“Newwiee.”

“Kenapa segitunya buat aku?”

“Karena kamu memang pantas aku perjuangkan, aku gak bakal menikahi orang yang gak pernah aku cintai. Dan aku kesini juga bukan untuk nemuin kamu doang.”

“Seperti yang aku bilang tadi, kata harus memang akan tetap keluar dari mulut bapak Vihokratana.”

“Aku harus bawa pulang kamu secepatnya.”

Seulas senyum tipis di tampilkan oleh lelaki berkulit tan itu, kedua tangannya merentang lebar beserta anggukan agar New mau menerima pelukannya.

Tak ada alasan dirinya untuk menolak lelaki itu lagi, karena sepuluh detik selepasnya yang muda langsung masuk kedalam pelukan hangat pujaan hatinya.

“Jangan pergi lagi, jangan tinggalin aku sendiri.” Tay berbisik.

“Minta maaf Tawan.”

Kelima jemari yang terus mengelus punggung si manis perlahan bertehenti, beralih ke pipi sebelah kiri lelaki berponi, “Gak ada yang salah dan gak ada yang perlu di maafkan. Aku sayang banget sama kamu Cantik.”

“Jadi, Olp-”

“Aku cuma mau ada kita aja malam ini, gak ada orang lain.” Tay memotong ucapannya.

•••

Entah bagaimana jalan cerita setelahnya, karena ucapan terakhir yang di lontarkan Tay tawan, pria berkulit putih bersih itu menarik pujaan hatinya mendekat, menyatukan dua bibir yang sudah lama tak menemukan pasangannya.

Dan tanpa diduga, seorang Tay tawan vihokratana meneteskan air matanya di sela cumbuan yang mereka lalukan, memagut lelakinya dengan begitu mesra, tangan kanannya masuk kedalam sweater rajut yang New kenakan—mengelus pinggang mulus kekasihnya dengan begitu halus.

Ibu jari New menyerka bekas air mata mulai mengering di wajah pria berkulit tan yang berada di atasnya, “Bawa aku ke kamar.”

Ucapan New barusan sontak membuat Tay membelalakkan matanya, lalu ia berucap. “Newwiee kamu yang benar aja.”

“Tawan aku gak bercanda.” ia menjawab mantap, menatap manik sang kekasih perlahan mulai menggelap, memajukan wajahnya untuk kembali menyatukan kedua bibir mereka, letupan-letupan didada terasa sangat nyata, kedua tangan kekar yang sedari tadi mengelus sisi wajah si manis mulai beralih kebawah, mengangkat kekasihnya menuju ke kamar tanpa melepaskan ciumannya, menyetujui apa yang New inginkan, Tay tawan tak akan menolak ataupun membantah.

“Nakal.” ujar Tay ketika pria yang berada di dalam gendongannya itu mulai beralih menyesap kulit lehernya, memberikan satu tanda merah disana seakan ingin mengatakan pada dunia jika lelaki di depannya itu diciptakan hanya untuknya saja.

Tangan kanan Tay memutar knop pintu kayu bercat coklat muda yang berada di depannya, masuk kedalam kamar tidur sang pujaan hati, kembali menutup pintu kamar dengan gerakan kaki sebelah kiri. Yang lebih tua lantas menidurkan kekasihnya di atas ranjang dengan sangat perlahan, mencium kedua pipi gembul New setelahnya.

“Aku mau ciuman.” pinta si manis.

“Iya ini lagi aku cium pipinya.”

“Kamu ngerti maksud aku kemana, aku mau kamu malam ini.”

“Kamu jangan mancing aku terus.” Tay berucap tepat ditelinga lelaki yang berada di bawah kukungannya.

“Aku mau kamu, Tawan.”

Pertahanan lelaki itu rubuh begitu telinganya mendengar lirihan kekasihnya, tatapan keduanya kembali bertemu, saling menatap begitu dalam, membiarkan ribuan kupu-kupu menggelitik perut, kedua kelopak yang lebih muda perlahan menyembunyikan iris kelabu sang empu tak kala Tay tawan menghapus habis jarak diantara keduanya.

Kembali bercumbu untuk beberapa waktu, saling memanggut tanpa perasaan takut-takut, mencurahkan rindu yang akhirnya berujung dengan temu, rasanya tak berubah malah semakin bertambah, bisa di bilang Tay tawan hanya mau New seorang.

Ia hanya mau New untuk terus ada di hidupnya, untuk terus ada di sampingnya, tak lagi pergi kemana-mana, tak lagi meninggalkannya.

Tatanan rambut rapi yang lebih tua sudah berganti menjadi berantakan akibat kesepuluh jemari putih yang meremasnya dengan gerakan tak konstan, seakan memberi tahu jika Tawan selalu unggul dalam hal apapun, termasuk ciuman yang sedang mereka lakukan.

Kesepuluh jemari New meremat semakin erat, membuat pria yang berada di atasnya melepas pagutan yang tercipta, deru napas saling bersahut-sahutan, mata saling terpejam, dan kening yang saling bersinggungan.

“Bukan cuma malam ini, aku mau selamanya. Aku mau kita selamanya bahagia bersama. Menghabiskan waktu berdua.”

“Dari awal aku memang gak pernah keliru tentang rumahku, karena aku yakin semesta punya caranya buat mempertemukan aku dan kamu.” Tay berucap dengan sungguh-sungguh dengan ibu jari yang menghapus titik-titik keringat didahi kekasihnya, melupakan fakta jika diluar tengah hujan salju.

New kehilangan kata-katanya, tak bisa membalas ucapan kepalang manis yang Tay tawan lontarkan dalam keadaan sedekat ini, seintim ini, maka dari itu ia menghadiahkan sebuah ciuman mesra untuk kekasihnya. Orang yang selalu jadi urutan pertama tentang apa-apa yang berharga di hidupnya, apa-apa yang ia cinta.

•••

“Kok ditutup mukanya?” Tay bertanya.

“Malu.”

Kekehan pria berkulit tan itu terdengar, untuk yang kesekian kalianya ia menunduk, memberikan banyak tanda cinta dileher yang lebih muda hingga secara perlahan kedua telapak tangan itu mulai merenggang, menampilkan wajah indah yang menjadi candu di lihat lama-lama.

New memejamkan matanya tak kala kulit telanjang itu saling bergesekan, bersentuhan dengan mesranya, entah siapa yang lebih dulu menanggalkan pakaiannya, karena mereka sama-sama lupa.

“Matiin aja lampunya.” Cicit si manis.

“Aku mau lihat wajah kamu.”

“Tawan matiin aja lampunya aku malu kamu liatin begitu.”

Rasa salah tingkah itu hadir akibat sepasang iris hitam pekat sang empu sedari tadi menatapnya begitu dalam, penuh damba, terlihat begitu jelas bagaimana cara Tay benar-benar mencintainya.

Rona merah di pipi lelaki putih bersih itu terlihat dengan jelas karena lampu kamar tak kunjung dimatikan, “Aku gak tau lagi harus memuji kamu pake kata-kata apa Newwiee.”

“Matiin lampunya, ya? Pake lampu tidur aja.”

Bagaimana cara New meminta, lengkap dengan iris kelabu yang mulai terlihat sayu, Tawan sudah kalah, dan kembali menuruti apa kemauan sang kekasih.

Keadaan kamar langsung temaram begitu lampu utama dimatikan yang lebih tua, namun penglihatannya masih begitu jelas, netranya masih bisa menangkap wajah orang yang tengah berbaring di depannya.

“Newwiee...” Lelaki itu memanggil, nadanya memberat.

“Lakuin aja, apapun yang kamu mau.”

Usai kalimat persetujuan dari pria manisnya terucap, keraguan tiada lagi di dalam dirinya, ringisan New langsung terdengar bersamaan dengan kesepuluh jemarinya meraih kain sprei untuk ia remat kuat-kuat, kedua kakinya langsung terasa lemas, napasnya putus-putus begitu ia tau Tay sudah ada di dalamnya, mengisi kekosongan dirinya dengan begitu pas.

Tay kembali menciumnya, memberinya sebuah pengalihan tentang apa-apa yang masih asing dirasa. Mencurahkan segala cinta yang ada untuk lelaki dibawahnya. Pria berkulit tan itu berkerja dengan gerakan lamban namum tepat, malam ini mereka menyatu, berbagai semuanya bersama, berdua.

“Kamu diciptakan memang untuk aku, dan gak ada yang bisa ngubah itu.” Tay berucap pelan.

Yang lebih muda mengalungkan kedua tangannya dileher kekasihnya, ia melenguh, mendesah, mengerang dengan sesukanya, membiarkan Tay mengambil alih dirinya.

“Tawan...”

“Feels good?” Tay bertanya namun New hanya bisa mengangguk sebagai jawaban.

Sebuah seringaian tercipta menghiasi wajah tampan pria berkulit tan, gerakannya dipercepat, begitu gagah, menghasilkan bunyi kulit saling bersinggungan membuat New semakin memejamkan matanya, merasa semakin tak karuan di bawah kuasa Tay tawan.

Tepat di hentakan terakhirnya lenguhan keduanya terdengar bersahut-sahutan, Tay menjatuhkan tubuhnya diatas New ketika kedua tangan tak lagi punya tenaga untuk menopang tubuhnya.

“Kamu bilang disurat itu kalau nama kita gak ada di catatan semesta mereka bersama hingga tua, kamu kurang teliti ngeliatnya.” Tay berujar pelan.

“Nama TayNew memang gak tertulis disana, tapi bukan berarti kita gak ada.” Lanjutnya.

“Terus yang ada disana apa?”

“Tawan-Thitipoom.”

•••

-Joya-

[Cincin]

•••

London, Desember 2022

Langkah kaki berbalut sepasang boots cokelat tua menyusuri jalanan kota London di sore hari, dengan tangan kanan yang menggenggam sebuah cup berisikan kopi hangat miliknya. Kepala pemuda itu menengadah menatap langit mulai menggelap, seulas senyum tipis terukir menghiasi wajahnya, kembali melanjutkan perjalanan pulang menuju apartemennya dengan sepasang airpods terpasang apik di kedua telinga. Bibirnya bergerak mengikuti alunan lagu yang terdengar, ia bersenandung pelan.

Senyuman itu kembali tercipta tak kala sepasang iris kelabunya mengamati roda pengamatan terbesar di dunia, tak lain dan tak bukan adalah London eye. Sesak di dada kembali terasa begitu ucapan Gun beberapa hari yang lalu kembali menjamah pikirannya, Tay tawan besok menikah. tawa sumbangnya terdengar, New tau betul teman sebayanya itu tak sengaja berucap, karena setelah ia menyelesaikan kalimatnya suara dari Off jumpol langsung terdengar memarahi kekasihnya.

Pada akhirnya Tay tawan benar-benar menemukan rumahnya, Benar-benar menemukan tempat untuk dia berupulang, benar-benar menemukan kebahagiannya yang baru, dan mungkin jua tak lagi mengingatnya.

New juga menerima jika lelaki itu membencinya, karena ia pantas untuk itu. Tapi mengapa dalam kurun waktu setahun nama lelaki berkulit tan itu tak kunjung hilang di hatinya, tak pergi juga dari ingatannya, malah rindu ini semakin menginginkan titik temu.

Sebuah helaan napas panjang terdengar, kepala yang sedari tadi menengadah itu perlahan mulai menurun secara perlahan, hingga netranya menangkap sesosok pria dengan pakaian serba hitam berada beberapa meter dari dirinya, menatapnya dengan begitu dalam, mulai melangkah mendekatinya.

Kesepuluh jemari lelaki manis itu bergetar, genggamannya pada sebuah cup kopi merenggang, hingga akhirnya tumpah bersamaan dengan air mata tanpa permisi mengalir membasahi pipinya. Tatapan keduanya terkunci sedari tadi, lengkap dengan debaran jantung tak wajar yang kembali ia rasakan setelah sekian lama hilang entah kemana, wajah yang sudah lama tak ia tatap, tangan yang sudah lama tak ia genggam, pun dengan raga yang sudah begitu lama tak ia peluk dengan erat.

Lelaki itu dengan perlahan menurunkan topi yang menutupi kepalanya, ujung boots mereka bertemu, namun sama-sama tak mau bersuara terlebih dahulu, hingga pada akhirnya sebuah ibu jari menyerka air mata si manis yang terus mengalir.

“Kamu apa kabar?”

Pemuda beriris kelabu itu masih diam, tubuhnya masih menegang di tempat, masih tak percaya jika manusia yang selama ini ia hindari kini hadir di depannya.

“Newwiee apa kabarnya?” lelaki itu kembali berucap.

“Kamu kenapa bisa di-”

“Boleh gak itu dibicarakan nanti aja? Aku mau sisa waktu hari ini berdua sama kamu.” Tay memotong ucapannya, nadanya terdengar begitu lembut di telinga, pemilik senyum paling memikat itu perlahan menunduk—mengambil cup kopi New yang tergeletak di bawah, lalu yang lebih tua menautkan tangan mereka berdua.

Mengajak New berjalan beriringan seolah tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya, seolah mereka memang sepasang kekasih yang tengah di mabuk asmara, dan yang muda semakin menangis tak kala rasa bersalah semakin hadir membelenggu dirinya.

“Kamu udah pernah naik London eye belum?” lelaki itu bertanya, namun si manis masih diam dengan air matanya hingga akhirnya langkah Tay berhenti, kembali menyerka air mata New dengan ibu jari tangan kanannya.

“Boleh gak aku minta untuk sekarang gak ada air mata? Aku cuma butuh waktu berdua buat bahagia, hari ini aja, ya?”

Sebuah anggukan terlihat setelahnya, senyum manis yang lebih tua langsung terpancar sempurna dan kembali mengajak New untuk berbahagia, meskipun hari ini saja.

•••

“Kamu beneran belum pernah naik ini?” Tay bertanya begitu mereka sampai di puncak paling atas, berada di kapsul yang bisa menampung kurang lebih dua puluh lima orang, namun malam ini tak seramai itu, hanya ada enam orang saja.

Yang muda menggelengkan kepalanya, “Ya emang gak pernah.” ia menjawab.

“Kamu takut tinggi, aku tau itu New. Jadi kenapa kamu iyakan ajakan ku buat naik kincir raksasa ini?”

Pemilik iris kelabu itu tersenyum tipis, semakin mengeratkan genggamannya pada jemari Tay tawan, “Karena ada kamu, jadi aku gak perlu takut tentang apapun.”

“Kamu gak mau foto-foto?” New bertanya.

“Enggak, aku cuma mau sama kamu.”

Setelah menjawab Tay langsung menarik si manis kedalam pelukannya, menyandarkan kepala lelaki itu dada bidang miliknya, mengelus rambut halus yang sudah lama tak ia sentuh, sebuah kecupan begitu lama yang lebih tua mendarat di pucuk kepala pria berkulit seputih susu itu hingga debaran jantung yang tadinya mulai normal seperti semula kembali menggila.

Keduanya larut dalam pemandangan yang di sajikan dari Negara berjulukan The Black Country.

•••

Gelak tawa dari yang lebih muda masih terdengar di telinga, iris hitam pekat itu masih asik memandangi wajah paling indah yang pernah ia temui, namun sekarang bukan ia miliki?

“Aku tuh awal-awal kerja di toko pizza sering banget jatoh tiba-tiba, tapi ya yang punya tuh baik banget sama aku.” New bercerita lagi.

“Kamu masih kerja sampai sekarang?”

Yang muda lantas mengangguk cepat lengkap dengan senyum menampilkan gigi rapinya, “Masih, aku betah kerja disana.”

“Usaha-usaha kamu yang ada di Jakarta gimana?”

“Masih aku pantau, tapi kadang Ibu yang ngurus juga hahaha.”

Tay mengangguk-anggukkan kepalanya bertanda ia mengerti. Keduanya duduk di sebuah kursi besi berdua, berbagi cerita bersama.

Hingga tiba dimana keduanya sama-sama diam, kahabisan bahan cerita yang isinya bahagia aja, New menyesap kopi susu yang baru ia beli sebelum mereka duduk disini.

“Kamu jangan keseringan minum kopi.” yang lebih tua berucap.

“Ini kopi susu, bukan kopi aja.” New membalas.

“Sama-sama kopi Newwiee, di kurangin deh gak bagus buat kesehatan.”

Lelaki berkulit putih itu mengangguk patuh, layaknya seorang anak kecil menurut tentang apa yang di ucapkan orang tuanya. Gemash sekali.

Keduanya saling pandang lalu sama-sama tertawa dengan ketidak jelasan mereka.

Ibu jari Tay tawan perlahan mulai mengelus pipi kiri New, mengamati wajah indah orang yang masih menjadi urutan pertama dihati.

“Eh salju?” yang muda berucap, mengulurkan tangannya tak kala ribuan titik-titik es itu jatuh kebumi.

Pria berkulit tan itu lekas-lekas memakaikan kupluk yang tadinya di lepas oleh sang pemilik, “Ayo pulang.” Tay berujar.

“Sebentar lagi, ya?”

Sebuah anggukan terlihat, meng-iyakan permintaan lelaki manis itu, melupakan sejenak jika saat ini benar-benar dingin.

“Ini pertama kali aku ngeliat salju di London, taun lalu enggak ada.” New berucap.

“Aku kangen sekali sama kamu.” kata yang sedari tadi ia tahan akhirnya terucap, terdengar begitu lirih.

Pemuda berkulit putih itu perlahan menoleh kesamping, menatap pemilik senyuman memikat itu lamat-lamat, “Kamu kesini sendiri?” ia bertanya.

Yang lebih tua menggelengkan kepalanya, “Berdua.” ia menjawab.

“New kayaknya makin deras deh, ayo aku anter pulang.”

Lelaki dengan boots hitam itu bangkit dari duduknya, mengulurkan tangan kanan di depan New, bermaksud agar mereka kembali saling menggenggam, namun sebuah cincin emas putih yang melingkar di jari manis lelaki itu membuat ia senyum kecut, bahagia yang barusan ia rasakan memang cuma sementara ternyata.

Karena sejak malam itu, sejak sebuah surat perpisahan ia tulis, ia harus menerima fakta bahwa Tay memang bukan lagi Mataharinya.

•••

-Joya-